Mempelai Hati

Mempelai Hati

Cerpen
Oleh: Nita Sembiring Kembaren

Lisa sudah mulai bosan menunggu Ardo di restoran itu. Dia sudah menghabiskan makanan dan minuman yang dipesannya. Lisa terus menoleh ke arah pintu namun Ardo tak kunjung datang. Beberapa kali Lisa menelepon tapi tak dijawab juga.  Satu jam sebelumnya mereka  masih berhubungan melalui WhatsApp. Ardo juga belum membaca pesannya.

Mereka  berjanji bertemu di tempat itu. Keduanya berencana pergi ke desainer tempat mereka memesan baju pengantin. Keduanya akan melangsung pernikahan.

“Ardo…kamu di mana? ” tanya Lisa dengan nada sedikit kesal ketika telepon dijawab. Namun yang menjawab  bukanlah Ardo. Suaranya berbeda. 

“Halo…ini siapa?” tanya Lisa dengan bingung.

“Ardo di mana?”

“Halo…” terdengar suara di seberang sana.

“Ini siapa? Kok kamu yang memegang telepon Ardo?” tanya Lisa semakin penasaran.

“Iya kak…ini saya Karisa. Kak….Bang Ardo…bang Ardo… Tut…tut…tut…,” tiba-tiba sambungan telepon terputus.

Karisa adalah adik sepupu Ardo yang sering menginap di rumah itu, tapi Karisa bukanlah orang yang senang mengangkat telepon orang lain jika tidak dalam keadaan terpaksa. Lisa mencoba menghubunginya sekali lagi tapi HP Ardo sudah tidak aktif. Mungkin baterainya habis pikir Lisa lalu ia mencoba menghubungi Karisa. Namun HPnya sibuk terus.

Tidak mau menunggu lama, Lisa keluar dari tempat itu dan mencari taxi. Ia ingin tahu apa yang terjadi pada Ardo. Setelah menunggu beberapa menit, taxi pun datang.

“Ke jalan Kedoya Raya ya pak!” perintah Lisa sambil menutup pintu mobil.

Setibanya di rumah itu Lisa langsung masuk ke halaman . Gerbangnya tidak terkunci. Lisa berteriak dan memencet bell berkali-kali, namun tidak ada yang membuka pintu. Pintunya terkunci rapat. Rumah berlantai dua itu hanya ditempati oleh Ardo dan Josua, adiknya. Adapun bik Odah, asisten rumah itu tidak tinggal di situ. Ia datang pagi dan pulang sore.

Biasanya hari sabtu bik Odah suka ijin mengantar suaminya berobat. Dulu ia tinggal di rumah itu tapi setelah suaminya kena struke, ia minta ijin supaya bisa pulang tiap hari. Kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah Ardo. Dan ibu Ardo pun mengijinkannya.

“Engga apa-apa bik Odah, lagian anak-anak sudah gede-gede,” katanya ibu Ardo waktu bik Odah minta ijin.

Ibu Ardo saat ini tinggal di Surabaya. Ibunya sudah hampir enam tahun di sana mendampingi ayahnya menjalankan tugas sebagai seorang hakim. Josua beberapa hari lalu juga berangkat ke Surabaya. Karena sedang libur, ia ingin menghabiskan waktu liburnya di sana. Rencana mereka akan datang dua hari sebelum acara pernikahan Ardo dan Lisa.

Lisa sudah memencet bel berkali-kali namun belum ada tanda-tanda kalau pintu akan terbuka. Perasaan Lisa semakin kacau. Ia sangat khawatir. Ia tidak tahu lagi harus menghubungi siapa.

Lisa mencoba menelepon Karisa lagi. Ketika dia ingin menekan nomor Karisa, tiba-tiba ada panggilan masuk.

 “Josua,” desah Lisa sambil mengangkat teleponnya.

“Kak…lagi dimana? Bang Ardo sedang kristis di rumah sakit. Kakak segera ke sana ya,” kata Josua dengan panik sambil menyebutkan nama sebuah rumah sakit di sekitar Kebun Jeruk.

“Apa? Ardo kritis?” Pertanyaan itu tertahan di benak Lisa. Tanpa berpikir panjang ia langsung menuju rumah sakit yang di sebut oleh Josua.

Beberapa menit kemudian Lisa sudah tiba di sana karena rumah sakit itu dekat dengan rumah Ardo. Di sana Lisa bertemu dengan Karisa. Wajah Karisa terlihat kusut, matanya sembab, dan pakaiannya juga berantakan.

“Di mana Ardo, Ris? Apa yang terjadi padanya? Tanya Lisa tidak sabar.

“Bang Ardo sedang ditangani oleh dokter kak,” jawab Karisa sambil menangis. Lisa pun menangis mendengar perkataan Karisa.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Tadi pagi dia baik-baik saja. Ketika mau berangkat tiba-tiba dia terjatuh di tangga dan tidak sadarkan diri.”   Karisa mencoba menjelaskan kepada Lisa. Lisa sangat sedih.

“Kok kamu bisa tahu kejadiannya? Apakah kamu tadi malam menginap di rumah Ardo?” tanya Lisa dengan suara bergetar.

“Iya kak,” jawab Karisa sambil mengangguk.

 “Kemarin Risa kuliah  sampai malam kak, karena terlalu capek Risa malas pulang ke Cibubur. Risa menginap di rumah bang Ardo. Pas Risa mau berangkat kuliah. Risa lihat bang Ardo terjatuh. Lalu Risa teriak pada satpam kompleks  yang sedang lewat. Kami bawa bang Ardo ke rumah sakit dengan mobilku.”

“Risa…,” ucap Lisa sambil memeluk  Karisa. Tubuhnya dingin dan gemetar. Ia shock dengan kejadian ini.

“Tante dan Josua dalam perjalanan, kak. Mama entar lagi sampai,” ucap Karisa lagi sesenggukan.

 Karisa terus menangis di tempat duduknya. Ia sangat sedih. Selama ini hubungan mereka sangat dekat . Ibu mereka kakak-beradik. Ardo juga menyanyangi  Karisa  seperti adik kandungnya.  

Lisa  duduk diam di samping Karisa sambil menunggu dokter selesai menangani Ardo. Ia mencoba berpikir positif.  “Mungkin saja Ardo kelelahan mengurus persiapan pernikahan kami,” pikir Lisa .   HPnya berdering sejak tadi, namun ia enggan mengangkatnya.  Ia malas membicarakan apapun mengenai pernikahannya. Ia juga tidak mau menjawab telepon dari pemilik Mega Desainer.  Mungkin saja dia mau menanyakan mengenai janji mereka untuk mengambil baju itu. Lisa hanya diam dan berdoa. Dia berharap nyawa Ardo terselamatkan.

 Baginya kesehatan Ardo yang lebih penting. Semua rencana pernikahan mereka akan percuma jika terjadi apa-apa pada Ardo. Walaupun persiapannya sudah berjalan hampir 95%.  Kemarin mereka sudah mengadakan meeting ketiga kali dengan event organizer. Katering dan gedung sudah bayar 80% tinggal pelunasan sisanya dua hari sebelum hari H.

Lisa jadi teringat dengan tulisan Ardo di Instagstorynya dua hari lalu. Di situ Ardo mengirimkan sebuah photo prewedding mereka dengan tulisan “Aku ingin jadi lelaki mu walau hanya sehari.” Lisa tidak memiliki pirasat apa pun dengan tulisan itu. Ia hanya menanggapinya dengan memberikan   emoticon tanda cinta dan tersenyum.

Selama ini Ardo juga baik-baik saja. Dia tidak pernah mengeluh dengan kesehatannya. Lisa sudah berpacaran selama tiga tahun sebelum mereka memutuskan mau menikah. Ardo tidak pernah mengeluh sakit. Ardo juga rajin berolah-raga. Tiba-tiba Ardo sakit yang cukup serius. Sampai sekarang Ardo masih belum sadarkan diri.

Lisa duduk melamun sambil menunggu dokter keluar dari ruangan. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu penjelasan dari dokter. Dia belum diijinkan menemui Ardo. Rasanya Lisa tidak sabar lagi menunggu. Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang suster memanggil.

“Keluarga pak Ardo Sebastian, ada?” tanya suster itu dengan suara ramah.

“Ya… Ada suster,” jawab Lisa dan diikuti Karisa di belakangnya.

“Maaf anda siapanya pak Ardo?” Suster itu kembali bertanya.

“Saya calon istrinya suster. Orang tuanya sedang dalam perjalanan,” jawab Lisa dengan cepat.

“Baiklah. Silahkan masuk dokter ingin berbicara dengan Anda,” kata suster Mona sambil mempersilahkan Lisa masuk.

Lisa masuk ke ruangan yang ditunjuk dengan perasaan sedih dan hati bergetar. Dia merasa ada sesuatu yang buruk.  Di ruangan itu ada dua dokter sedang berdiskusi. Mereka langsung menghentikan diskusinya ketika melihat Lisa muncul.

“Selamat siang dokter, saya Lisa calon istri dari pasien yang bernama Ardo,” ucap Lisa memperkenalkan diri.

Kedua dokter itupun tersenyum dengan berat dan  mempersilahkan Lisa duduk sambil memperkenalkan diri mereka. Dokter yang muda bernama dokter Sardino dan yang lebih senior mengaku sebagai Prof. Tumpal. Tanpa menunggu waktu lebih lama kedua dokter  itu langsung menjelaskan keadaan dan penyakit yang diderita Ardo pada Lisa.

“Pak Ardo mengidap penyakit jantung coroner,” katanya dokter Sardino membuat Lisa bingung dan mengerutkan dahinya. Lisa tidak percaya dengan perkataan dokter itu. Dia tahu selama ini Ardo tidak pernah mengeluh sakit. Fisiknya sangat kuat dan atletis. Dia rajin berolah raga.

“Iya mba …Menurut hasil pemeriksaan, kami menyimpulkan kalau pasien mengidap  penyakit jantung koroner atau biasa disebut PJK, ” lanjut dokter Tumpal menimpali.

“PJK biasa muncul sebagai nyeri dada sebelah kiri, seperti ditekan benda berat,  kadang menjalar ke  lengan, rahang bawah, serta pundak. Artinya, ada sumbatan di pembuluh darah koroner. Namun faktanya, PJK bisa muncul tanpa gejala apapun.

Pasien dapat tiba-tiba jatuh tergeletak tanpa diketahui sebabnya. Setelah diperiksa rekam jantung, barulah diketahui bahwa pasien mengalami PJK,” jelas dokter Tumpal dan diikuti oleh dokter Sardono dengan menganggukan kepala.

“Adakah kemungkinan bagi Ardo untuk sadar kembali, dok?” tanya Lisa sambil menangis.

“Sampai saat ini pasien masih belum sadarkan diri. Sebagai dokter sudah berusaha semampu kami. Kehidupan dan kematian seseorang sepenuh kuasa Tuhan. Kita berusaha dan berdoa. Semoga nyawa pasien bisa diselamatkan,” ucap dokter Tumpal perlahan untuk membuat Lisa lebih tenang seolah-olah masih ada harapan.

Kedua dokter itu berusaha memberi pengertian kepada Lisa. Walaupun mereka tahu secara medis kemungkinannya sangat tipis. Mereka berusaha menyakinkan Lisa bahwa keselamatan seseorang bukan tergantung pada dokter melainkan pada Tuhan. Lisa keluar dari ruangan itu dengan lunglai. Kepalanya terasa pusing. Hatinya hancur.  Serasa badai tsunami sedang datang meluluh lantakan hidupnya.

Lisa masih menangis ketika ibu Ardo datang bersama Josua. Karisa dan ibunya juga masih di sana. Lisa menyampaikan kepada calon mertuanya mengenai penjelasan dokter. Ibu Ardo hanya menangis dan memeluk Lisa. Mereka sama-sama masuk ke ruangan ICU untuk melihat keadaan Ardo. Berbagai alat terpasang di tubuhnya.

“Rasanya aku tidak percaya dengan semua ini, Ma…,” tangis Lisa tertahan dan hampir tidak terdengar suaranya.

Ibu Lisa kembali menemui dokter. Dia ingin dengar sendiri dari dokter mengenai kondisi Ardo. Dia belum bisa menerima kenyataan kalau anaknya yang selama ini sehat dan masih usia dua puluh delapan tahun itu terkena serangan jantung yang mematikan. Bagai mana bisa ia terima beberapa jam sebelumnya ia masih sempat berbicara melalui telepon dengan putranya sulungnya itu.

Ardo selalu bercerita kepada ibunya mengenai pekerjaannya dan juga persiapan pernikahannya. Bahkan  Ia juga bercerita kepada ibunya mengenai perasaannya kepada Lisa. Seminggu lagi seharusnya dia berdiri di Altar bersama wanita yang ia cintai, tapi sekarang ia terbaring tak berdaya. Wajahnya terlihat pucat. Setelah bertemu dengan dokter ibu Ardo semakin lemas.

“Pasien bisa bertahan karena bantuan alat, Bu,” kata dokter  membuat perasaan ibu Ardo semakin tercabik.

Baru saja ibunya beranjak keluar dari ruangan itu, terdengar suara teriakan. Seorang suster dengan panik memanggil dokter Tumpal.

“Dokter…dokter…kondisi pasien memburuk. Sama sekali tidak ada detak jantungnya.”

 Dokter pun langsung berjalan menghampiri Ardo. Ibu Ardo berjalan Mengikuti mereka namun seorang suster memintanya menunggu di luar sebentar. Tidak lama kemudian seorang dokter keluar dengan wajah suram. Ia meminta ibu Ardo masuk. Dokter Tumpal pun dengan berat hati memberi tahu kabar yang paling buruk yang pernah didengar oleh ibu Ardo.

“Dia sudah tiada,” ucapnya sambil melepas kaca matanya. Ada kesedihan yang mendalam di raut wajahnya.

Ibu Ardo menjerit dengan keras. Dia memanggil nama anaknya.

“ Ardo…Ardo…bangun nak… Di mana lagi yang sakit? Ayo bangun beritahu mama saying…,” ucapnya tidak beraturan sambil mencium tubuh anaknya yang sudah tak bernapas.

Karena tidak kuat menahan kesedihannya, ibu Ardo pun jatuh pingsan. Tubuhnya lunglai. Suster dengan sigap menolongnya. Suster pun memanggil keluarga yang lain. Lisa menunggu di luar. Ia tidak sanggup mengangkat kakinya. Sendi-sendinya terasa lemas. Semua orang  menangis di ruangan itu.

Lisa pun menjadi lunglai. Ia menangis dan menjerit-jerit. Setiap orang yang lewat memperhatikannya. Lisa masih menangis, ketika Josua datang menemuinya dan menyampaikan pesan ibunya.

“Mama ingin Bang Ardo pergi sebagai pengantin yang berbahagia,” ucap Josua sambil menangis.

 Ucapan Josua mengingatkannya pada tulisan Ardo di Instagramnya dua hari lalu. Aku ingin menjadi lelakimu walau hanya sehari.

Lisa terdiam. Tanpa berbicara sepatah kata pun ia berjalan. Josua mengikutinya. Mereka menuju jalan Meruya Raya untuk mengambil gaun pengantin yg seharusnya ia kenakan seminggu lagi.

Beberapa menit kemudian mereka pun tiba di sebuah ruko. Di sana terpanjang baju pengantin milik Ardo dan Lisa. Setelan jas warna krem lengkap dengan dasi coklat dan sebuah gaun indah dengan warna senada di sebelahnya. Lisa dan Josua membawa pakaian itu menuju rumah sakit.

“Walaupun meninggal dia terlihat gateng mengenakan jas itu,” kata Tante Suri, yang ibu Karisa.

“Mempelai wanita memasuki ruangan,” Ucap seorang petugas dari Gereja. Semua mata menatapnya dengan penuh haru. Lisa berjalan dengan anggung bersama seorang bridesmaid. Gaun pengantinnya sangat indah. Dengan  riasan seadanya ia tetap terlihat cantik. Ia tersenyum layaknya seorang pengantin. Dia tidak ingin menunjukkan kesedihan dan kepedihannya.

Ia duduk di samping Ardo. Kekasihnya itu sudah menunggunya dengan sekuntum bunga yang indah ditangannya.  Seorang Pendeta berdiri di depannya. Ibu dan ayah Ardo juga ikut berdiri menyambutnya. Keluarga besar kedua mempelai dan teman-teman dekat turut menyaksikan pemberkatan singkat dengan derai air mata. Lisa mencoba kuat menahan tangisnya dan berdiri tegap mengikuti arahan sang Pendeta.

Ia rela menjadi mempelai sehari. Ia melakukannya untuk memenuhi keinginan Ardo yang terakhir. Ia sah menjadi istri Ardo sekaligus menjadi seorang janda.

 “Aku mau menjadi wanitamu walau hanya sesaat,” ucapnya dalam hati sambil memandang wajah Ardo. Dan kemudian tubuhnya menjadi lemas. Kini ia tidak kuat lagi menahan bebannya yang berat. Lisa jatuh dan tak sadarkan diri.

Bunyi alarm membuat Lisa terbangun. “ Oh ternyata semuanya cuma bermimpi”. WKWKWKKWKWKK…

JANGAN TERLALU SERIUS, YANG PENTING JAGA KESEHATAN…

Cerita ini hanya fiktif.

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments