Pemberhalaan Fikih Dimasa Corona

Pemberhalaan Fikih Dimasa Corona

Agama
Oleh: Lev Widodo

Selama ini, di sana sini telah muncul gejala pemberhalaan fikih dalam masyarakat muslim kita. Pandemi Corona menampilkan gejala tersebut secara lebih mencolok.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang menegaskan kebolehan untuk tidak menjalankan salat Jumat di kawasan dengan tingkat penularan Corona tak terkendali, yang lazim disebut zona merah. Melalui fatwanya yang lain, MUI juga menganjurkan umat Islam untuk tidak melaksanakan salat Tarawih berjamaah di masjid selama bulan Ramadan.

Namun, sebagian muslim tidak menghiraukan seruan MUI tersebut. Mereka masih saja menyelenggarakan salat Jumat. Bahkan, salat Tarawih juga masih mereka kerjakan. Seakan-akan kedua salat tersebut berstatus fardhu ‘ain (kewajiban individual) dari segi hukum fikih.

Padahal, sebagaimana kita ketahui, hukum salat Jumat bagi lelaki muslim dewasa adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Sementara itu, hukum menjaga keselamatan jiwa sendiri dan orang lain dari ancaman kematian–termasuk ancaman kematian akibat tertular virus Corona–adalah fardhu ‘ain. Penalaran warasnya, ibadah fardu ‘ain didahulukan dan diutamakan.

Yang lebih tidak rasional lagi adalah kengototan sebagian muslim untuk mengerjakan salat Tarawih berjamaah di masjid. Padahal, mereka bermukim di kawasan zona merah. Hukum salat Tarawih adalah sunah. Sungguh tidak rasional apabila ibadah sunah lebih diprioritaskan daripada perbuatan fardhu.

Perilaku beragama tak rasional tersebut jelas tidak disebabkan faktor tunggal. Di balik kemunculannya, terdapat banyak faktor. Perilaku tersebut barangkali disebabkan pemahaman ajaran agama yang tak utuh dan tak tuntas. Barangkali disebabkan fanatisme atau faktor-faktor psikologis lainnya.

Namun demikian, tampaknya “semangat memberhalakan fikih” turut menjadi pemicu kemunculan perilaku beragama tak rasional. Pemberhalaan fikih terjadi manakala apa saja yang dikatakan “teori” fikih harus diterapkan dalam kondisi bagaiamana pun. Tanpa pengecualian sama sekali.

Teori diaplikasikan secara kaku. Kebenaran diterapkan secara tak kontekstual. Ilmu diamalkan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi. Teori fikih, ilmu fikih, pendapat fikih, atau hukum fikih disamakan begitu saja dengan teori matematika.

Dalam matematika, kebenaran bersifat kaku, pasti, dan tetap. Matematika menetapkan bahwa 1 +1 = 2. Pokoknya, jumlahnya 2. Tidak boleh 3. Dilarang 4. Kebenaran matematis adalah kebenaran “pokoknya”. Kebenaran “pokoknya” hanya mungkin diterapkan sepenuhnya dalam alam pikiran.

Jika diterapkan secara ideal dalam realitas sosial yang kompleks dan sarat nuansa, kebenaran “pokoknya” akan menimbulkan pertikaian. Nafsu meluap-luap untuk menerapkan kebenaran “pokoknya” niscaya menghancurkan kerukunan masyarakat.

Karena itu, hukum tidak pernah menggunakan kebenaran “pokoknya”. Hukum terletak dalam bingkai kebenaran kontekstual, suatu kebenaran yang menerima pengecualian, toleransi, dan revisi. Dengan kata lain, meskipun diharuskan menunjukkan kejelasan dan ketegasan, hukum pun harus fleksibel dalam implementasi.

 

Hukum berfungsi untuk menegakkan kedamaian dan melindungi kemanusiaan. Itulah sebabnya, hukum mengagungkan keadilan. Penerapan kebenaran “pokoknya” dapat menggoncang kedamaian dan melanggar kemanusiaan.

