Siang itu, saat aku duduk di ruang rawat suamiku, seorang suster memanggil.
“Kak, dokter mau berbicara,” katanya sambil membuka pintu.
Aku berjalan mengikutinya dari belakang.
“Selamat siang, Dok,” ucapku sambil mengulurkan tangan.
“Iya selamat siang, Bu. Begini, perlu kami beritahukan bahwa kondisi suami ibu sedang buruk. Di rumah sakit ini, kami tidak mempunyai cukup fasilitas dan dokter yang berkompeten untuk penanganannya. Ibarat, sopir kami ini biasa mengemudi Xenia atau Avanza.
Nah, sekarang, tiba-tiba kami disuruh mengemudikan truk tronton yang bermuatan penuh. Sebagai dokter kami bingung cara memajukan dan memundurkannya apalagi mengendarai dengan kecepatan tinggi.
Begitulah kira-kira kondisinya dan setiap pasien berhak mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang lebih baik, saya menyarankan supaya pasien dirujuk ke Adam Malik. Itu mungkin lebih baik,” kata dokter Nanson menjelaskan.
“Aku mengerti Dok, jika memungkinkan kami bersedia dirujuk tapi saya minta tolong pastikan bahwa kami akan mendapatkan tempat di sana,” kataku sambil tersenyum.
“Baiklah, kami akan kabari nanti setelah kami mendapatkan tempatnya. Saya akan buatkan surat rujuknya.”
Setelah itu, seorang suster menyodorkan selembar kertas.
“Kak, tolong tanda tangan surat pernyataan ini ya,” supaya kami bisa proses secepatnya.
Aku pun melakukan semua yang diperintahkan oleh perawat cantik itu. Saat itu sekitar jam 1 siang.
Pada jam 3 sore, aku melihat kondisi suami menurun. Dia tidak sadarkan diri. Aku pergi menemui perawatan.
“Suster, tolong! Kondisi suami saya menurun. Dia sepertinya tidak sadar lagi.”
Seorang perawat perempuan berjalan mengikuti aku. Lalu dia memeriksa kondisi suamiku.
“Seperti elektrolit turun lagi, sebentar saya ambilkan obatnya.”
Beberapa menit kemudian dia kembali dengan sebotol obat yang disuntikkan ke tubuh suami. Walaupun sudah disuntikkan, tapi keadaannya tidak jauh berbeda.
“Suster, tolong kabari dokter bahwa kondisi suamiku menurun. Dan tolong batalkan dulu surat rujuknya. Aku takut dia tidak bertahan di jalan.”
Suster itu hanya diam, dia mengambil sebuah ponsel kecil. Mungkin itu adalah alat mereka untuk menghubungi dokter. Aku kembali lagi ke ruang suami. Dan berusaha membangunkannya.
“Kak, siap-siap ya, sebentar lagi ambulans datang dan kita berangkat ke Adam Malik,” kata seorang perawat laki-laki.
Ucapannya itu membuat aku agak terkejut. “Bang, keadaannya sedang tidak baik. Apakah tidak lebih baik hubungi saja dokter supaya dia dimasukkan ICU lagi,” kataku dengan suara agak keras.
“Kak, kata dokter segera saja bawa ke Adam Malik. Sepanjang jalan nanti dia tetap pakai oxigen dan infus. Kakak dan keluarga tetap berdoa supaya perjalanan kita lancar dan abang ini bisa segera ditangani di Adam Malik.”
Walaupun aku menghubungi keluarga dan teman untuk membantu membatal surat rujukan itu percuma. Sepertinya pihak rumah sakit tidak mau mundur lagi untuk merujuk suamiku. Aku tidak ada pilihan lain kecuali bersiap-siap.
Dengan kondisi tidak sadarkan diri, suamiku didorong menuju ambulans. Air mataku kembali menetes. Aku takut terjadi apa-apa di jalan.
Sepanjang jalan aku berdoa dan menghubungi keluarga supaya mendoakan suamiku. Perjalanan itu sangat menegangkan. Bunyi sirine ambulans menambah kepiluan di hatiku. Sepanjang perjalanan selain aku berdoa untuk suamiku, aku juga berdoa untuk keselamatan kami yang ada di dalam ambulans.
Beberapa kali mobil itu hampir berhantam dengan mobil lain. Bahkan kami hampir ditabrak truk berat saat mobil ambulans melawan arah dan tiba-tiba memotong laju truk karena harus menghindari kendaraan lain yang datang dari depan. Aku berteriak dengan keras.
Sebelum masuk tol, sopir ambulans sempat berhenti mengisi e toll, aku berbicara kepadanya. “Bang, tolong membawa ambulannya berhati-hati.
Jangan sampai kami yang sehat ini lebih dahulu masuk ICU dari pada suamiku ini. Aku masih punya anak yang masih kecil-kecil, jika terjadi apa-apa pada kita bagaimana anak-anakku.”
“Tenang saja Kak, saya juga punya anak. Kalau kakak tidak kuat di belakang. Kakak pindah saja ke depan. Gimanalah Kak, ini sebenarnya mobil pick up dimodif menjadi ambulans jadi kalau duduk di belakang rasanya naik gerobak,” kata sopir ambulans itu sedikit becanda.
Aku menolak tawarannya untuk duduk di depan. Aku ingin duduk dekat suamiku supaya aku bisa memastikan bahwa dia masih bernafas sepanjang perjalanan.
Aku protes kepada perawat laki-laki yang duduk manis di dalam ambulans itu. Aku kesal karena dia sangat santai dan bermain ponsel. “Bang, tolong cek oxigennya, apakah itu berfungsi dengan baik? Bagaimana kalau dia tidak bernafas lagi?”
“Aduh Kak, tenang saja Kak jangan terlalu panik. Saya sudah biasa membawa pasien dengan kondisi ini. Oxigennya berfungsi kok Kak. Kakak sabar ya! Sebentar lagi kita sudah keluar tol,” katanya sambil tersenyum.
Aku berusaha membuat diriku lebih tenang.
Kurang lebih 3 jam kami pun tiba di RS Adam Malik. Suamiku langsung dibawa ke IGD. Aku berjalan mengikutinya. Seorang dokter jaga langsung melihat kondisi suamiku. Lalu diikuti oleh perawat dan dokter lainnya.
“Lho, kok pasien tidak sadar, tadi katanya pasiennya sadar dan mereka booking ruangan untuk ruang rawat. Ini mana bisa dirawat di ruang rawat.
Ini harus ICU atau HCU. Sementara ruangan ICU ataupun HCU tidak tersedia,” kata seorang dokter wanita dengan nada kesal. Dia memanggil perawatan yang mendampingi kami dari Siantar.
Aku dipanggil dokter lain untuk menceritakan perihal sakit penyakit suamiku. Aku dengar dokter perempuan itu memarahi perawatan itu dan disuruh membuat surat pernyataan. Aku juga merasa kesal dengan sikap sepele dari pihak RS di Siantar itu.
Setelah selesai mengurus administrasi suami, aku menemui perawatan itu, “Lihat kan Bang, dari tadi siang saya sudah beritahu mengenai kondisi suamiku tapi kalian tidak peduli. Sekarang, kalian mau pulang tapi dicegah oleh dokter di sini.”
“Kak, kakak jangan ngomong begitu. Itu semakin mempersulit kami. Kami ini hanya perawatan biasa. Kami hanya menjalankan tugas.
Kalau Kakak tidak mau tanda tangan surat pernyataan, maka kami tidak boleh pulang. Kasihanlah sama kami Kak,” katanya dengan suara pelan.
“Aku tidak mau, sebelum suamiku mendapatkan kepastian di sini. Nanti kalian kebiasaan membuang pasien semaunya. Dari tadi sore saya sudah kasih tahu, untuk menunda (rujuk).”
Aku meninggalkan perawatan itu sendiri di depan ruang administrasi. Aku kembali dipanggil dokter.
“Ibu, punya medical resume yang dari Jakarta? Atau ibu tahu obat apa saja yang diberikan selama ini?”
“Ini saya ada photo copy medical resumenya Dok dan saya juga membawa obat-obatan yang dari Jakarta.”
“Baik Bu, saya ambil semuanya ya, nanti saya kembalikan lagi jika sudah tidak diperlukan.”
“Baik, Dok.”
Setelah itu, aku melihat suamiku dipasangi alat-alat. Walaupun masih di ruang IGD, tapi mereka memperlakukannya seperti di ruang ICU kemarin. Hatiku mulai tenang.
Aku teringat kepada perawat dan supir ambulan yang masih menunggu di luar. Aku pun keluar menemuinya.
“Kak, tolonglah! Kalau kakak tidak mau tanda tangan, kami tidak bisa pulang, kami ini hanya menjalankan tugas,” kata sopir ambulans itu memohon.
“Iya, mana suratnya? Sebenarnya ya Bang, saya juga tidak tega membuat kalian seperti ini. Tapi saya sedikit kecewa,” kataku sambil memandang tangani surat itu.
Mereka mencoba menjelaskan lagi titik prosedur yang mereka harus jalankan.
Sebelum pergi mereka minta maaf dan menyalami aku, aku juga meminta maaf atas sikapku tadi dan mengambil dua lembar uang seratus ribu dan memberikan kepada keduanya sebagai tanda maafku.
Selanjutnya, aku bolak-balik dipanggil beberapa dokter untuk menanyakan mengenai kondisi suami dan tes apa saja yang telah dilakukan untuk menegakkan diagnosa SLEnya. Semampuku ku coba menjelaskan dan mengingat-ingat lagi apa saja yang sudah dilakukan terhadap suamiku.
Aku melihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Badanku rasanya pegal. Rasa kantuk semakin terasa. Dan suamiku sudah dibawa ke ruang HCU
Walaupun aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada hari esok, setidaknya aku sudah sedikit tenang karena suamiku sudah ditangani dengan lebih baik.
Aku pun pergi mencari tempat beristirahat sejenak. Aku percaya masih ada muzijat. Kemungkinan terburuk apapun yang akan terjadi aku sudah siap. Tetapi selagi masih ada waktu dan kesempatan aku akan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan suamiku.
Medan, 27 Desember 2019