Badai Air Mata di Penghujung Desember (Desember Kelabu di Langit Siantar 4)

Badai Air Mata di Penghujung Desember (Desember Kelabu di Langit Siantar 4)

Cerpen
Oleh: Nita Sembiring Kembaren

Pada tanggal 30 Desember 2019, aku menunggu jam besuk dengan was-was. Aku belum mau beranjak dari ruang tunggu itu meskipun waktu untuk membesuk pasien masih dua jam lagi. Untuk membuat hatiku tenang, aku mencoba menulis sebuah cerita pendek di ponselku. Tiba-tiba, “ Keluarga Bapak Jindo Purba di tunggu di ruang HCU.”

Jantungku langsung berdegup dengan kencang dan tak beraturan. Nafasku menjadi sesak dan hatiku bergetar. Rasanya campur aduk. “Ada apa, Dok?”tanyaku langsung pada seorang dokter yang sudah menunggu di dalam ruangan HCU.

“Ibu istrinya?”

“Iya, Dokter. Bagaimana dengan keadaan suami saya?”

“Ibu, sebelumnya kami minta maaf, saat ini perlu kami jelaskan bahwa kondisi suami Ibu semakin menurun. Kemarin sore tingkat kesadarannya masih di level 3, saat ini berada di level 2, tensinya tadi malam 178/98 tapi saat ini tiba-tiba turun menjadi 130/80, sebenarnya ini anda tensi normal pada bapak tapi karena turun drastis tanpa diberi obat itu bukanlah hal yang baik.

Ditambah lagi denyut nadinya tidak beraturan.” Dokter itu masih berusaha menjelaskan keadaannya tapi aku sudah menangis duluan. Hatiku semakin cemas mendengar perkataan dokter itu.

“Dokter, boleh saya melihatnya sebentar?” tanyaku dengan gemetar.

“Papa, Papa Jan…, Papa masih dengar Mama? Papa harus semangat demi anak-anak dan mama,” ucapku dengan suara bergetar.

Ku pegang wajah dan kepalanya, saat itu masih terasa hangat. Aku cium pipinya tapi dia tidak merespon sama sekali. Tetapi hatiku semakin ciut ketika aku meraba bagian tubuhnya yang lain. Semua terasa dingin bagaikan es, kaki dan tangannya sudah membiru.

Aku menangis tersedu-sedu. Seorang perawat memintaku supaya keluar dulu karena belum jam besuk. Semua keluarga pasien yang menunggu di luar ruangan itu memperhatikan aku.

Beberapa diantaranya mereka bertanya ada apa? Tapi aku hanya menangis. Aku mencoba menghubungi abang iparku yang sedang istirahat di rumah kost. Beberapa menit kemudian dia pun datang.

Aku menyampaikan apa yang diberitahukan oleh dokter. Aku lihat wajahnya muram. Aku tahu dia juga sangat sayang dengan adiknya.

“Aku punya firasat buruk, Kak. Tadi malam aku bermimpi baju kebayaku dicuri orang,” kataku pada kakak iparku yang duduk di sampingku.

“Iya aku juga, tadi malam aku bermimpi gigiku tanggal. Makanya di rumah pun tadi aku tidak bisa tidur,” katanya lagi membuat aku semakin menangis.

Beberapa menit kemudian jam besuk pun tiba, aku dan abang ipar masuk duluan. Abang iparku juga berusaha memanggil-manggil nama suamiku tetapi tetap saja tidak ada respon.

Badannya semakin terasa dingin. Nafasnya juga bertambah berat. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali menangis.

Aku tidak tahan melihatnya, lalu aku keluar. Aku melihat mamakku sudah menunggu di ruang tunggu. “Bagaimana keadaannya?” Aku tidak menjawab. Aku hanya menangis. Lalu mamakku masuk untuk melihat kondisinya.

Sampai sore kami semua masih berada di rumah sakit. Tak satupun diantara kami belum mau beranjak. Mungkin sebentar lagi adalah waktunya, itulah yang ada di pikiran kami.