Fikih adalah hukum, persisnya hukum yang berlandaskan norma-norma agama Islam. Maka, sebagai hukum, fikih pada dasarnya memiliki watak fleksibel. Sebab itulah, dalam ilmu fikih dikenal istilah rukhshah (kelonggaran), takhfif (keringanan), dan ma’fu ‘anhu (kasus yang ditolerir). Dalam ilmu usulfikih, dibahas sebuah tema kajian yang juga dikaji dalam ilmu tafsir (‘ulumul qur’an), yaitu nasakh dan mansukh. Ada ayat al-Quran yang kandungan hukumnya telah dihapus (mansukh) oleh ayat al-Quran lain yang turun beberapa waktu kemudian.

Saat pemberhalaan fikih terjadi, watak fleksibel fikih itu dianggap tiada. Keseluruhan ketentuan fikih dipandang sebagai kanon hukum yang sudah jadi, fixed, mantap, stabil, dan permanen. Padahal, isi fikih terbagi menjadi dua. Pertama, bagian yang menyangkut ibadah mahdhah. Kedua, bagian yang menyangkut ibadah muamalah.

Aturan ibadah mahdhah sebagian besarnya bersifat baku dan permanen. Tidak berubah-ubah dan tidak boleh diubah-ubah. Namun demikian, pelaksanaan ibadah mahdhah pun dilakukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi.

Misalnya, dalam hal salat Jumat, ada ketentuan ‘udzur. Ada batas-batas toleransi yang diberikan bagi mereka yang karena situasi dan kondisi tertentu tak mampu melakukan salat Jumat. Salat wajib lima waktu, puasa Ramadan, zakat fitrah, dan ibadah haji pun mengandung toleransi-toleransi.

Separuh “isi” fikih berikutnya menyangkut aktivitas muamalah yang berkaitan dengan interaksi sosial. Meskipun ada unsur-unsur muamalah yang tidak boleh diotak-atik dan digonta-ganti, sebagian besar ketentuan fikih muamalah diaplikasikan secara lentur.

Kelenturan pengaplikasian fikih muamalah inilah yang memungkinkan Islam diterima di kawasan luar Arab sehingga tersebar luas ke seluruh dunia. Kelenturan ini pula yang mendinamiskan agama Islam. Islam tak menjadi fosil. Islam tak mati. Terus hidup, tumbuh, dan berkembang seturut perputaran roda waktu.

Kebesaran Islam yang kita nikmati saat ini tidak mungkin terwujud tanpa kelenturan fikih. Pemberhalaan fikih akan membunuh umat Islam dari dalam secara perlahan-lahan. Memberhalakan fikih adalah tindakan bunuh diri.

Bukankah begitu?

*Masyarakat biasa. Tinggal di Jambi. Pernah belajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Bagikan via:

2 thoughts on “Pemberhalaan Fikih Dimasa Corona

  1. Koreksi sedikit mas @lev widodo

    Diatas anda membandingkan antara hukum shalat jumat bagi laki laki muslim dewasa dengan hukum menjaga keselamatan jiwa sendiri dan orang lain. Anda mengatakan bahwa hukum menjaga keselamatan jiwa sendiri dan orang lain adalah fardhu ain, saya setuju dan membenarkan. Namun saya ingin luruskan tentang hukum shalat jumat bagi laki laki muslim dewasa, hal itu hukumnya juga fardhu ain, bukan fardhu kifayah seperti yang anda sampaikan, bahkan untuk shalat jumat itu sendiri tidah hanya mengerjakannya saja yang hukumnya fardhu ain, tetapi juga termasuk tata cara pengerjaannya, yang mana dalam hal ini ia harus dilakukan dengan berjamaah.

    Jadi pola penalarannya bukan karna yg satu fardhu ain, sementara yg lain fardhu kifayah. Namun lebih kepada karena ke -fardhu ain -an dari shalat jumat itu sendiri untuk dalam kondisi seperti sekarang ini memiliki hambatan, yang mana kalau dalam bahasa fiqihnya adalah māni’, yang artinya suatu hambatan atau penghalang dari melaksanakan hukum awal, yakni kalau dalam kaitannya dengan kondisi saat ini yaitu penularan wabah sehingga hukum fardhu ain-nya diberi rukhsah, atau keringanan, atau bahkan dapat berubah menjadi haram, tergantung kepada tingkat mudharat yg ditimbulkan dari mengerjakannya disaat ada māni’ tersebut.

    Jadi hukum awalnya tetap saja bukan fardhu kifayah seperti yg anda sampaikan.

