“Mama kenapa menangis?” tanya Janice waktu itu ketika aku kembali ke rumah kost untuk merapikan barang-barang.
Aku letakkan tas ranselku yang beberapa hari ini menambah berat beban di bahuku. Hampir sepuluh hari di rumah sakit tas hitam itu tidak pernah lepas dari punggungku. Aku membawanya kemana-mana karena di dalamnya ada barang-barang pribadiku dan data-data mengenai suamiku.
“Papa sudah tidak ada, Nak,” jawabku sambil menangis.
“Papa pergi kemana, Ma?”
Aku diam sejenak untuk mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan putri kecilku. Sambil menyeka air mataku, aku menjawab, “Papa sudah pergi ke Surga. Dia sudah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Papa sudah tidak bernafas lagi.”
Aku kembali menangis dan memeluk tubuh mungilnya. Janice tidak berhenti begitu saja. Dia masih menghujani aku dengan banyak pertanyaan.
“Papa ke Surga naik apa? Nanti di sana dia ketemu siapa?”
Aku mencoba menarik nafasku dalam-dalam. Jujur aku tidak mampu berpikir lagi untuk menemukan kata-kata yang tepat supaya bisa dipahami oleh anak seusianya.
Kakakku yang sejak tadi ikut sibuk membereskan pakaian kami yang menumpuk ikut menjawab. “Papa kamu pergi ke surga dengan malaikat.”
“Siapa dong nanti yang jadi bapakku?”
Aku kembali mendengar Janice bertanya kepada kakakku dari kamar mandi saat aku membersihkan wajahku.
Janice masih terlalu kecil untuk memahami situasi yang sedang kami hadapi. Dia belum genap 4 tahun ketika papanya pergi.
Akan tetapi, dia adalah anak yang bijak dan pintar. Dia selalu punya banyak pertanyaan untuk membuat aku bingung. Dia tidak bisa menerima jawab sekilas dan seadanya. Sebelum dijawab, dia tidak akan berhenti bertanya.
Kemarin itu, sepanjang acara, saat suami sudah berada di rumah duka, Janice tidak ada menangis. Tetapi dia selalu bertanya-tanya, kenapa begini kenapa begitu.
“Kenapa papa diam saja? Kenapa mulut papa diplester? Kenapa tangan papa diikat? Kenapa papa masih di sini? Kan papa sudah pergi ke surga? Surga itu di kampung tua? (Kampung opungnya)
Aku lihat papa kemarin naik ambulan, emang malaikat itu ada di dalam ambulan?
Kenapa papa dimasukkan ke dalam peti?
Siapa dong jadi bapakku?
Siapa dong yang memperbaiki sepedaku?” dan lain sebagainya.
Banyaknya pertanyaan itu dan terus diulang-ulang membuat hatiku bertambah sedih. Aku mencoba menjawab dengan sebaik mungkin. Sesekali, diam-diam aku menyeka air mataku supaya dia tidak melihat aku menangis terus menerus.
Ibuku yang selalu ada di dekatku mencoba membantu menjawab pertanyaannya.
Mungkin karena jawab yang kami berikan itu juga, dia mencoba memberi tahu kepada adiknya, Jose, perihal tentang papanya.
Tadi malam ketika Janice dan Jose rebutan Hp papanya, Jose menangis sambil berkata, “Nanti amu dimarah Papa.” Maksudnya, nanti kamu dimarahin papa. Spontan Janice menjawab, “Papa itu sudah meninggal, dia sudah berada di Surga, papa enggak bisa marah lagi.”
Aku dan mamakku langsung saling pandang. Hatiku bergetar mendengar perkataannya. Air mataku kembali menetes. Lalu mamakku memberikan sehelai tisu untuk menyeka air mataku.
Aku teringat dua hari lalu setelah pulang dari tabur bunga, ketika aku merapikan koper yang dibawa Janice dari Jakarta. Di sana ada sebuah gaun Frozen, baju yang diminta Janice untuk ulang tahunnya waktu aku belum berangkat ke Medan.
Aku memegang baju itu, lalu Janice kembali berkata, “Aku kan mau pakai baju ini biar dilihat papaku. Nanti aku tiup lilin sama papaku karena aku mau ulang tahun.”
Aku langsung meletakkan baju itu dan berkata kepada Janice, “Kak, papa sudah tidak ada. Nanti Kakak tiup lilin sama Mama, Adek, Bou, Nini, Opung Gotong, Tua, Bapak Tua, Bapak Tongah, Kian, Bou dan Abang Eda,” kataku sambil menyebut semua nama keluarga yang ada di rumah saat itu.
Pagi ini ketika aku bangun, langsung ku cium pipinya. Ku ucapkan, “Selamat Ulang Tahun Janice. Sehat-sehat dan Panjang umur. Jadi anak yang baik. Mama akan berjuang sekuat tenaga untuk membesarkan kamu dan Jose.”
Tiba-tiba matanya terbuka dan langsung bertanya, “Mama hari ini ulang tahun Kakak?
“Iya sayang.”
“Aku mau tiup lilin sama papa.”
“Engga Nak, kakak jangan cari papa, papa tidak bisa lagi bersama kita.”
“Papa sudah pergi ke Surga?”
“Iya, boruku, papa di sana selamanya dan kita akan kembali ke Jakarta” jawabku sambil memeluk tubuh kecilnya.
“Happy Birthday Janice yang ke 4 tahun, 5 Januari 2020. TUHAN MEMBERKATI KAMU”
Pematang Raya, 5 Januari 2020