Mengenai ekonomi Arab pra Islam, jika ditinjau dari tempat tinggalnya, orang Arab terbagi dalam dua wilayah. Yaitu Arab Badui (kampung) dan Hadhari (perkotaan).
Ekonomi Islam adalah perekonomian yang berbasis sektor riil. Tidak ada dikotomi diantara sektor riil dengan sektor moneter. Sebab sektor moneter dalam Islam bukan seperti sektor moneter kapitalis yang isinya sektor maya (virtual sector).
Islam memandang kegiatan ekonomi hanya terdapat dalam sektor riil seperti pertanian, industri, perdagangan dan jasa. Dari sektor inilah kegiatan ekonomi didorong untuk perkembangan maju. Hanya saja hukum-hukum tentang kepemilikan, produk (barang/jasa), dan transaksi dalam perekonomian Islam berbeda dengan kapitalis.
Ekonomi Islam menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Didalam negeri, khalifah menjalankan politik ekonomi yang bertujuan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara. Khalifah (negara Islam) juga mendorong warga dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya dalam batas-batas kemampuan yang mereka miliki.(Rahmat Sunnara:2009)
Terdapat perbedaan sumber kehidupan antara Arab Badui (kampung) dan Hadhari (perkotaan). Orang – orang Arab Badui menggantungkan sumber kehidupan dari berternak. Sehingga mereka berpindah – pindah menggiring ternak menuju daerah yang sedang mengalami musim hujan atau padang rumput. Orang-orang Arab Badui mengonsumsi daging dan susu hasil ternaknya, membuat pakaian, kemah, dan parabot dari wol (bulu domba) serta menjualnya jika keperluan pribadinya dan keluarga sudah terpenuhi. Kekayaan orang Arab Badui terlihat dari banyaknya hewan ternak yang mereka miliki.
Sedangkan orang Arab Hadhari atau perkotaan terbagi menjadi dua. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah-daerah subur seperti Yaman, Thaif, Madina, Najd, Khaibar atau yang lainnya, mereka menggantungkan sumber kehidupannya pada pertanian. Walaupun begitu mayoritas mereka menggantungkan sumber kehidupan pada perniagaan. Terutama penduduk Mekah, orang-orang Hadhari memiliki pusat perniagaan istimewa.
Penduduk Mekah mempunyai kedudukan tersendiri dalam perdagangan orang-orang Arab, yaitu mereka penduduk negeri Haram (Mekah). Sedangkan orang-orang Arab lainnya tidak akan mengganggu mereka, juga tidak akan mengganggu perniagaan mereka. Allah SWT telah menganugerahkan hal itu kepada mereka. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Ankabut ayat 67 yang artinya:
Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedangkan manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah?. (Q.S. Al-Ankabut: 67).
Selain penduduk Mekah, penduduk Yaman juga menggunakan perniagaan untuk mencari sumber kehidupan. Perniagaan penduduk Yaman sangat terkenal bukan hanya didaratan tetapi juga di laut. Penduduk Yaman berangkat dari daerah pesisir Afrika, seperti Habasyah, Sudan, Somalia, dan negeri Afrika lainnya. Mereka menyeberangi hingga ke Hindia dan pulau Jawa, Sumatra, dan negari Asia lainnya. Setelah mereka memeluk agama Islam, mereka memiliki peran yang sangat berarti bagi penyebaran agama Islam di seluruh penjuru dunia.
Transportasi yang mereka andalkan adalah onta, karena onta sangat kuat dan mampu menahan haus. Onta adalah kendaraan yang sangat menakjubkan. Onta memiliki kekuatan yang sangat tangguh. (Di kutip dari yufidia.com)
Islam menempatkan pasar pada kedudukan yang penting dalam mengembangkan perekonomian. Praktik ekonomi pada masa Rasulullah dan Khulafa Al-Rasyidin menunjukkan adanya peranan pasar yang besar. Ketika seorang sahabat sampai di Madinah setelah melakukan hijrah dari Makkah maka yang pertama ia lakukan adalah membangun bisnis di pasar, karena ia mengetahui bahwa pasarlah tempat bertemunya produsen, konsumen, dan distributor. Pasar merupakan tempat pertemuan antar manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. (Sulaeman Jajuli:2015)
Menurut Abdurrahman Yusro, pertumbuhan ekonomi dalam Islam telah digambarkan di dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman, “Maka aku berkata (kepada mereka), ‘Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sungguh, Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” (QS. Nuh: 10-12)
Dalam Islam, pertumbuhan ekonomi mempunyai pengertian yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi harus berlandaskan nilai-nilai iman, taqwa, dan konsistensi serta ketekunan untuk melepaskan diri dari segala nilai-nilai kemaksiatan dan perbuatan dosa. Hal tersebut tidak menafikan eksistensi usaha dan pemikiran untuk mengejar segala ketertinggalan dan keterbelakangan yang disesuaikan dengan prinsip syariah. (Said Sa’ad Marthon:2007).
Penulis Adalah, Anggota Komunitas Menulis Al-Mujaddid, Mahasiswi STIE Syariah Al-Mujaddid, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.