Pelelangan Barang Gadai Bermasalah Perspektif Ekonomi Islam

Pelelangan Barang Gadai Bermasalah Perspektif Ekonomi Islam

Ekonomi

Kali ini saya akan membahas tentang pelaksanaan lelang barang bermasalah untuk jaminan.  Tema ini dipilih karena seiring berjalannya waktu dan teknologi yang semakin kompleks, keberadaan bank syariah telah menarik perhatian masyarakat dan memaksa banyak orang untuk berpikir serius. 

Demikian juga banyak ditemukan pelanggaran dalam pelaksanaan lelang yang tidak sesuai dengan aturan lelang dalam syariat Islam.Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna dan telah meletakkan aturan dasar dan peraturan untuk semua aspek kehidupan manusia dalam hal ibadah dan muamalah. 

Setiap orang pasti perlu berinteraksi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain dan saling membantu di antara mereka.Berkenaan dengan tema di atas, lelang itu sendiri adalah suatu penjualan barang yang dilakukan di muka umum, termasuk melalui media elektronik, dengan cara penawaran secara lisan dengan harga naik atau turun dan atau dengan memberikan harga tertulis, kemudian berusaha menghimpun peminat. 

Jual beli model lelang muzayadah dalam hukum Islam adalah mubah (mahal).  Dalam kitab Subulussalam disebutkan bahwa Ibnu Abdi Barr berkata, “Sesungguhnya tidak haram menjual barang kepada orang dengan kenaikan harga, dengan kesepakatan semua pihak.”

Mengenai pengertian agunan, Mariam Darus Badrulzaman mengatakan, “Jaminan adalah jaminan yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.”  Jenis jaminan dibedakan menjadi dua, yaitu jaminan pribadi dan jaminan kebendaan.

Gadai Syariah (rahn) sendiri merupakan alternatif pembiayaan berupa pemberian pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan berdasarkan prinsip syariah Islam dan menghindari praktik riba atau menambah sejumlah uang saat membayar utang.  Mayoritas ahli hukum berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang yang digadaikan.  Sedangkan dalam hal pegadaian tidak dapat melunasi utang yang telah jatuh tempo, maka pegadaian dapat menjual barangnya.

Seiring dengan perkembangan zaman, hutang dan piutang terkadang tidak dapat dihindarkan, padahal banyak sekali fenomena ketidakpercayaan di antara manusia terutama di zaman sekarang ini.  Sementara itu, masyarakat terpaksa meminta jaminan atas benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya. 

Dalam hal jual beli, sebenarnya ada berbagai cara orang untuk menghasilkan uang dan salah satunya adalah dengan menggunakan metode rahn.  Para ulama berpendapat bahwa menggadaikan boleh, jika syarat dan rukunnya terpenuhi dan tidak termasuk riba.

Dalam prakteknya, hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan lelang barang jaminan rahn bermasalah karena adanya modifikasi aturan yang dibuat oleh pihak bank mengenai kelebihan uang hasil penjualan.  Bank memberi Rahin periode penarikan 1 tahun. 

Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan Rahin masih tidak mengambil, maka kelebihan uang hasil penjualan tersebut akan menjadi milik Pegadaian untuk kemudian diserahkan kepada BAZIS dan sebagian lagi diserahkan kepada Kantor Pusat atau Kantor Pusat.

Adapun kendalanya yaitu faktor-faktor seperti kurangnya kekritisan masyarakat atau nasabah mengenai aturan atau akad yang dibuat oleh bank syariah.  Yang mereka tahu hanyalah kebutuhan untuk pembayaran kembali.  Adapun proses lelang mereka tidak tahu. 

Kemudian ada aturan atau kontrak yang dibuat oleh Kantor Pusat mengenai kelebihan uang hasil lelang.  Terakhir, keberadaan nasabah yang tidak memiliki rekening tabungan menjadi kendala bagi bank, ditambah lagi sulitnya menghubungi nasabah untuk merespon notifikasi yang dilakukan bank mengenai kelebihan uang hasil lelang.

Pelelangan barang jaminan (rahn) didasarkan pada adanya mekanisme tertentu berupa perjanjian pembiayaan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk memperoleh sejumlah dana tertentu, melalui mekanisme pemberian kredit dari debitur kepada kreditur. 

Dalam hal gotong royong dalam bentuk pinjaman, hukum Islam mengajarkan bahwa kepentingan kreditur tidak boleh dirugikan.  Oleh karena itu, pinjaman yang diberikan oleh kreditur harus dijamin dengan harta milik debitur.  Oleh karena itu, jika debitur tidak mampu membayar kembali pinjamannya, maka agunan tersebut dapat dijual untuk menebus pinjamannya.

Dalam hal ini lembaga keuangan syariah tidak akan mampu menyediakan dana untuk konten yang melanggar prinsip-prinsip hukum syariah.  Untuk itu dalam struktur organisasi lembaga keuangan syariah harus ada komite pengawas syariah yang bertugas mengawasi produk dan operasional lembaga keuangan.

Lembaga keuangan syariah mengikuti koridor prinsip dalam operasionalnya, yaitu:

Pertama, fairness, artinya bagi hasil berdasarkan penjualan yang sebenarnya berdasarkan kontribusi dan risiko semua pihak. 

Kedua, kemitraan, artinya kedudukan nasabah, investor, pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, adalah setara sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan. 

Ketiga, transparansi lembaga keuangan syariah akan memberikan laporan keuangan yang terbuka dan berkelanjutan sehingga investor dan klien dapat memahami status keuangannya. 

Keempat, universal artinya tidak membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat menurut prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Berkaitan dengan hal tersebut, ada sedikit saran dan kritik kepada bank syariah agar tetap menjaga sistem operasional yang telah berjalan lancar dan sesuai dengan ketentuannya, serta meninjau ulang sistem operasional yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan.  . 

Dan kepada masyarakat atau nasabah agar lebih memahami tentang aturan untuk mencapai konvensi perjanjian kredit yang diberlakukan oleh bank syariah agar lebih kritis terhadap aturan oleh bank syariah yang tidak sesuai dengan pelaksanaannya. “Penulis Dinah Adilah, Sumber:Rumahbaca.id”

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments