Era milenial merupakan zaman perubahan mindset yang begitu besar pada anak muda. Jika pada zaman dahulu saat ayah atau kakek kita belajar mencari ilmu sampai perguruan tinggi untuk bagaimana bisa bekerja di sebuah kantor yang nyaman, asal tidak jadi petani dibawah terik matahari, sekarang pemikiran generasi baru bukan seperti itu lagi.
Propoganda yang masuk melalui media social yang begitu massif dan terus menerus di pikiran anak muda saat ini adalah bagaimana bisa menjadi entrepreneur atau pengusaha, dan menjadi kaya dari profesi tersebut.
Ditambah lagi anjuran pemerintah yang selalu menggemborkan pemikiran untuk membuka lapangan pekerjaan. Kelas atau kursus, seminar, dan workshop tentang kewirausahaan gencar disiarkan dan dapat dilaksanakan melalui gawai di genggaman tangan.
Artis dan selebriti pun menjadi contoh dan seakan mengajak kita untuk terjun ke dunia bisnis. Maka dari itu, jadilah sebuah gagasan dalam bawah sadar anak muda bahwa pebisnis atau pengusaha itu keren, kaya, mandiri, dan menjadi profesi impian semua orang.
Namun untuk memulai usaha atau bisnis tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hampir semua mahasiswa yang jika dimotivasi untuk memulai usaha selalu mengeluh pada satu hal: yaitu modal.
Pernah suatu hari di sebuah bisnis peternakan besar di Blitar bernama Sentosa Farm, belasan mahasiswa dikirim untuk menimba ilmu integrated farming atau pertanian terpadu. Teknik pertanian ini memadukan antara peternakan dan perkebunan yang saling melengkapi dan menghasilkan panen yang sangat efektif, efisien dan berkurangnya limbah.
Namun, saat para mahasiswa itu hendak disuruh mempraktekkannya di daerah masing-masing, keluhan utamanya kembali pada modal. dengan semakin mudah dan semakin banyaknya orang yang membuka usaha dan diperlukan daya saing yang tinggi, maka semakin besar pula uang modal yang harus disediakan.
Sebagai kebutuhan utama saja seperti stok bahan dan alat untuk produksi sebagai aktivitas utama bisnis harus dipenuhi. Belum lagi jika harus ada biaya pemasaran, pengelolaan media social, transportasi dan biaya operasional lainnya. Maka, terjun dalam dunia bisnis di awal tanpa modal besar adalah langkah yang berat.
Sayangnya pun para generasi milenial ini memang serba instan. Bukan hanya makanan dan minuman saja yang instan, profesi dan penghasilan pun kalau bisa instan saja. Jadi pengusaha pun cari jalan yang mudah dan pintas.
Lulus kuliah atau bahkan sebelum lulus kuliah kalau bisa sudah jadi pengusaha. Meski sudah banyak yang sukses tetapi harus dikatakan jauh lebih banyak lagi yang gagal dalam bisnisnya. Selain karena memang kekurangan modal, bisa jadi karena memang kesiapan mental dan ilmu para mahasiswa untuk ber-entrepreneurship tidak memadai untuk menjalankan aktivitas bisnisnya.
Tapi mereka terlanjur memaksakan, karena pikiran dan mindset awal bahwa pengusaha itu enak dan gagah. Kadang generasi milenial lupa, bahwa proses harus dijalani dan dimulai dari bawah, dari bekerja di kasta yang tak begitu tinggi, dari jadi karyawan dulu dan menikmati gaji terlebih dahulu.
Sudah banyak yang demam untuk jadi wirausahawan tapi terlalu dini memulai dan tidak mencari pengalaman kerja sehingga akhirnya menghadapi kegagalan dalam mengelola usahanya.
Mereka yang berhasil menjadi pebisnis sukses saat masih kuliah biasanya sudah pernah bekerja sebelumnya, bukan yang ujug-ujug jadi pebisnis. Mereka memperolah mental dan pengalaman professional dari lingkungan tempat dimana mereka bekerja dulu.
Lalu mereka pun dapat mengimplementasikan ilmu dan pengalaman tersebut di bisnis yang mereka bangun. Penulis sendiri pernah mendirikan kursus bahasa Inggris ketika kuliah selama setahun pernah menjadi guru bahasa Inggris di kursus lain sebelumnya.
Pemilik restoran pedas Nasi Cipratt di Jambi, yang dulunya adalah pelayan di sebuah restoran sambal yang akhirnya tidak beroperasi lagi, dan masih banyak contoh lainnya. Jadi selain bekal modal yang cukup, hal lain yang perlu diperhatikan adalah mental dan pengalaman bekerja.
Berdasarkan hal tersebut, tidaklah penting membuka bisnis saat kuliah atau setelah lulus kuliah. Yang terpenting adalah tiga hal tersebut: modal, mental dan pengalaman. Jika memang setelah lulus kuliah tidak memiliki ketiga hal tersebut, bukanlah suatu kemunduran jika bekerja pada orang lain.
Selain mendapatkan penghasilan untuk hidup, pun berarti dapat disisihkan untuk ditabung sebagai modal usaha nanti.
Disamping itu, tanggung jawab dan profesionalitas saat bekerja akan jadi keuntungan dan kekuatan mental tersendiri saat mengelola bisnis nanti. Interaksi yang terjadi dengan kolega lain juga dapat mematangkan emosi dan pemikiran untuk membangun kepercayaan dan wibawa jika suatu saat memiliki karyawan.
Cara mengambil keputusan pun akan terasah dan semakin tajam karena sudah terbiasa dilakukan saat bekerja, yang menjadi rendah resiko saat kita masih bekerja di perusahaan lain.
Bagaimana jika saat kuliah sudah pernah bekerja? jika sudah ada modal serta mental yang kuat, silahkan untuk memulai usaha, bagi yang ingin jadi pebisnis. Karena sebenarnya memang tidak ada prinsip jika lulus kuliah maka harus bekerja dulu. Yang ada adalah keputusan sendiri sesuai keadaan masing-masing.
Penulis Adalah Guru Bahasa Inggris, Dosen Mahad Al-Jamiah UIN STS Jambi, Pemilik Usaha Restoran, Tour dan Lainnya.