    Kemudian ketika anda menyampaikan tentang fleksibilitas hukum dalam fikih yang anda katakan dalam situasi “pemberhalaan fikih” ia menjadi tidak ada, anda mengaitkan dengan pembagian pembahasan fikih kepada pembahasan ibadah mahdah dan muamalah (anda : padahal isi fikih terbagi menjadii dua, … ).

    Lantas apa hubungannya ? toh kedua pembagian tersebut sama sama ada bagian baku dan bagian fleksibelnya. Karna sesungguhnya asal dari fleksibilitas fikih itu sandiri bukan dari pembahasan ibadah mahdah atau muamalahnya itu, melainkan dari kesepakatan para ulama bahwa hukum yg dapat menyesuaikan situasi itu adalah yg bagian furu’/cabang / turunan dari bagian ushul atau bagian asal.

    Saya harap tulisan ini dapat di tinjau kembali, karena ini sudah masuk ranah publik dan akan banyak orang yang membacanya, sehingga kevalidan argumen juga harus dipertanggung jawabkan. Maaf, mohon lebih banyak lagi membaca.

  2. Mas Afdhal yang baik, terima kasih untuk kritik dan nasihatnya. Sebelum saya menanggapi kritik Anda lebih jauh, terlebih dulu saya perlu mengatakan bahwa saya bukan ustaz atau ahli agama. Hanya awam. Masyarakat biasa. Saya menulis artikel di atas sekadar untuk mengekspresikan kegelisahan pribadi.

    Dlm artikel di atas, saya meletakkan kegelisahan pribadi tersebut sebagai “tesis” artikel. Sebagai tulisan opini, artikel saya memiliki tesis dan argumentasi. Tentang teori tulis-menulis ini, saya yakin Mas Afdhal lbh paham drpd saya. Mohon maaf bila saya terkesan menggurui.

    Tesis artikel saya adalah “ada gejala pemberhalaan fikih di masa Corona”. Ini substansi artikel saya. “Pemberhalaan fikih”, yang biasanya disebut “taqdisul fiqh” dan termasuk dlm lingkup kajian “taqdisut turats”, bukanlah topik diskusi yg baru dalam Islamic Studies. Jadi, apa yg saya bicarakan dlm artikel di atas sebenarnya topik yg sudah usang. Akan lbh menarik bila kita berdebat ttg substansi artikel saya. Polemik intelektual secara terbuka ttg “taqdisul fikih” akan mencerahkan publik.

    Tapi, saya akan tetap menanggapi kritik Mas Afdhal. Anda mengkritik dua dari sejumlah argumentasi saya. Setelah saya renungkan secara jernih, dua kritik tersebut tidak menggugurkan tesis saya bahwa “ada pemberhalaan fikih di masa Corona”.

    Kalau pemahaman saya tak keliru, dlm poin kritik pertama, Anda memandang bahwa perbandingan (?) saya tidak tepat. Saya mengkonfrontasikan fardhu kifayah dgn fardhu ‘ain. Dan pemenang dari konfrontasi ini logisnya adalah fardhu ‘ain. Saya pikir, pengkonfrontasian tsb sudah tepat. Sebab, hukum manthiq-nya memang demikian. Logisnya, fardhu ‘ain lbh utama drpd fardhu kifayah.

    Titik kekeliruan saya bukan pada pengkonfrontasian–yg Anda pikir sebegai perbandingan (?)–itu. Saya memang keliru saat menulis bahwa hukum salat Jumat bagi lelaki dewasa muslim adalah fardhu kifayah.

    Namun demikian, kritik Mas Afdhal juga kurang lengkap. Hukum salat Jumat tak “sebatas” fardhu ‘ain. Dlm kitab Fathul Mu’in, dijelaskan bahwa hukum salat Jumat adalah “fardhu ‘ain ‘inda ijtima’i syaraithiha”. Terjemahan “luwes”-nya, Hukum salat Jumat adalah fardhu ‘ain apabila syarat-syaratnya telah cukup.

    Jika Mas Afdhal mengatakan bahwa hukum salat Jumat adalah fardhu ‘ain tanpa keterangan tambahan, dikhawatirkan akan timbul kesalahpahaman. Dikhawatirkan akan ada yang menyimpulkan bahwa ke-fardhu ‘ain-an salat Jumat sama belaka dgn ke-fardhu ‘ain-an salat wajib lima waktu. Padahal, fardhu ‘ain salat Jumat adalah fardhu ‘ain yang bersyarat.

    Salah satu syarat ke-fardhu ‘ain-an salat Jumat adalah “ghairu ma’dzur”. Tidak ada uzur. Dan ketentuan uzur salat Jumat sama seperti ketentuan uzur salat jamaah (allati marrat fi al-jama’ah).

    Di sini jelas bahwa dalam konteks salat Jumat, “ghairu ma’dzur” bukan mani’, melainkan syarth. Mani’, yang berkaitan dgn kaidah usul fikih “al-dharurat tubih al-mahdzhurat”, memang meniscayakan rukhshah (kelonggaran). Tapi, ghairu ma’dzur yg merupakan syarth salat Jumat, tdk tepat diketegorikan sbg rukhshah. Lebih tepat diketegorikan sbg takhfif (keringanan), persisnya takhfif isqath. Walaupun mirip, rukhshah dan takhfif sebenarnya agak berbeda.

    Demikian tanggapan saya atas kritik pertama Mas Afdhal. Selanjutnya, saya akan menanggapi kritik Anda yang kedua. Sepenangkapan saya, dlm poin kritik kedua, Anda menyatakan bahwa penjelasan saya tentang kategorisasi ibadah mahdhah dan muamalat tidak relevan sbg argumen untuk menjelaskan watak fleksibel hukum fikih.

    Tampaknya, fokus Mas Afdhal terdistraksi karena adanya kata “padahal”. Jika Mas Afdhal lebih cermat membaca artikel saya, saya tidak menggunakan kategorisasi mahdhah-mu’amalah sbg argumen fleksibilitas fikih. Penjelasan ttg kategorisasi itu hanya pengantar untuk argumen saya.

    Argumen saya adalah bahwa sebagian besar ketentuan ibadah mahdhah sudah baku dan permanen. Tapi, ketentuan itu diimplementasikan dgn mempertimbangkan situasi dan kondisi. Dlm ibadah muamalah, memang ada unsur-unsur yang permanen, tetapi sebagian besar ketentuan muamalah diaplikasikan secara lentur.

    Dengan kata lain, saya ingin menerangkan bahwa dalam fikih, ada hal-hal yang sudah tetap (tsawabit), ada juga hal-hal yang mutaghayyirat, yang bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi, sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Dlm kitab I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Ibnu al-Qayyim menyatakan bahwa “taghayyur al-fatwa wa ikhtilafuha bi hasb taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-‘awaid”. Perubahan fatwa dan perbedaannya (di kalangan ulama) berdasarkan perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, latar belakang intensional, dan adat-istiadat.

    Saya sengaja tidak menggunakan istilah ushul (pokok) dan furu’ (cabang). Sebab, dalam studi Islam klasik, kedua kata ini merupakan lafadzh yg maknanya musytarak, ambigu, dan relatif. Contohnya, apa yg dimaksud ushul dan furu’ oleh ulama kalam agak berbeda dgn apa yg dimaksud ushul dan furu’ di mata ulama fikih. Akan lain lagi nuansa semantiknya ketika istilah ushul dan furu’ digunakan ulama tasawuf.

    Karena itu, agar tak menimbulkan kesalahpahaman dlm diskusi, lbh aman menggunakan istilah tsawabit dan mutaghayyirat. Saya berusaha menulis artikel saya dgn gaya bahasa yang sederhana. Maka, saya tidak menggunakan istilah tsawabit & mutaghayyirat, dua konsep yg sangat sophisticated.

    Untuk menutup tanggapan ini, saya berterima kasih sekali lagi atas kritik dan nasihat dari Mas Afdhal. Saya memang masih kurang membaca. Masih bodoh. Saya akan meminta izin dari redaktur website ini untuk meng-edit bagian yang salah dan bagian yg menimbulkan kesalahpahaman dalam artikel saya di atas. Jika di lain waktu saya menulis lagi untuk website ini, saya akan sangat senang bila Mas Afdhal kembali memberikan kritik yang berharga dan nasihat yang menggerakkan.

    Salam.

    (Lev Widodo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *