Menakar Kualitas Proses Pembelajaran

Menakar Kualitas Proses Pembelajaran

Pendidikan
Oleh : Amri Ikhsan
Oleh : Amri Ikhsan

Pada hakekatnya pendidikan kita bertujuan untuk menghasilkan manusia yang utuh, manusia paripurna (insan kamil). Namun, kenyataannya tujuan pendidikan hanya menekankan aspek kognitif dengan dinyatakan dengan sebuah nilai. Bagi kita yang penting itu nilai akhir tidak peduli dengan proses pencapaian nilai tersebut.

Dilain pihak, ada kesepakatan “dibawah tangan” bahwa masalah proses pembelajaran bisa diselesaikan “secara adat” bahwa keberhasilan suatu proses pembelajaran ditentukan oleh kecepatan guru “menyuap” siswa dengan “makanan” yang bernama kurikulum atau kecepatan guru  “menghabiskan” KD dan SK untuk diajarkan kepada siswa.

Secara teoritis dan praktis, keberhasilan proses pembelajaran diuji dengan sebuah instrumen yaitu tes. Tes prestasi belajar digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan yaitu: (1) tes formatif, digunakan untuk mengukur satu atau beberapa pokok bahasan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran daya serap siswa dan dimanfaatkan untuk memperbaiki proses balajar mengajar; (2) tes subsumatif meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang telah diajarkan, bertujuan untuk memperoleh gambaran daya serap siswa untuk meningkatkan tingkat prestasi belajar siswa, digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan diperhitungkan dalam menentukan nilai rapor; (3) tes sumatif dilakukan untuk mengukur daya serap siswa terhadap pokok bahasan selama satu semester atau dua semester, bertujuan untuk menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan belajar siswa dalam suatu periode tertentu dan digunakan untuk kenaikan kelas, menyusun rangking atau sebagai ukuran mutu sekolah (Dimyati, 2002; Harjanto, 2003; Mulyasa, 2007).

Jelas sekali, format penilaian sebuah keberhasilan proses pembelajaran “hanya’ dilihat dari hasil akhir tanpa “mengkaji” proses panjang yang terjadi sebelum pelaksanaan tes. Padahal, hasil akhir sebuah proses pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas proses interaksi antara guru dan siswa dalam kelas. Kita punya banyak nama instrumen untuk menguji “hasil akhir”: tes, ujian, evaluasi atau UNBK, USBN, UAMBN BK, Penilaian Akhir Semester, Penilaian Akhir Tahun, dsb. Tetapi, instrumen untuk menguji kualitas proses pembelajaran “nyaris tidak terdengar”.

Suherdi (2007) menawarkan sebuah instrumen untuk menakar kualitas pembelajaran di kelas, alat untuk menganalisis interaksi yang terjadi selama proses pembelajaran yaitu Mikroskop Pedadogik. Alat ini diinisiasi untuk memudahkan penyelenggara pendidikan (guru dan pengawas) untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap kualitas kinerja guru dalam penyelenggarakan proses pembelajaran. Mikroskop pedagogik ini berfungsi sebagai alat bantu pembesar citra objek yang diteliti sehingga struktur, sifat dan atau perilaku objek tersebut dapat dikenali.

Alat ini akan mendeteksi dan menguak makna interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Interaksi ini tidak hanya interaksi “kasat mata” tetapi juga perilaku batiniah termasuk melibatkan analisi atau informasi yang tersembunyi: kontak mata, mengangkat tangan, jawaban verbal, anggukan, dsb.

Pola interaksi sangat terkait dengan keyakinan filosopis pendidikan guru dan hubungan peran yang dikembangkannya dalam proses pembelajaran. Seorang guru yang memandang mengajar sebagai kegiatan transfer ilmu akan memilih metode ceramah dalam proses pembelajaran. Pola yang akan terjadi adalah pola pemberi-penerima yang cenderung satu arah dan tanpa negosiasi (Hills, 1979, Hilman, 1996 dalam Suherdi, 2007).

Ada guru yang menganggap bahwa siswa bukanlah “taburasa”, mereka memiliki pengetahuan tetapi gurulah yang menentukan fokus dan arah belajar siswa. Proses pembelajaran akan didominasi oleh metode tanya-jawab dan diskusi.

Ada guru yang beranggapan bahwa siswa memiliki hak untuk memilih bahan ajar yang akan mereka tekuni untuk mencapai tujuan yang sama. Guru akan memberi pedoman sedangkan siswa menjadi petualang yang berbekal peta pencarian .

Mengukur kualitas proses pembelajaran diawali dengan nengukur kualitas kontribusi siswa dalam proses pembelajaran karena sukses implementasi kurikulum tergantung oleh “kepiawaian’ guru berinteraksi dengan siswanya.

Karakteristik muatan perilaku belajar siswa disaring berdasarkan Taksonomi Bloom (1956) dalam Suherdi (2007) dan akan digunakan sebagai tolak ukur menilai kompleksitas kontribusi para siswa. Dalam hal ini, siswa dipotret apakah mereka pernah mengingat, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi (hierarki ranah kognitif) atau menerima, merespon, menghargai, mengorganisasi dan karakteristisasi (hierarki ranah afektif) atau meniru, memanipulasi, mengarikulasi dan mengalamiahkan (hierarki ranah psikomotor). Jadi penilaian prestasi siswa diukur dari tingkat kompleksitas hierarki yang digunakan dalam interaksi kelas dalam setiap ranah. Semakin tinggi hierarki yang dipakai, semakin “paham” siswa terhadap materi yang didiskusikan.

Jadi kualitas siswa tidak saja dilihat dari hasil ujian akhir tetapi juga dikaji dari peran siswa dalam proses pembelajaran. Kontribusi apa yang telah dilakukan siswa dalam kelas.

Menilai kualitas kontribusi guru dalam proses pembelajaran akan lebih berfokus pada signifikansi pertanyaan guru dalam proses tersebut. Karena respon dan reaksi siswa sangat ditentukan oleh jenis dan intensitas pertanyaan yang diajukan oleh guru. Dipercaya bahwa pertanyaan pertanyaan yang menuntut proses berfikir tinggi seperti yang diharapkan dan dituntut oleh pertanyaan tersebut.  Jenis pertanyaan sangat menentukan jenis dan kualitas belajar yang dilakukan siswa. Jadi, keterampilan merumuskan pertanyaan merupakan keterampilan penting dalam profesi guru. Itulah sebabnya banyak pihak, guru sering disebut sebagai profesional question-asker.

Pertanyaan guru digunakan untuk berbagai keperluan dalam dunia pendidikan, termasuk mengecek hasil belajar atau bacaan siswa, mendiagnosis kemampuan, kecenderungan dan sikap para siswa, memancing berfikir kritis, mengatur prilaku siswa, mempertajam proses berfikir siswa, memicu berfikir kreatif, memotivasi para siswa dan mengukur pengetahuan siswa.

Ada taksonomi jenis pertanyaan yang dikembangkan oleh Long dan Sato (1983) yang mengklasifikasikan pertanyaan kedalam 2 kategori besar: pertanyaan ekoik dan epistemik. Pertanyaan ekoik: pengecekan pemahaman, permintaan klarifikasi dan permintaan konfirmasi, sedangkan pertanyaan epistemik: pertanyaan referensial, pertanyaan pamer, pertanyaan ekspresif dan pertanyaan retorik.

Sementara, ada yang membedakan pertanyaan kedalam 3 klasifikasi besar: (1) pertanyaan konvergen: pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk menfokuskan diri kepada sebuah tema sentral; (2) pertanyaan divergen: pertanyaan yang menghendaki jawaban yang luas, melebar dan beragam; (3) pertanyaan evaluatif: sama dengan pertanyaan divergen, bedanya pertanyaan ini ditanamkan keharusan melakukan penilaian berdasarkan seperangkat tolak ukur yang telah ditetapkan.

Apapun pendekatan, metode, strategi dan tehnik yang diterapkan guru dalam proses pembelajaran tidak akan banyak berpengaruh pada tingkat pemahaman siswa jika pertanyaan guru yang “itu-itu saja”. Harus ada kreasi spektakuler untuk mengembangkan potensi siswa dengan memvariasikan pertanyaan berdasarkan taksonomi Bloom.

Kepada pembuat kebijakan, sudah saatnya memperkaya “topik” dalam setiap lokakarya, diklat guru dari “hanya” membuat silabus, RP, “mendengar” ceramah tentang strategi belajar ke topik yang lebih “membumi” untuk proses pembelajaran: membuat pertanyaan yang konstruktif yang bisa digunakan langsung dalam proses pembelajaran.

 

*) Penulis adalah Pendidik di MAN 1 Batanghari

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments