Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya semakin rendah. Berdasarkan Survei United Nations Education, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pasific, Indonesia menempati peringkat ke 10 dari 14 negara.
Hal ini juga diperparah dengan kurangknya minat baca penduduk Indonesia berdasarkan dari survei yang sama (UNESCO 2012) minat baca penduduk Indonesia jauh dibawah negara Asia lainnya, Bahkan saat itu Indonesia menempati posisi kedua terendah dari 65 negara yang di suvey.
Lalu masalahnya dimana? menurut Istilah Paulo Piere sistem pendidikan kita seperti pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan yang sangat tidak membebaskan karena para peserta didik dianggap murid-murid yang tidak tahu apa-apa.
Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk mengahafal secara mekanis apa isi pelajaran yang di ceritakan. Otak murid dipandang sebagai safe deficit box, dimana pengetahuan dari guru di transfer kedalam otak murid dan sewaktu waktu diperlukan, pengetahuan itu diambil saja, murid hanya menampung apa yang disampaikan oleh guru. Potret pendidikan dan budaya literasi tadi sebenarnya menjadi permasalahan serius apalagi ditengah revolusi industri 4.0.
Revolusi Industri 4.0 menurut Klaus Schwab, Founder and Executive Chairman of the World Economic Forum dalam bukunya The Fourth Industrial Revolusion.
Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan kemunculan superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetic dan perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak.
Penjelasan diatas sangatlah menakutkan jika dilihat dari perspektif negatif akibat perkembangan teknologi, ditambah lagi dengan kondisi pendidikan dan budaya literasi kita sangat jauh, siapkah kita menghadapi gempuran zaman seperti ini? mari kita analisis dan berikan sedikit saran demi kemajuan pendidikan di Indonesia dimasa yang akan datang.
Kilas Balik Sejarah Revolusi Industri
Jika berbicara tentang revolusi industri, ada baiknya kita merefleksi kembali mengenai sejarah perkembangan revolusi industri.
Pertama terjadi pada akhir abad ke 18. Hal ini, ditandai dengan ditemukannya alat tenun mekanis pada tahun 1784. Kala itu, industri diperkenalkan dengan fasilitas produksi mekanis yang menggunakan tenaga air dan uap. Peralatan kerja yang awalnya bergantung pada tenaga manusia dan hewan akhirnya digantikan dengan mesin tersebut. akibatnya, meski jumlah produksi meningkat, banyak orang yang menganggur.
Kedua, Revolusi industri 2.0 terjadi diawal abad ke 20. Kala itu, ada pengenalan produksi massal berdasarkan pembagian kerja. Produksi masal ini di mungkinkan dengan adanya listrik dan jalur perakitan. Lini produksi pertama melibatkan rumah potong hewan di Cincinnati, Amerika Serikat, pada 1870.
Ketiga, awal tahun 1970 ditenggarai sebagai perdana kemunculan revolusi industri 3.0 yang dimulai dengan penggunaan elektronik dan teknologi informasi guna otomatisasi produksi. Debut revolusi industri generasi ketiga ditandai dengan kemunculan pengontrol logika terprogram pertama, yakni modem 084-969, sistem otomasisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi dikendalikan manusia, biaya produksi dapat ditekan oleh penerapan hal ini,
Keempat, sekarang kita di tengah tantangan revolusi industri 4.0. Apa yang dimaksud dengan revlolusi berikut penjelasannya. Revolusi Industri adalah industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi cyber.
Ini merupakan tren otomatisasi dan pertukaran data dalam teknologi manufaktur. Pada era ini, industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data, semua sudah ada dimana-mana.
Potret Pendidikan dan Budaya Literasi di Indonesia
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standarisasi pengajaran.
Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya, adapun permasalah khusus dalam dunia pendidikan yaitu, a. rendahnya sarana fisik, b. rendahnya kualitas guru, c. rendahnya kesejahtraan guru, d. rendahnya prestasi siswa, e. rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, f. rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, g. mahalnya biaya pendidikan.
Apalagi kondisi literasi Indonesia urutan 64 dari 65 negara, Tingkat membaca siswa, Indonesia urutan ke 57 dari 65 negara (PISA, 2010), Indeks minat baca: 0, 001 (setiap 1.000 penduduk hanya satu yang membaca), tingkat melek huruf orang dewasa: 65,5 % (Republika). Indonesia dihadapkan pada suatu tantangan yang serius demi menyiapkan daya saing pada revolusi Industri 4.0.
