Selama ini, di sana sini telah muncul gejala pemberhalaan fikih dalam masyarakat muslim kita. Pandemi Corona menampilkan gejala tersebut secara lebih mencolok.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang menegaskan kebolehan untuk tidak menjalankan salat Jumat di kawasan dengan tingkat penularan Corona tak terkendali, yang lazim disebut zona merah. Melalui fatwanya yang lain, MUI juga menganjurkan umat Islam untuk tidak melaksanakan salat Tarawih berjamaah di masjid selama bulan Ramadan.
Namun, sebagian muslim tidak menghiraukan seruan MUI tersebut. Mereka masih saja menyelenggarakan salat Jumat. Bahkan, salat Tarawih juga masih mereka kerjakan. Seakan-akan kedua salat tersebut berstatus fardhu ‘ain (kewajiban individual) dari segi hukum fikih.
Padahal, sebagaimana kita ketahui, hukum salat Jumat bagi lelaki muslim dewasa adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Sementara itu, hukum menjaga keselamatan jiwa sendiri dan orang lain dari ancaman kematian–termasuk ancaman kematian akibat tertular virus Corona–adalah fardhu ‘ain. Penalaran warasnya, ibadah fardu ‘ain didahulukan dan diutamakan.
Yang lebih tidak rasional lagi adalah kengototan sebagian muslim untuk mengerjakan salat Tarawih berjamaah di masjid. Padahal, mereka bermukim di kawasan zona merah. Hukum salat Tarawih adalah sunah. Sungguh tidak rasional apabila ibadah sunah lebih diprioritaskan daripada perbuatan fardhu.
Perilaku beragama tak rasional tersebut jelas tidak disebabkan faktor tunggal. Di balik kemunculannya, terdapat banyak faktor. Perilaku tersebut barangkali disebabkan pemahaman ajaran agama yang tak utuh dan tak tuntas. Barangkali disebabkan fanatisme atau faktor-faktor psikologis lainnya.
Namun demikian, tampaknya “semangat memberhalakan fikih” turut menjadi pemicu kemunculan perilaku beragama tak rasional. Pemberhalaan fikih terjadi manakala apa saja yang dikatakan “teori” fikih harus diterapkan dalam kondisi bagaiamana pun. Tanpa pengecualian sama sekali.
Teori diaplikasikan secara kaku. Kebenaran diterapkan secara tak kontekstual. Ilmu diamalkan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi. Teori fikih, ilmu fikih, pendapat fikih, atau hukum fikih disamakan begitu saja dengan teori matematika.
Dalam matematika, kebenaran bersifat kaku, pasti, dan tetap. Matematika menetapkan bahwa 1 +1 = 2. Pokoknya, jumlahnya 2. Tidak boleh 3. Dilarang 4. Kebenaran matematis adalah kebenaran “pokoknya”. Kebenaran “pokoknya” hanya mungkin diterapkan sepenuhnya dalam alam pikiran.
Jika diterapkan secara ideal dalam realitas sosial yang kompleks dan sarat nuansa, kebenaran “pokoknya” akan menimbulkan pertikaian. Nafsu meluap-luap untuk menerapkan kebenaran “pokoknya” niscaya menghancurkan kerukunan masyarakat.
Karena itu, hukum tidak pernah menggunakan kebenaran “pokoknya”. Hukum terletak dalam bingkai kebenaran kontekstual, suatu kebenaran yang menerima pengecualian, toleransi, dan revisi. Dengan kata lain, meskipun diharuskan menunjukkan kejelasan dan ketegasan, hukum pun harus fleksibel dalam implementasi.
Hukum berfungsi untuk menegakkan kedamaian dan melindungi kemanusiaan. Itulah sebabnya, hukum mengagungkan keadilan. Penerapan kebenaran “pokoknya” dapat menggoncang kedamaian dan melanggar kemanusiaan.
Fikih adalah hukum, persisnya hukum yang berlandaskan norma-norma agama Islam. Maka, sebagai hukum, fikih pada dasarnya memiliki watak fleksibel. Sebab itulah, dalam ilmu fikih dikenal istilah rukhshah (kelonggaran), takhfif (keringanan), dan ma’fu ‘anhu (kasus yang ditolerir). Dalam ilmu usulfikih, dibahas sebuah tema kajian yang juga dikaji dalam ilmu tafsir (‘ulumul qur’an), yaitu nasakh dan mansukh. Ada ayat al-Quran yang kandungan hukumnya telah dihapus (mansukh) oleh ayat al-Quran lain yang turun beberapa waktu kemudian.
Saat pemberhalaan fikih terjadi, watak fleksibel fikih itu dianggap tiada. Keseluruhan ketentuan fikih dipandang sebagai kanon hukum yang sudah jadi, fixed, mantap, stabil, dan permanen. Padahal, isi fikih terbagi menjadi dua. Pertama, bagian yang menyangkut ibadah mahdhah. Kedua, bagian yang menyangkut ibadah muamalah.
Aturan ibadah mahdhah sebagian besarnya bersifat baku dan permanen. Tidak berubah-ubah dan tidak boleh diubah-ubah. Namun demikian, pelaksanaan ibadah mahdhah pun dilakukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi.
Misalnya, dalam hal salat Jumat, ada ketentuan ‘udzur. Ada batas-batas toleransi yang diberikan bagi mereka yang karena situasi dan kondisi tertentu tak mampu melakukan salat Jumat. Salat wajib lima waktu, puasa Ramadan, zakat fitrah, dan ibadah haji pun mengandung toleransi-toleransi.
Separuh “isi” fikih berikutnya menyangkut aktivitas muamalah yang berkaitan dengan interaksi sosial. Meskipun ada unsur-unsur muamalah yang tidak boleh diotak-atik dan digonta-ganti, sebagian besar ketentuan fikih muamalah diaplikasikan secara lentur.
Kelenturan pengaplikasian fikih muamalah inilah yang memungkinkan Islam diterima di kawasan luar Arab sehingga tersebar luas ke seluruh dunia. Kelenturan ini pula yang mendinamiskan agama Islam. Islam tak menjadi fosil. Islam tak mati. Terus hidup, tumbuh, dan berkembang seturut perputaran roda waktu.
Kebesaran Islam yang kita nikmati saat ini tidak mungkin terwujud tanpa kelenturan fikih. Pemberhalaan fikih akan membunuh umat Islam dari dalam secara perlahan-lahan. Memberhalakan fikih adalah tindakan bunuh diri.
Bukankah begitu?
*Masyarakat biasa. Tinggal di Jambi. Pernah belajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Koreksi sedikit mas @lev widodo Diatas anda membandingkan antara hukum shalat jumat bagi laki laki muslim dewasa dengan hukum menjaga keselamatan jiwa sendiri dan orang lain. Anda mengatakan bahwa hukum menjaga keselamatan jiwa sendiri dan orang lain adalah fardhu ain, saya setuju dan membenarkan. Namun saya ingin luruskan tentang hukum shalat jumat bagi laki laki muslim dewasa, hal itu hukumnya juga fardhu ain, bukan fardhu kifayah seperti yang anda sampaikan, bahkan untuk shalat jumat itu sendiri tidah hanya mengerjakannya saja yang hukumnya fardhu ain, tetapi juga termasuk tata cara pengerjaannya, yang mana dalam hal ini ia harus dilakukan dengan berjamaah.… Read more »
Mas Afdhal yang baik, terima kasih untuk kritik dan nasihatnya. Sebelum saya menanggapi kritik Anda lebih jauh, terlebih dulu saya perlu mengatakan bahwa saya bukan ustaz atau ahli agama. Hanya awam. Masyarakat biasa. Saya menulis artikel di atas sekadar untuk mengekspresikan kegelisahan pribadi. Dlm artikel di atas, saya meletakkan kegelisahan pribadi tersebut sebagai “tesis” artikel. Sebagai tulisan opini, artikel saya memiliki tesis dan argumentasi. Tentang teori tulis-menulis ini, saya yakin Mas Afdhal lbh paham drpd saya. Mohon maaf bila saya terkesan menggurui. Tesis artikel saya adalah “ada gejala pemberhalaan fikih di masa Corona”. Ini substansi artikel saya. “Pemberhalaan fikih”, yang… Read more »