Pandemi Covid-19, banyak negara termasuk Indonesia telah merasakan pasang surut virus tersebut. Pandemi tidak hanya merenggut nyawa tetapi juga aspek kehidupan lainnya, seperti ekonomi dan layanan kesehatan.
Fasilitas dan tenaga kesehatan yang harus bekerja di luar kapasitas merupakan hal yang pasti terjadi dengan meningkatnya kasus Covid-19 di luar kapasitas, kelangkaan obat-obatan dan oksigen juga termasuk hal yang harus diantisipasi.
Namun, dalam situasi darurat, manusia sering bertindak egois, lonjakan kasus bukan satu-satunya penyebab kelangkaan benda kesehatan. Sejak lonjakan kasus yang mencetuskan pemberlakuan PPKM Darurat pada 3 Juli 2021, stok oksigen sudah mulai terasa menipis karena beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab telah menimbun suplai oksigen dan seringkali menjualnya kembali dengan harga yang berlipat-lipat.
Kapasitas produk oksigen di Indonesia mencapai 866.000 ton per tahun dengan utilisasi produksi tahunan sebesar 638.900. Sebanyak 75% digunakan untuk industri dan hanya 25% digunakan untuk keperluan medis.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini total kebutuhan oksigen untuk perawatan intensif dan isolasi pasien Covid-19 mencapai 1.928 ton per hari, sedangkan kapasitas yang tersedia 2.262 ton per hari. Banyak pasien akan tidak berdaya ketika oksigen tidak tersedia di rumah sakit. Misalnya, sebanyak 33 pasien di RSUD Dr Sardjito Yogyakarta meninggal dunia karena kekurangan oksigen di rumah sakit tersebut dan itu terjadi dalam waktu 24 jam.
Namun kenyataan yang terjadi masih membuat orang bertanya-tanya apakah hukuman itu efektif dan jika ada aturannya, mengapa masih ada orang yang melanggarnya. Terlihat bahwa tindakan pemerintah dalam bentuk peraturan dan sanksi tidak terlalu efektif, karena bagaimanapun juga dalam pelaksanaan hukum terdapat paradoks hukum dimana hukum dan sanksi yang besar sudah ada, tetapi masyarakat tetap bertindak.
Pemerintah memang bisa melakukan pengawasan yang lebih ketat antar institusi dan memaksimalkan penggunaan oksigen dalam medis dan produksi oksigen itu sendiri. Namun pengawasan dan produksi yang maksimal tidak akan menghentikan penimbunan yang terjadi karena manusia masih kurang empati dan mementingkan keuntungan pribadi di masa pandemi ini.
Seperti yang kita lihat, masyarakat masih menganggap hukum sebagai hal yang sepele. Dalam kasus penimbunan oksigen seperti sekarang ini yang telah merugikan banyak orang bahkan merenggut nyawa, seharusnya jaksa menuntut hukuman maksimal 12 tahun penjara dan denda lima miliar. efek jera perlu dituntut semaksimal mungkin dan kumulatif.
Dengan begitu dapat terlihat kekuatan hukum dan masyarakat tidak akan meremehkan hukum. Namun tetap tidak bisa menjamin pelaku tidak akan terulang lagi. Langkah lain yang dapat ditempuh adalah penetapan regulasi dari pemerintah mengenai transparansi informasi dari pihak yang berwenang atau mitra dalam penjualan alat kesehatan.
Karena saat ini, pihak yang menggandakan harga secara tidak wajar adalah penjual yang tidak teregulasi yang tidak terpantau. Apakah mereka memiliki hak untuk menjual barang-barang ini. Tentunya kedua hal tersebut harus dilakukan secara merata karena sampai saat ini masih banyak yang lolos.
Penimbunan sendiri akan terus terjadi ditambah dengan melemahnya perekonomian masyarakat. Semakin banyak orang melihat lonjakan kasus positif sebagai peluang untuk mendapat untung dari barang-barang yang dibutuhkan seperti susu, obat-obatan, dan oksigen.
Diperlukan edukasi dari pemerintah tentang barang kebutuhan pokok bagi pasien yang terpapar virus Covid-19 itu sendiri. Karena kelangkaan yang terjadi juga karena masyarakat menganggap sesuatu itu penting.
Edukasi kepada masyarakat juga dapat menyebarluaskan informasi mengenai pembelian kebutuhan medis yang aman agar masyarakat tidak termakan oleh hoaks yang menimbulkan panic buying dan hoarding. Selain pendidikan, pemerintah masih harus memaksimalkan hukuman yang dikenakan kepada penimbun dan memperhatikan sistem lembaga negara sehingga hukuman preventif dan represif diterapkan secara bersamaan untuk meminimalkan jumlahnya.
Penegakan hukum juga dapat dilakukan dimana pemerintah dapat membuat program bagi masyarakat untuk mengadu jika mengetahui adanya penimbunan. Implementasi undang-undang juga menjadi aspek penting dalam mencegah penimbunan karena jika undang-undang menetapkan sanksi 12 tahun penjara tetapi dalam praktiknya hanya 3 tahun, maka efek jera tidak begitu signifikan dan penimbunan terus berlanjut.
Hal ini tidak dapat dibiarkan karena dasar keberadaan hukum akan dipertanyakan di Indonesia sendiri, penegakan harus dilanjutkan dan pihak-pihak seperti polisi atau pihak yang berwenang mengusut kasus harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ada pepatah hukum ‘lex dura, sed tamen scripta’ yang mengatakan bahwa isi undang-undang itu kejam tetapi begitulah bunyinya untuk mencapai tujuan hukumnya. Bentuk upaya penyelesaian hukum seperti pendidikan sebagai bentuk pencegahan dan sanksi sebagai pelaksanaan penegakan hukum harus ditegakkan secara adil bagi pelakunya.
Namun terkait penegakan hukum yang menimbun barang seperti tabung oksigen, dimana barang tersebut merupakan barang krusial atau penting di masa pandemi saat ini, harus cepat diselesaikan dengan upaya penegakan hukum sesuai dengan pepatah hukum pemerintah agar efektifitas undang-undang tersebut. di Indonesia adalah nyata dan jelas, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014, dapat dijerat dengan Pasal 107 UU 7/2014.
Oleh: Lisa Aprilia Gusreyna, Sumber: Geotimes