Era pendidikan 4.0 merupakan tantangan sangat berat dihadapi oleh guru. Jack Ma (CEO Alibaba Group) dalam pertemuan tahunan tahunan Word Economic Forum 2018, menyatakan bahwa pendidikan adalah tantangan besar abad ini.
Jika tidak mengubah cara mendidik dan belajar mengajar, maka 30 tahun mendatang kita akan mengalami kesulitan besar. Pendidikan dan Pembelajaran yang sarat dengan muatan pengetahuan mengesampingkan muatan sikap dan keterampilan sebagaimana saat ini terinplementasi akan menghasilkan peserta didik yang tidak mampu berkompetisi dengan mesin.
Oleh karena itu, Pendidikan yang diimbangi dengan karakter dan literasi menjadikan peserta didik akan sangat bijak dalam menggunakan mesin untuk kemaslahatan masyarakat. Kompetensi yang dibutuhkan dalam era pendidikan 4.0 adalah:
Pertama: Keterampilan berfikir kritis dan pemecahan masalah (critical thingking and problem solving skill). Kompetensi ini sangat penting dimiliki peserta didik dalam pembelajaran abad 21. Guru 4.0 harus mampu meramu pembelajaran sehingga dapat mengekplor kompetensi ini dari diri peserta didik.
Kedua, Keterampilan komunikasi dan kolaboratif (communication and collaborative skill). Sebagai sebagai satu kompetensi yang sangat dibutuhkan di abad 21, keterampilan ini harus mampu dikontruksi dalam pembelajaran. Model pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi harus diterapkan guru guna mengkontruksi kompetensi komunikasi dan kolaborasi, (Jon Darmawan)
Ketiga, Keterampilan berfikir kreatif dan inovasi (creativity and innovative skill), Revolusi industri 4.0 mengharuskan peserta didik untuk selalu berfikir dan bertindak kreatif dan inovatif. Tindakan ini perlu dilakukan agar peserta didik mampu bersaing dalam menciptakan lapangan kerja berbasis industry 4.0.
Kondisi ini diperlukan mengingat sudah banyak korban revolusi industri 4.0. Misalnya, banyak profesi yang tergantikan oleh mesin digital robot, contoh. Pembayaran jalan tol menggunakan e-toll. Sistem ini telah memaksa pengelola jalan tol untuk memberhentikan tenaga kerja yang selama ini digunakan disetiap pintu tol.
Keempat, Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (information and communication technologi literacy). Literasi teknologi informasi dan komunikasi menjadi kewajiban bagi guru 4.0. Literasi ini harus dilakukan agar tidak tertinggal dengan peserta didik. Literasi TIK merupakan dasar yang harus dikuasai guru, agar mampu menghasilkan peserta didik yang siap bersaing dalam menghadapi revolusi industri 4.0.
Kelima, Contextual learning skill, Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang sangat sesuai diterapkan guru 4.0. Jika guru sudah menguasai literasi TIK, maka pembelajaran kontekstual era pendidikan 4.0 lebih mudah dilakukan. Kondisi saat ini TIK merupakan satu konsep kontekstual yang harus dikenalkan oleh guru, materi pembelajaran banyak kontekstualnya berbasil TIK sehingga guru 4.0 sangat tidak siap jika tidak memiliki literasi TIK. Materi sulit yang bersifat abstrak mampu disajikan menjadi lebih rill dan kontekstual menggunakan TIK.
Keenam, Literasi Informasi dan Media (information and media literasy). Banyak media informasi bersifat sosial yang digandrungi peserta didik. Media sosial seolah menjadi media komunikasi yang ampuh digunakan peserta didik dan guru. Media sosial menjadi salah satu media pembelajaran yang dapat dimanfaatkan guru 4.0. Kehadiran kelas digital bersifat media sosial dapat dimanfaatkan guru, agar pembelajaran berlangsung tanpa batas ruang dan waktu.
Di era revolusi industri 4.0 ini baik guru dan murid harus siap mengahadapi berbagai tantangan yang ada, dengan segera mencarti solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan literasi. Jika tidak, maka generasi muda kita akan terus tertinggal dan efeknya tidak mampu bersaing mengahadapi perkembangan zaman yang terus berubah dengan cepat.
Mungkin dari permasalahan diatas dengan segala pertimbangan presiden Jokowi mengangkat anak muda millennial seperti Nadiem Makarim untuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dengan harapan pendidikan dan literasi di Indonesia dapat memenuhi kebutuhan zaman di tengah era rovulusi industri ini. Semoga.
Penulis Adalah: Founder Komunitas Menulis Al-Mujaddid.
amazing