“Hei…teman-teman.”
“Aku yakin…Pasti yang ‘ngambil teman sebangkunya tuh.’” katamu sambil mengarahkan telunjukmu pada aku. Dan akupun sangat terkejut mendengar perkataanmu.
“Apa maksudmu?” tanyaku. Aku sangat bingung saat itu.
“Alaah…enggak usah ngeles kamu!” serumu lebih ganas lagi.
“Ayo kita periksa tasnya .” perintamu kepada teman-teman yang lain.
Aku yang merasa tidak mencuri jam itu dengan tenang mempersilahkan kamu dan teman-temanmu mengobrak-abrik isi tas sekolahku.
“Ini jamnya. Ada di dalam tasnya.” ucap Priska sambil meraih sebuah jam tangan dari dalam tasku.
“Wah….benar kan, dia yang ambil.” katamu puas sambil menunjuk ke arahku.
“Huuuuuhhh…” teriak teman-teman yang lain menambah gaduh suasana kelas. Aku memandang Lulu dengan memelas. Aku berusaha menjelaskan.
“Aku tidak mencuri. Aku tidak tahu bagaimana jam itu ada di dalam tasku.” Kataku berusaha menjelaskan kepada semua teman-teman yang ada di situ.
“Lu…aku tidak melakukannya.” Kataku dengan sedih sambil meraih tangan Lulu.
“Kalau semua maling mengaku, penjara pasti penuh….” bentakmu sambil menunjuk ke mukaku.
Lulu hanya terdiam. Dia tidak berbicara sepatah kata pun. Dia percaya kalau akulah yang telah mencuri jam tangannya. Aku seperti orang gila membela diriku. Berusaha menjelaskan kepada semua orang bahwa aku tidak pencuri. Saat itu satupun tidak percaya padaku. Sejak kejadian itu setiap aku datang ke sekolah, banyak teman-teman yang berbisik. Mereka kasak-kusuk sambil melihat kea rah aku. Mereka percaya bahwa aku seorang pencuri.
Suatu hari ketika aku memasuki kelas, kamu pun berteriak-teriak.
“Pencuri…pencuri…pencuri…” Saat itu teriakkanmu membuat seluruh siswa menoleh kepadaku dan menertawakanku.
Aku mulai merasa mual tiap masuk ke dalam kelas. Aku malas berangkat ke sekolah. Aku kembali menjadi anak suka murung bahkan aku sama sekali tidak ingin berangkat ke sekolah. Ibuku menjadi bingung dan kemudian membawaku ke psikiater karena aku tidak mau menceritakan masalah itu kepadanya. Walaupun dibujuk oleh ibuku, aku tetap tidak mau melanjutkan sekolah di tempat itu, sampai suatu hari ibu Rose datang ke rumahku.
Beliau membujuk aku supaya kembali ke sekolah. Dia juga menjelaskan bahwa kamulah yang memasukan jam Lulu ke dalam tasku. Andrea, teman dekatmu yang mengatakan hal itu kepada ibu guru. Andrea merasa ikut bersalah kepadaku. Ternyata ibu Andrea itu adalah teman SMA ibuku. Andrea dimarahi ibunya karena telah ikut-ikutan membully aku.
Dear Jasmine…
Mengapa kamu masih membenci aku. Sehingga kamu tidak mau berteman denganku? Aku sudah dua minggu meminta pertemanan denganmu. Sampai hari ini kamu belum mau menerima permintaanku. Aku semakin penasaran denganmu. Bagaimana keadaanmu saat ini. Aku coba membuka dan melihat dinding Facebookmu. Aku membaca satu persatu tulisan yang kamu update.
Ternyata sudah lama sekali kamu tidak membuat status atau mengirimkan photo di Facebookmu. Terakhir kamu membuat status yang sangat sedih. Yaitu, sebuah mata yang menangis disertai tulisan tentang kepedihan. Mungkin kamu hanya iseng mengirimkan gambar itu, pikirku. Atau kah kamu benar-benar sedang mengalami kesedihan yang mendalam?
Ku coba lagi melihat statusmu yang sebelumnya. Dari photo-photo yang ada aku tahu kalau kamu punya seorang anak laki-laki dan seorang anak prempuan. Mereka sangat tampan dan cantik. Wajah mereka mirip denganmu. Ku coba ku telusuri lagi lebih jauh, karena aku penasaran dengan sosok orang yang menjadi suamimu.
Ah, ternyata satupun tidak ada photonya di Albummu. Melalui tulisanmu sebelumnya, aku tahu ternyata kamu menikah dengan Aldian, kakak kelas kita dulu dan kemudian kalian bercerai. Aldian menikah lagi dengan wanita lain.
Aku semakin jauh menelusuri mengenai kamu. Oh ternyata kehidupanmu lebih buruk dari yang aku duga. Akupun kasihan dengan kamu. Kepedihan demi kepedihan yang kamu rasakan, dapat ku lihat melalui status-statusmu yang pernah kamu tuliskan. Aku mencoba menghubungimu melalui massager namun kamu tidak juga meresponku.
Karena rasa ingin tahuku, aku juga cek siapa saja teman-temanmu. Mungkin saja ada di antara mereka yang aku kenal. Ya…benar saja, aku melihat nama Rosa. Rosa juga dulu teman sekelas kita. Dia termasuk dalam geng kamu. Aku coba meminta perteman dengan dia.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mendapatkan respon dari Rosa. Sayang Rosa tidak mengenaliku lagi. Aku coba menyapa dia dan aku menjelaskan siapa diriku. Tentu saja setelah itu, Rosa langsung ingat padaku. Kami sempat ngobrol mengenai masa SMP kita, dia benar-benar menyesali perbuatannya dulu. Kami sama-sama tertawa dan bertukar nomor telepon.
Dear Jasmine…..
Di akhir perbincanganku dengan Rosa aku sempat bertanya mengenai kamu. Dia bercerita banyak tentang kehidupanmu. Ternyata akun Facebookmu sudah ganti. Pantas saja kamu tidak pernah mengupdate informasi terbaru tentang kamu. Sungguh sedih hatiku mendengar nasib yang menimpa kamu. Sangat buruk dan lebih buruk daripada yang aku duga.
Kehidupanmu yang serba mewah dulu berbanding terbalik ketika kamu berumah tangga. Kamu memutuskan menikah di usia yang masih muda. Keputusanmu itu membawa kepedihan. Kesulitan ekonomi dan penghianatan, membuatmu mengakhiri rumah tanggamu. Setelah gagal dengan pernikahan pertama, lalu kamu memutuskan menikah untuk kedua kalinya.
Badai yang lebih dasyat lagi kamu hadapi di pernikahanmu yang kedua. Baru dua tahun menikah kamu harus menerima kenyataan kalau suaminya sakit parah dan meninggal dunia dalam kondisi memprihatikan dan meninggalkan aib bagimu.
Kepehitan demi kepahitan kamu rasakan setelah dokter menyakan bahwa kamu positif mengidap HIV/AIDS yang ditularkan oleh suamimu. Hidup dalam stigma negatif keluarga dan lingkungan membuatmu semakin tertekan. Batinmu menjadi ambruk dan kesehatanmu memburuk.
Dear Jasmine ….
Pantas saja kamu tidak merespon permintaan pertemanan dariku. Ternyata kamu sudah tiada. Kamu sudah tenang di alam sana. Penderitaanmu sudah berakhir. Jiwamu sudah terenggut dari ragamu. Sudah tidak ada lagi kepedihan dan kesakitan yang kamu alami. Tiga tahun cukup bagimu berjuang melawan penyakitku dan stigma negatif yang tertancap di batinmu, akhirnya kamu menyerah enam bulan lalu.
Maafkan aku yang belum bisa melupakan kejadian dua puluh tahun yang lalu. Ku harap kamu tersenyum melihatku. Aku pun akan belajar untuk memaafkanmu. Semua yang telah terjadi sudah menjadi masa lalu.
Jakarta, 19 Agustus 2018
Yang mengasihimu,
Yulita Rahel
Written by Nita Sembiring
Cerita ini hanya fiktif, jika ada kesamaan tempat dan tokoh itu hanya kebetulan.