Lukisan Tinta Darah

Lukisan Tinta Darah

Cerpen
Oleh: Alif Rahman Hakim

“Ada yang mati lagi, Mas No?” Tanya Pirman sambil menengguk kopi kental hitam.

“Iya, Man. Dipatuk ular pas panen sawit. Mendadak. Barangkali benar, sesiapa yang dilukis Gombloh pasti ujungnya modar. “ Jawab Warno.

Warung kopi malam itu jadi semakin ramai. Orang-orang sedang membicarakan Gombloh, seorang pelukis ulung di desa Bangun Setia. Pasalnya banyak hal aneh terjadi yang berhubungan dengan lukisan Gombloh itu. Katanya, sesiapa pun yang wajahnya muncul dalam lukisan Gombloh, lelaki atau perempuan, bujang atau duda, perawan atau janda, semuanya akan kehilangan nyawanya segera. Orang-orang desa percaya bahwa ada kutukan pada lukisan-lukisan itu.

“Dimas yang pernah melihat kalau si Gombloh itu melukis pakai darah manusia.” Lanjut Pirman.

“Ah, ora mungkin. Mana ada yang seperti itu. Takhayul itu.” Juki mendebat.

“Ya siapa tahu memang dia mainannya itu jin-jin yang dulu penjaga desa ini? Katanya gitu.” Pirman membalas.

Kali ini Warno yang angkat bicara; “Buktinya lho, almarhum pak Kades yang dulu, setelah dilukis langsung ketabrak truk. Langsung innalillah. Rani yang cantik itu juga, setelah dilukis langsung digondol buaya pas nyuci di sungai. Sampai yang barusan si Petruk, mau manen sawit malah apes dipatuk ular, tak sampai rumah sakit sudah ko’it. Itu akibatnya kalau minta dilukis sama si Gombloh.”  

Juki menggelengkan kepalanya. Masih tidak percaya.

Selang beberapa detik, terdengar teriakan keras dari jauh. Suara perempuan. Sepertinya dari arah rumah Mak Dina. Sontak Pirman, Warno, Juki, dan semua orang di warung kopi saling pandang sesaat. Lalu sibuk mencari sumber suara dan berhamburan berlari menuju kesana.

Sesampainya di rumah mak Dina. Ternyata benar. Sesuatu telah terjadi. Seseorang telah terenggut nyawanya. Tidak lain adalah anak mak Dina sendiri bernama Minah. Minah, ditemukan dengan lidah menjulur, wajah pucat dan menghitam, tergantung di dalam kamarnya dengan tali yang biasa digunakan untuk mengikat gembala kambing. Ia bunuh diri. Desa pun gempar.

Pun tak selang berapa lama. Rumah seorang bujang sebatang kara bernama Rendy, ramai, penuh teriakan histeris dan omongan ini-itu. Rendy pun tergantung kaku di ruang tengah rumahnya. Sama seperti Minah, ia bunuh diri dengan gantungan tali gembala kambing. Dan belakangan diketahui tali yang mereka berdua gunakan sama-sama dari kandang kambing mak Junah, tetangga si bocah sebatang kara itu.

Beberapa orang menyimpulkan, si Minah dan Rendy memang sengaja kompak bunuh diri. Karena mereka berdua sejatinya sepasang kekasih yang tak disetujui orang tua. Mak Dina, orang tua Minah tak sudi punya bakal mantu Rendy, pemuda yang tak jelas asal usul itu. Betapapun Minah dan Rendy memohon tak kuasa mereka meruntuhkan kekukuhan keras hatinya mak Dina. Dan inilah yang terjadi, bagai Romeo dan Juliette yang minum racun bersama, dan mengira bahwa setelah kematian mereka bisa bersatu di surga yang indah, mereka sama-sama gantung diri. Ah, tapi mungkin mereka akan tetap bersatu, tidak tahu apakah benar di surga atau bersama disiksa di neraka. Itu utusan mereka sama Tuhan saja.

Kabar meninggal Minah dan Rendy jadi buah bibir. Terlebih lagi, semakin melengking kicauan orang desa ketika si Gombloh, tepat tiga gari dari kematian Minah dan Rendy, menyerahkan sebuah lukisan. Setelah dibuka dari kertas penutupnya oleh mak Dina, sontak semua orang yang hadir di ruang belakang rumah mak Dina saat genduri tiga hari kematian anaknya itu, terkejut bukan main. Mak Dina langsung melempar lukisan itu dan menangis kencang, berteriak mangutuki si Gombloh tukang lukis.

Bapak-bapak di depan yang sedang membaca kulhu dengan khusuk tiba-tiba saling pandang dan menggoyangkan alis. Seakan bertanya, “Ada apa dibelakang?” begitulah kalau goyangan alis itu bisa dibahasakan.

Juki, Pirman dan Warno, yang juga ikut membaca kulhu langsung menuju ruang belakang dan melihat mak Dina menangis di pelukan bu kades. Lalu beberapa orang mulai menunjuki lukisan yang dilempar mak Dina itu sebagai biang kerok.

“Bener kan, lihat lukisan itu, lukisan Minah dan Rendy saling berpandangan begitu, pantas mereka mati, si Gombloh yang melukis. Memang punya kutukan itu orang.” Warno muntab dengan mata memerah.

“Mesti benar itu. Wah, kalau begini gawat. Gombloh memang biang kerok.” Pirman menimpali.

Ibu-ibu di belakang pun mulai saling bisik. Menyebar ke bapak-bapak di depan yang telah selasai membaca kulhu-tahlil. Semua orang mulai membenarkan, kecuali satu-dua yang kuat iman dan menjunjung tinggi azas husnudzan.

“Aku ndak terima kalau anakku mati gara-gara lukisan Gombloh.” Kata mak Dina. “Mati lah kau Gombloh. Kau yang seharusnya mati. Orang biadab. Aku kutuk kau. Aku kutuk mati tersiksa diterkam harimau. Buyar ususmu, pecah kepalamu, koyak-koyak dagingmu.” Lanjut mak Dina sambil menangis.

Langsung musyawarah diadakan. Pirman dan Warno, serta didukung mak Dina dan semua anggota ibu-ibu di belakang sepakat untuk mengusir dan membakar rumah Gombloh. Karena setelah dia membuka praktek lukis di kampung ini, semua yang dilukisnya telah mati. Memang terkutuk tangan yang melukis itu.

Beberapa pemuka agama yang religious dan didukung pak kades menyarankan untuk diadakan penyelidikan dulu. Ibu-ibu di belakang protes keras. Mungkin juga karena tak tega melihat kejang-kejang mak Dina dan takut kalau-kalau jadi korban lukis berikutnya. Pirman dan Warno yang memang biasanya jadi penggerak pemuda juga semakin berapi-api karena dengar sorakan ibu-ibu. Jelas sudah sepertinya, pak kades dan pemuka agama gagal mengatasi kemuntaban para ibu.

Malam itu juga Warno, Pirman dan beberapa pemuda bersiap, menuju rumah Gombloh. Pak kades mencegah, tapi serbuan ibu-ibu menyapu hambatan pak kades. Mereka tetap kekeuh membakar rumah Gombloh dan mengusirnya. Arak-arakan dan teriakan sepanjang jalan pun menggegerkan kampung Bangun Setia. Anak-anak yang tadinya tak tahu apa-apa mulai ikut bergabung di barisan. Barangkali dikiranya pawai obor tahun baru atau genderang menyambut lebaran. Pirman dan Warno membawa bensin, Juki membawa obor. Ibu-ibu membawa batu, tanah atau kayu untuk bisa dilemparkan ke rumah pelukis terkutuk itu.

“Keluar kau Gombloh, keluar dari kampong ini malam ini juga!” Warno memulai.

“Iya. Keluar. Keluar! keluar! keluar!. Atau kami bakar rumahmu!” teriakan yang lain menyusul. Tak ada jawaban dari dalam rumah.

“Dobrak wae!” Teriak Pirman.

Beberapa pemuda mulai mendobrak rumah Gombloh. Gubrakkk! Ibu-ibu bersorak lebih kencang. Anak-anak melompat-lompat.

Namun, rumah itu kosong. Gombloh tidak ada. Apa mungkin sudah lari? Mungkin saja. Yang ada hanya kuas lukis yang berserakan. ada pula beberapa mangkuk yang berisi cairan merah. Sangat mirip seperti darah. Cat-cat yang tertumpah di lantai. Lalu betapa terkejut Pirman dan Warno, melihat sebuah lukisan besar yang sepertinya baru selesai dikerjakan.

Di lukisan besar itu ada gambar gunung, memang gunung yang ada di desa Bangun Setia. Ada pula sebuah jalan. Di sepanjang jalan menuju gunung pada lukisan itu, ada orang-orang yang berbaris. Sebagian orang adalah pemuda berada di depan, ibu-ibu di belakang mereka dan diikuti anak-anak. Tepat sekali itu lukisan mereka yang berarak-arak tadi menuju rumah si Gombloh. Sial.

Sebulan setelah kematian Minah dan Rendy, serta kepergian Gombloh, wabah menyerang. Katanya virus dari negri China. Perlahan anak-anak yang rentan dengan virus itu pun mulai terjangkiti, dan meninggal. Lama-kelamaan menjangkiti ibu-ibu. Satu demi satu para ibu yang terlibat pada rencana pengusiran pun menghembuskan napas terakhir. Pirman dan Warno, pun akhirnya diisolasi di rumah sakit juga karena tertular. Mereka pun selalu takut, karena mungkin saja sesiapa yang ada dalam lukisan besar Gombloh yang tertinggal di rumahnya itu, banyak yang sudah mati. Mungkin saja mereka segera menyusul.

#ceritafiktif (cerita ini hanya bersifat menghibur dan tidak benar adanya secara fakta)

Alif Rahman Hakim

Dosen Ma’had Al-Jami’ah, penulis, wirausahawan.

4.3 9 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of

2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
makhlukhalus
4 years ago

Nice story. Agak agak serem juga yaaa ceritanya. Nunggu cerita selanjutnya

4 years ago

Mantap Mr cerita nya, tapi beberapa kata yg salah tulis Mr 😁😊