Mamaku Tinggal di Rumah Kost

Mamaku Tinggal di Rumah Kost

Cerpen
Oleh: Nita Sembiring Kembaren

Siang itu rasanya panas sekali, aku duduk di pinggir lapangan sambil mengawasi siswa yang sedang bermain futsal. Saat itu, aku sedang mendampingi ekstra kurikuler futsal. Sebagai guru pendamping, aku harus ikut merasakan panasnya matahari di siang hari.

Aku duduk di bangku panjang di pinggir lapangan. Di sebelahku ada juga duduk beberapa siswa. Mereka menunggu giliran bermain. Tepat di sampingku ada seorang anak laki-laki yang duduk di kelas 3 SD, sebut saja namanya Raka.

Aku sudah lama ingin ngobrol dengan Raka tapi belum menemukan waktu yang tepat. Aku penasaran dengan anak ini. Tiap hari dia telat datang ke sekolah dan tempat bekalnya selalu kosong.

Setiap pagi, dia singgah ke kantin untuk menitipkan tempat bekalnya, bahkan tempat makannya itu sering dibawa dalam keadaan kotor. Masih ada sisa makanan yang kemarin. Aku melihat Ibu Keling, petugas kantin sekolah membersihkannya.

“Raka, sini deh…,” kataku dengan pelan. Ia pun bergeser mendekati aku.

“Iya Bu,” jawabnya sopan.

“Tadi makanan kamu habis?”

“Habis Bu.”

“Tiap hari ke sekolah diantar siapa?”

“Diantar mama, Bu,” jawabnya singkat.

“Emang mama enggak sempat masak ya?”  

“Engga sempat Bu, karena mama datang pagi-pagi.”

“Datang pagi-pagi? Emang mama kamu tinggal di mana?” Aku mulai bingung.

“Mamaku tinggal di kost,” jawabnya agak lesu.

Singkat cerita kami pun ngobrol lebih jauh. Raka cerita kalau mama dan papanya sudah tidak tinggal serumah. Mamanya tinggal di rumah kost dengan temannya, sedangkan papanya tinggal di daerah Tangerang karena proyeknya ada di sana.

Papanya pulang dua hari sekali dan kalau pun papanya pulang pasti sudah malam. Sehari-hari ia tinggal di rumah dengan kakak dan kekeknya. Kakaknya saat ini kelas 3 SMP dan kakeknya sudah sangat tua sehingga tidak bisa mengurus mereka dengan baik.

Mamanya datang pagi-pagi untuk menjemput dan mengantarkan Raka ke sekolah. Lalu, siangnya dia pulangnya naik ojek online.

Setelah diam sejenak, aku mencoba bertanya lagi lebih jauh.

“Kenapa mama kamu tidak tinggal di rumah sama kamu dan kakak?”

“Mama tidak mau. Mama ribut terus sama papa. Sebabnya sih karena mama tidak mau mendengar omongan papa, sehingga papa marah-marah dan berantam tiap hari. Setelah itu mama pergi dan membawa barang-barangnya ke rumah temannya.”

Mendengar cerita Raka hatiku sedih. Anak sekecil ini sudah paham akan permasalahan orang tuanya.

Tidak jauh dari tempat kami ngobrol ada seorang anak yang bernama Boby. Diam-diam Boby mendengar pembicaraan kami. Tiba-tiba Boby pun ikut dalam pembicaraan kami.

“Mama aku juga tinggal di kost, Bu…,” katanya membuat aku lebih terkejut lagi.

Aku coba bertanya dengan santai. Seolah-olah aku tidak merasa ada yang aneh dengan ucapannya.

“Kok mama ‘ngekost?”

“Ia Bu, mama tinggal di Citayam.”

“Kenapa mama tinggal di sana? Mama kantornya di sana?”

“Tinggal sama temannya dan mama bantu-bantu temannya jualan online,” ucapnya membuat aku semakin penasaran.

“Lho, kok bisa?”

“Mama dan papa sudah bercerai, Bu,” katanya perlahan.

Mendengar cerita kedua anak itu aku tertegun. Aku kembali diam dan air mataku menetes. Banyak kata yang tidak bisa ku ucapkan. Dalam hatiku, “Kasihan sekali mereka ini, masih kecil-kecil tapi sudah menjadi korban keegoisan orang tuanya.”

Aku memeluk kedua anak itu. “Kalian sedih enggak dengan keadaan ini?”tanyaku ingin tahu.

 “Dulu sedih banget Bu, tapi sekarang sudah mulai biasa saja. Tapi kalau pulang ke rumah agak malas. Sepi kalau tidak ada mama di rumah,” jawab Boby.

Setelah menarik nafas panjang, aku mencoba berbicara kepada kedua anak itu.

 “Raka, Boby, kalian masih terlalu kecil untuk bisa paham masalah yang terjadi diantara papa dan mama. Ada masalah yang tidak dapat mereka selesaikan bersama-sama sehingga mereka memutuskan untuk berpisah. Yang pasti mereka sangat sayang pada kalian.

Kalian harus bisa bersyukur bahwa masih ada papa dan mama walaupun mereka tidak tinggal serumah. Di luar sana masih banyak anak-anak yang nasibnya lebih buruk dari kalian. Orang tua mereka sudah meninggal. Mereka tidak bisa sekolah bahkan mereka mengalami kekerasan fisik.”

“Iya Bu,” jawab keduanya.

“Kalau kalian mau cerita minggu depan kita ngobrol lagi ya,” kataku sambil tersenyum. Mereka pun dipanggil ke lapangan untuk bermain futsal.

Aku masih duduk di bangku panjang itu. Hatiku sedih dan prihatin. Aku tidak ingin menggurui orang tua manapun, tapi aku ingin berbicara dari hatiku yang terdalam. Jangan biarkan hati anak-anak kita merasa hampa di tengah gemerlapnya dunia ini.

Masa depan mereka ditentukan sejak mereka masih kecil. Jangan biarkan keegoisan orang tua merobek impian mereka untuk meraih masa depan. Apapun masalahmu, lakukan yang terbaik untuk anak-anakmu.

Peluk sayang untuk mereka yang terabaikan.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments