Laron-Laron

Laron-Laron

Cerpen
Oleh : Niniek Sutarti
Oleh : Niniek Sutarti

Aku duduk di teras FPBS menunggu adikku yang kuliah bahasa Inggris untuk pulang bersama.

Kulihat taman di sebelahku duduk, masih basah sisa hujan tadi malam.

Tampak sebuah lubang yang dari sana keluar rayap dan laron. Dari lubang itu laron berjejalan, berebut ingin segera terbang menikmati kemerdakaan.

Sayapnya yang transparan berkibas-kibas mirip baling-baling heli.

Beberapa kemudian jatuh karena sayapnya rimpih rontok. Laron itu merayap kembali di tanah.

Sebentar kemudian rombongan burung gereja berdatangan. Mereka berpesta. Ada yang turun mematuk laron dan rayap di tanah. Ada yang menyambar di udara saat laron sedang gembira.

Ada yang langsung berdiri di tepi lubang sarang dan menangkap laron-laron yang bermunculan dari mulut lubang. Seakan mulut lubang adalah jebakan.

Burung-burung kecil itu jelas hanya mengikuti irama rantai makanan di alam. Cericit riang saling dinyanyikan. Memanggil kerabat dan sahabat agar ikut menyantap rezeki terhidang.

Pikiranku melayang gemetar memikirkan. Apakah ini merupakan gambaran untuk manusia juga.

Apakah manusia juga terposisikan sebagai laron, burung gereja, elang, dan konsumen puncak pemakan terakhir.

Apakah gambaran itu seperti nasib atau maqam manusia di bumi ini.

Lalu bagaimana nasibku. Pertanyaan itu terus bergaung dalam benakku.

Tapi manusia dibekali akal pikiran serta tuntunan untuk menjalani kehidupan.

Akal untuk tidak diam menyerah. Akal untuk terus bergerak. Terus meraih hari ini lebih baik dari kemarin. Bahwa setiap hari ada progres kebaikan. Sebagai tolok ukur kesuksesan menjalani hidup.

Tidak semata-mata melaron. Muncul sekejap lalu hilang tak berbekas.

Kalau toh tertakdir seirama laron, manusia tentu lebih dimuliakan sebagai ciptaanNya yang berwujud sempurna.

Hanya menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama serta semesta, hingga manusia dapat disebut berharga.

Laron-laron terus bermunculan dan memenuhi takdir waktunya. Aku terus memandang pertarungan hidup di dunia kecil sederhana itu. Terus memikirkan hikmah di baliknya.

Lalu berpikir banyak sekali kekonyolan yang manusia lakukan. Banyak alasan untuk membenarkan apa yang dilakukan manusia. Semakin pintar bersilat lidah. Kebohongan satu diikuti kebohongan berikutnya. Terus bertumpuk dipoles dengan rangkaian kata menjadi arca yang kemudian disembah sebagai buah kebenaran.

Pecah kepala memikirkan manusia-manusia serakah. Berkumpul berkelompok hanya untuk dunia belaka.

Lupa jika tercipta hanya sebagai laron-laron di garis waktu. Sibuk berkelahi merebut kekuasaan agar bisa menguras kekayaan alam.

Mengerikan menjijikkan jika untuk bertahan eksis di bumi fana ini dengan menghalalkan segala cara.

Baik yang menggunakan slogan agama maupun hingar lawannya.

Sesungguhnya kita juga laron-laron di tempurung masa. Langit kita bukanlah langit sesungguhnya. Apalagi langit pertama. Jauh di awang-awang.

Kita ternyata tumbuh di bawah tempurung langit hedonis, langit kapitalis. Langit yang mengukur sukses dari kekayaan, gaya hidup. Sukses berarti berapa banyak harta yang dimiliki, apa pangkat yang diraih, dan kemewahan apa yang ditampilkan.

Hidup yang sesungguhnya kita lupakan. Kita korban paksa bernafas di tempurung sempit tanpa sadar membebek alur gaya.

Seperti laron-laron yang tak tahu apa sesungguhnya dunia di atas sarangnya …

#kenangan1986

Niens

Batam, 30082020

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments