Satu Lagi, Superman Tanpa Otot Kawat Tulang Besi

Satu Lagi, Superman Tanpa Otot Kawat Tulang Besi

Cerpen
Oleh: Alif Rahman Hakim

Tak terasa diantara kita, hidup banyak insan yang selalu bisa menemukan kekuatan dalam kelemahannya. Ketidaksempurnaan tidak mampu men-tackle hidup mereka, bahkan sebaliknya, kehidupan pun bisa takluk dibawah kendali mereka, dengan izin Tuhan tentunya.

Inilah sedikit kisah tentang seorang pemuda yang memang tidak punya “otot kawat tulang besi”, tapi mentalnya cukup sekeras baja.

Pemuda itu bernama David (bukan nama sebenarnya), seorang lulusan D3 akuntansi dan pekerja di perusahaan kontraktor  sejak tahun 2001 hingga sekarang. Memang dari kebiasaan kerjanya dulu, bisa dibilang ia workaholic, seorang yang waktu kerjanya jauh lebih tinggi dari waktu istirahatnya atau waktu senggangnya.

Pada tahun 2009 bulan Januari, mulai terasa tubuhnya kurang enak, pun sering rasa sakit mampir di kepalanya. Dan betapa menyengatnya diagnosa dokter, sebulan setelahny.,

Setelah proses cek darah dan urine yang ditangani oleh dr. Samsirun, “rasa sakit” itu ternyata menggerus ginjalnya, dan ia divonis menyandang Cronic kidney Disease (Sakit Ginjal Kronis) stadium 3.

Di bulan itu juga ia terbang ke Jakarta untuk mendapatkan penanganan. Pertama ia diperiksa kembali di RS Cikini dengan hasil yang tidak berbeda. Ia coba lagi periksakan perihal sakitnya itu ke RS Siloam di Lippo Karawaci, dan hasilnya juga sama.

Dokter dari dua rumah sakit itu menyarankan untuk dialysis (cuci darah). Akhirnya ia kembali ke RS Cikini untuk operasi double lumen – selang penghubung ke pembuluh darah – dan pemasangan cimino atau AV Shunt, akses jalan darah keluar yang ditanam di lengan.

Kedua ginjal David kala itu mulai menyusut menjadi 80-85% ukuran normal. GFR (Glomalular Filtration Rate), atau kemampuan penyaringan ginjalnya hanya 15%. Terapi dialysis pun dimulai di rumah sakit tersebut, seminggu sekali pada awalnya, lalu ia pulang ke Jambi dan rutin cuci darah di RSU Raden Mattaher.

Enam bulan kemudian jadwal cuci darah itu menjadi dua kali seminggu hingga sekarang. Itu berarti sakit ginjalnya berevolusi jadi stadium 5.

Kejadian itu bagaikan petir di siang bolong tanpa mendung sesapuan pun. Perasaanya campur aduk, nano-nano! Terlebih lagi rasa takut selalu hinggap di pikirannya. Karena memang sampai sekarang, belum ada obat yang teruji klinis yang mampu menyembuhkan sakitnya itu.

Istana bernama masa depan yang telah separuh dibangunnya kini tiba-tiba hancur luluh lantak diterjang air bah bernama gagal ginjal kronis. Ia pun yang awalnya periang, mendadak berubah skeptis dan abai pada impiannya serta pada lingkungannya.

Semangatnya hilang, seperti jam dinding kehabisan batere, hidup segan mati tak mau. Tapi yang ia tau bayang-bayang kematian sudah sangat dekat. Malaikat maut seakan sudah terlihat di ujung ufuk dan melambai ria pada dirinya.

“Mengapa harus terjadi? Mengapa harus aku yang terkena?” Selalu ia bertanya pada dirinya sendiri dan Tuhan. Ah, tetapi kehendak Tuhan adalah takdir yang tak bisa dilawan, dan Tuhan tahu itu yang terbaik. Kalau bisa diandaikan mungkin Tuhan pun akan menjawab: “Why not? Mengapa tidak?”.

Bukankah Tuhan telah lama menyebutnya dalam kitab suci bahwa keburukan yang menimpa manusia adalah ulah dirinya sendiri? Karena itu, meskipun lama dapat menerima kenyataan ini, ia pun terpaksa harus menelan fakta pahit tersebut bulat-bulat.

Pemuda Tionghoa muslim itu kini harus menyambung hidup dengan mesin dialysis tiap dua kali sepekan, dan bisa jadi sampai seumur hidupnya. Beruntung, keluarga dan teman-teman selalu mendukung ia sepenuhnya, meski kadang ada pula satu-dua orang yang setengah menuding; “Itu karena kamu kurang minum.

Itu karena kamu kurang istirahat.” Pun ada beberapa keluarganya yang bilang bahwa itu karena ia sering puasa. Namun itu bukan tuduhan yang menyalahkan, hanya ungkapan perasaan kasih sayang dengan cara yang berbeda saja.

Semangatnya kembali tumbuh saat ia merasa bahwa dirinya tidak sendiri. Masih banyak orang lain dengan kondisi sama, bahkan ada pula yang lebih buruk darinya. Selain itu, bergabung dalam organisasi seperti Hidup Ginjal Muda di group Facebook meningkatkan gairah hidupnya.

Di group media sosial lain ia juga tergabung dalam KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia) hingga diamanahkan menjadi koordinator pasien cuci darah RSU Raden Mattaher Jambi.

Pengaruh sakit ginjalnya tersebut pada pekerjaannya pun tidaklah signifikan. Ia tetap bisa bekerja normal. Syukurnya, atasan di tempatnya bekerja mengizinkan ia untuk absen dua kali seminggu karena proses terapi.

Pada awalnya, sepulang terapi di rumah sakit ia langsung kembali ke tempat kerja dan melanjutkan kerjanya, namun kini ia memilih pulang dan istirahat dan libur total pada hari terapi itu.  Bila ada pekerjaan penting, ia akan selesaikan secara online di rumah.

Untuk terus dapat bekerja dengan produktif, bukan hanya harus rutin cuci darah saja, ia juga harus menjaga pola makan dan minum yang tepat. Ada beberapa makanan yang harus dihindari, seperti buah Belimbing, karena mengandung neurotoxin yang tidak bisa dikeluarkan oleh terapi.

Ia juga harus menghindari makanan yang tinggi kalium layaknya alpukat, air kelapa, pisang, dan lain-lain. Untuk minum, memang pasien GGK akan dibatasi untuk asupan cairan. Lelaki 40 tahun itu pun hanya bisa minum sekitar 500 cc per hari demi menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak jadi pembengkakan atau kelebihan cairan.

Telah sepuluh tahun lebih David bertahan hidup dengan kerusakan ginjal. Bukan hal yang mudah untuk dijalankan kecuali orang-orang terpilih dengan kesabaran yang tertempah. Ia telah membuktikan, bahwa orang yang terkena sakit gagal ginjal kronis (GGK) tidaklah harus terbaring lemah, tapi bisa hidup normal dan bekerja normal pula, berperan bagi lingkungan, komunitas dan masyarakat.

Penulis :

Alif Rahman Hakim,

Penggemar balap, suka bercoret-ria dalam tulisan, pengajar Bahasa Inggris, juga seorang pasien GGK sejak Januari 2020.

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments