Dear Jasmine….
Apa kabarmu?
Aku tiba-tiba teringat padamu. Awalnya aku hanya iseng melihat status facebook teman-temanku. Tak sengaja aku melihat di bagian suggestion ada namamu. Seseorang telah menyarankan supaya aku mengundang kamu menjadi temanku. Jujur saja mendengar nama Jasmine hatiku bergetar, detak jantungku menjadi tidak beraturan, dan darahku mengalir lebih deras.
Walaupun itu bukan kamu. Semua itu karena luka yang pernah kamu toreh saat kita masih duduk di bangku SMP. Aku mencoba melihat photo profilmu, ya…itu benar kamu. Aku sangat mengenal seyumanmu yang kas dengan lesung pipimu. Aku masih mengenalimu walaupun bodymu’ tak seindah dulu.
Kejadiannya sudah lama berlalu, tapi kenangan pahit itu masih membekas di hatiku. Tepatnya dua puluh tahun yang lalu, saat aku datang ke sekolahmu menjadi murid baru. Aku terpaksa pindah sekolah karena keadaan orang tuaku. Aku ikut dengan ibuku setelah bercerai dengan ayahku.
Keadaan keluarga yang berantakan membuat aku mengalami tekanan yang sangat berat dan membuat aku kehilangan semangat belajarku. Aku berpikir, di sekolah yang baru aku akan menemukan suasana yang baru. Yang lebih baik dari sekolahku yang dulu.
Tapi aku tidak menyangka di situ itu aku bertemu denganmu. Kita duduk sebangku. Dari awal ketika ibu Rose menyuruhku duduk di sampingmu, kamu terang-terangan menolakku. Aku menjadi malu.
“Kenapa harus duduk dengan ku, Bu? “ begitu protesmu sambil cemberut padaku.
Saat itu aku terdiam karena merasa ditolak olehmu. Perlahan aku melangkah dengan ragu menuju tempat duduk yang tersedia bagiku.
Sebagai murid baru aku mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran di kelas itu. Aku lambat dalam merespon pertanyaan guru. Kamu yang duduk di sampingku selalu mencaci dan mengatai aku.
“Dasar idiot, culun, bodoh, dan dungu.” Kata-kata itu sering tercetus dari bibirmu yang mungil dan merah jambu.
Tentu saja perkataanmu itu tidak didengar oleh ibu guru. Tiap hari kamu selalu bilang begitu. Sakitnya lagi ketika perkataanmu diikuti oleh teman-teman satu gengmu. Mereka ikut membully aku. Walaupun ada teman-teman yang lain baik padaku tapi mereka takut untuk membantuku. Mereka tidak mau bermusuhan denganmu. Siapapun yang tidak sependapat denganmu, akan menjadi musuhmu.
Waktu itu si Sudep Sing, anak laki-laki keturunan India yang memiliki postur tubuh jangkung, dengan kulit gelap dan memiliki bulu di sekujur tubuhnya, yang duduk di belakangku sering membelaku. Namun kamu malah jadi marah dan mengatai dia.
“Dasar ‘monyet hitam.”
“Si penjual susu keliling.”
“Bau tengik.”
“Kutu sapi.”
“Menggali.” (panggilan kasar terhadap keturunan India yang ada di Medan)
Semua kata-kata menyakitkan itu keluar dari mulutmu. Untungnya saja si Sudep anaknya baik, tidak mudah marah, dan tidak membencimu. Dia sudah mengenalmu sejak SD. Sedangkan aku baru saja mengenalmu, sehingga aku tidak tahu seperti apa sifat aslimu.
Dear Jasmine….
Aku ingin kamu tahu, apakah kamu menyadari dan menyesali perbuatanmu? Aku masih ingat juga ketika kamu menyelingkat kakiku. Waktu itu kamu berdiri di depan pintu. Aku lewat dan kamu mengangkat kakimu, sehingga aku terjatuh di depan teman-temanmu. Kalian semua tertawa, sedangkan aku berusaha memungut tumpahan bekal makan siangku.
Aku merasa marah dan sedih waktu itu, namun aku tak berdaya di situ. Percuma aku mengadu kepada ibu guru. Belum tentu juga mereka membelaku atau sekedar percaya dengan aduanku.
Semua itu aku alamai di awal kedatanganku di sekolahmu. Setelah beberapa bulan sifatmu mulai melunak kepadaku. Mungkin saja karena ibuku sempat menemui ibu guru dan menjelaskan mengenai kelakuanmu padaku.
Ibu gurupun memanggil kedua orang tuamu untuk bertemu dengan ibuku. Saat itu aku hanya melihat ibumu, tidak dengan ayahmu. Dari ibuku aku tahu sebenarnya kamu juga sama dengan aku. Sama-sama memiliki orang tua tak bersatu.
Setelah kedatangan ibuku, Ibu RS memindahkan aku ke bangku lain yang agak jauh darimu. Jadi kamu tidak lagi mengata-ngataiku. Tidak membully aku. Walupun kita tidak berteman baik, setidaknya kamu mau berbicara dan menegur aku. Aku juga mulai beradaptasi dengan lingkunganku.
Mulai dikenal oleh guru-guru. Aku bertemu teman baru, yaitu Lulu. Dia juga murid baru yang pindahan dari Pekan Baru. Lulu baik, pintar, dan mau mengajariku. Kamu pun menjadi cemburu melihat kedekatanku dengan Lulu.
Suatu hari Lulu kehilangan jam tangannya yang baru. Kejadiannya pas pelajaran olah-raga. Waktu itu pak MG meminta semua siswa mengganti baju dan melepaskan aksesori termasuk jam tangan. Setelah selesai olah-raga Lulu sibuk mencari-cari jam tangannya yang sebelumnya diletakkan di laci meja.
Lulu menangis karena tidak menemukan jam tangannya. Seantero kelas menjadi heboh. Aku tidak tahu persis bagaimana awal kejadiannya. Karena setelah selesai olah-raga, aku langsung ke kantin membeli minuman. Ketika aku masuk ruang kelas aku ikut bingung dan bertanya ke pada teman.
“Ada apa? Kenapa Lulu menangis ?” tanyaku dengan bingung. Namun tidak ada yang menjawab pertanyaanku.
Aku berusaha menghibur Lulu dan membantu mencari jam tangannya. Aku juga tidak menemukannya. Ketika aku hendak duduk, kamu mulai berbicara dengan keras. Walaupun tanpa toa sauara kamu sangat menggelegar seantro kelas dan heboh seperti inang-inang jualan di pasar Sambo.