Sore ini sehabis aktifitas bekerja, mendadak aku ingin sekali pergi ke pantai. Seperti ada yang berbisik di telinggaku. Lalu ia bersedia pula menuntunku langkah kakiku menuju laut.
Okey! Saat ini juga aku memutuskan akan menghabiskan waktu senja bercengkerama dengan keindahan laut. Kumpulan air asin ciptaan Sang Maha Kuasa memang sangat indah.
Lembayung senja dengan pasir putihnya yang hangat dan lembut dapat sedikit merelaksasi dan menghantarkan energi positif pada jiwaku yang lelah. Lewat sentuhan di kulit kakiku yang tak beralas. Pada laut aku ingin bicara bahwa hatiku sedang gundah.
Lewat laut aku belajar banyak hal. Bahwa ombak tak pernah ingkar janji dan pantai yang selalu setia menanti. Mereka memang berjodoh, saling mengerti dan mengisi. Tak pernah saling membenci atas kekurangan diri. Laut… dekaplah aku bersamamu, denganmu aku merasa damai.
Semestinya hari ini aku sudah berada di kampung, di rumah ibu. Kampung halaman yang membuatku selalu rindu untuk pulang. Kampung temoat aku dilahirkan dan dibesarkan. Terbayang semua kenangan indah masa kecilku. Ibu….. aku rindu, rindu sekali…
“Nduk, Tanggal 15 bulan depan kamu bisa pulangkan?”
“Ada apa bu. Tumben ibu menyuruh aku pulang. Tanpa ibu suruh kan aku juga pulang bu. Sesuai jadual libur kerjaku”.
“Iya nduk, besok itu hari spesial untuk si Atun. Masih ingat dengan Atun kan”.
Tanya ibu padaku, mengingatkanku pada temen masa kecilku, teman terbaikku sejak di bangku TK-SMA. Kami selalu satu kelas. Kami bagaikan anak kembar, ke mana saja selalu bersama. Hanya di masa kuliah dan bekerja kami tidak sama. Tapi semua itu tidak memutus persahabatan kami.
Hatiku berbisik rasanya ada rindu pada sahabatku yang ceria ini.
“Iya bu, insyaa Allah, aku usahakan pulang. Nanti aku bisa izin kerja.”
Aktiftas kerja yang padat membuatku lupa dengan janjiku pada ibu. Bahwa aku akan pulang kampung sesuai permintaan ibu bulan lalu. Beberapa hari yang lalu ibu kembali mengingatkan untuk aku pulang kampung.
“ibu, Maafkan aku, Sepertinya untuk sekali ini aku tidak bisa pulang”. Sambatku pada ibu waktu itu. Tapi ibu tetap berharap aku bisa pulang. Andai ibu tau alasanku tidak bisa pulang pasti ibu akan mengerti keadaanku. Tapi aku memang tidak memberitaukan ibu. Biarlah ku simpan sendiri saja.
“Bu… maafkan aku, aku tak hendak jadi anak yang tidak patuh dan tidak berbakti”.
Sebenarnaya tidak susah bagiku untuk pulang. Masalah pekerjaan, aku bisa mohon izin pada atasan. Aku termasuk karyawan yang jarang izin. Sekali waktu izin pasti tak bermasalah.
Tapi masalahnya aku betul-betul tak ingin pulang
Aku hanya menitip pesan pada ibu, untuk menyampaikan salamku kepada Atun teman baikku. Bahwa aku tidak bisa menghadiri acara pernikahannya. Aku ikut bahagia atas kebahagiaannya atas pernikahannya dengan laki-laki pilihan orang tuanya, semoga engkau bahagia ya Atun. Dalam hati, aku berdoa.
Maaf, aku tidak bisa hadir di pernikahanmu Atun. Kalimat itu terus berulang aku ucapkan dalam hati.
“Maaf…. sekali lagi maaf…”
“Aku sangat mengenal calon suamimu…”
“Dia adalah laki-laki yang telah aku harapkan menjadi imamku”.
“Dia terpaksa menuruti kemauan orang tuanya atas perjodohan kalian”.
“Dia tidak salah. Engkaupun juga tidak salah Atun. Hati ini yang salah, salah dalam menambatkan talinya”.
Di sini, di pantai ini. Di semenanjung Selat Malaka ini. Aku sendiri. Seolah masih terlihat jelas sisa jejak langkah kaki kita di pasir nan putih ini. Saat kita berjalan bersama sambil membicarakan rencanamu hendak melamar aku. Bulan lalu. Tepat sebelum ibu menggabari acara pernikahan Atun sahabatku.
bagus…
bagus…. menyentuh jiwa kewanitaan haha…