Abang iparku menyuruh aku untuk pulang ke kost untuk melihat keadaan anak-anak. Aku pulang sebentar dengan mamak.

Di sana anak-anak baik-baik saja. Sehingga aku kembali ke rumah Sakit. “ Aku tidak mau tidur di kost malam ini, titip anak-anak,” kataku pada mamak dan kakakku.

Malam itu kami bertiga menunggu di rumah sakit, aku, kakak ipar, dan abang iparku. Aku duduk di kursi sambil tiduran. Saat itu jam 11 malam.

Dokter kembali memanggil kami. Mereka memberi tahu lagi bahwa keadaan suamiku semakin buruk lagi. Aku sudah tidak bisa mendengar dengan jelas karena terus menerus menangis.

Saat diizinkan dokter untuk melihat, aku sudah tidak berani menyentuh badannya yang semakin dingin. Aku berteriak dengan suara bergetar.

“Tuhan, kalau memang masih ada Mujizat untuk suamiku maka ku mohon sembuhkan dia, tetapi jikalau memang Tuhan mau panggil dia, aku sudah ikhlas. Aku tidak kuat melihat dia begitu menderita.”

Aku kembali ke ruang tunggu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, tidur pun aku tidak bisa padahal badanku sangat lelah. Kepalaku terasa pusing.

Tidak ada lagi yang dapat ku lakukan. Sepertinya, kalaupun aku berdoa untuk kesembuhannya, itu mungkin terlalu naif. Aku hanya meminta kepada Tuhan supaya memberikan aku kekuatan untuk menerima semua kenyataan mengenai suamiku.

Aku tidak tahu sampai jam berapa aku menangis. Pagi-pagi, jam 4.45 aku terbangun. Saat itu aku melihat ada kedua mertuaku dan keponakan suami sedang tidur tidak jauh dari tempatku tidur tadi. “Mereka sampai di RS pada jam 1 malam,” kata kakak iparku. Juga masih ada Om suami yang datang tadi malam pada jam 11.

Aku mengajak kakak ipar untuk menemaniku ke toilet. Dari toilet aku mengajaknya beli teh manis karena perutku terasa begah. Baru saja kami memesan minuman itu, tiba-tiba, “Keluarga pasien Jindo Purba, harap datang ke ruangan HCU,” terdengar suara dari mikropon rumah sakit.

Aku langsung melompat dan berlari ke ruang HCU yang berada di lantai dua gedung IGD. Nafasku tersengal, aku langsung masuk menerobos ke ruang HCU.

Di sana sudah ada abang iparku. Wajah lesu tanpa ekspresi. Dia melihat ke arahku dan menggelengkan kepala. Aku tahu maksudnya dan aku pun langsung berlari ke arah tubuh suamiku yang sudah dingin dan kaku.

Aku menangis sejadi-jadinya, memanggil nama suamiku. Lutut kakiku terasa lemas. Hatiku hancur berkeping-keping. Pupus sudah harapanku untuk bisa bersama suamiku lagi.

 Dia sudah pergi untuk selamanya pada tanggal 31 Desember 2019, pukul  4.57 wib di RS Haji Adam Malik Medan di usia 37 tahun 7 bulan.

 “Selamat Jalan Papa, selamat jalan cintaku,”

Kesedihan di hatiku membuat air mataku terus menerus mengalir. Jujur aku ingin bisa berhenti menangis tapi tidak bisa.

Pikiranku sangat kacau, aku tidak tahu bagaimana kehidupanku kedepannya.  Badai itu menghantamku dengan keras. Namun satu keyakinan di hatiku, ‘Badai Itu Akan Berlaku’. Aku harus kuat demi anak-anakku, Janice dan Jose yang masih kecil.

Pematang Raya, 4 Januari 2020

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of

2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Theresya Hutagalung
5 years ago

Sabar ya edaqu tetap kuat dan semngat demi kedua malaikat yg Tuhan titipkan untukmu dan ito

Ari
5 years ago

😥😭😭😭😭😭