Pendahuluan
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, baik dari aspek jasmaniah maupun rohaniahnya. Allah SWT menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikannya yang prima dibanding makhluk lainnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surah At-Tiin ayat 4:
لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤
Artinya: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (Q.S. 95: 4).
Kondisi manusia terdiri dari beberapa unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Menurut Khayr al-din al-Zarakli, sebagaimana yang dikutip oleh Iqbal Irham dalam bukunya, “Membangun moral Bangsa melalui Akhlak tasawuf”, studi tentang diri manusia dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, jasad atau fisik, apa dan bagaimana organisme dan sifa-sifat uniknya. Kedua, jiwa atau psikis, apa dan bagaimana hakikat serta sifat-sifat uniknya. Ketiga, jasad dan jiwa atau psikofisik, berupa akhlak, perbuatan, gerakan dan sebagainya. Ketiga komponen tersebut saling melengkapi dan memiliki fungsi masing-masing, dalam kondisi menyatu ketiganya merupakan kelengkapan tersendiri, sedangkan ketika mereka terpisah satu sama lain mereka akan memiliki fungsi masing-masing.
Dalam Alquran setidaknya terdapat tiga istilah kunci yang mengacu pada makna pokok manusia, yakni al-basyar, al-insan dan an-nas. Pertama, kata al-basyar memberi referensi pada manusia sebagai makhluk biologis, yang makan, minum, berjalan ke pasar, dan sebagainya. Kedua, kata al-insan yang disebut 65 kali dalam Alquran dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, al-insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah. Kedua, al-insan dihubungkan dengan predisposisi negative diri manusia. Ketiga, al-insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks al-insan merujuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual. Konsep ketiga, adalah An-Nas yang mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam kategori ini paling banyak dalam Alquran yang tidak kurang dari 240 kali.
Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda dari segi biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens dalam bahasa latin yang berarti “manusia yang tahu”, sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi, yang dalam agama dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup. Dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok, dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.
Kualitas Hidup Manusia Menurut Alquran
Hidup merupakan salah satu anugrah yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada setiap makhluk-Nya. Dalam melakukan aktivitasnya, setiap makhluk selalu mengikuti apa yang mereka hadapi dan bagaimana cara mereka mengatasinya, hal ini disebut dengan sunnatullah (kehendak Alah) yang terjadi hendaknya disikapi dengan sikap terbuka dan menerima apa adanya serta tidak pula timbul sikap pesimis atau putus asa untuk kembali melakukan suatu keputusan, karena pada hakikatnya dibalik itu semua terdapat suatu kenikmatan (kemudahan) dari Allah SWT untuk bagaimana kita mengatasi atau menghadapi hal tersebut. Mengenai konteks ini, yang selalu menjadi pusat perhatian untuk menyikapi hal tersebut adalah al-ins (manusia), karena manusia merupakan satu-satunya makhluk Allah yang diciptakan secara sempurna. Namun di balik kesempurnaannya itu, manusia terkadang berlaku besar kepala dan semena-mena untuk melakukan segala sesuatu. Padahal pada hakikatnya, ia merupakan makhluk Allah yang diciptakan ke alam dunia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika seorang manusia berlaku keras mengikuti hawa nafsunya, apalagi perbuatannya itu menyalahi syari’at atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sebagaiman Firman-Nya:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. 51: 56).
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa terlepas dari kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama. Mulai dari manusia purba sampai kepada manusia modern sekarang yang mengakui bahwa diluar dirinya ada kekuasaan transendental.
Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba manusia mengasumsikannya lewat mitos yang melahirkan agama animisme dan dinamisme. Meskipun dengan pemikiran dan kondisi yang cukup sederhana, manusia dahulu telah mengakui bahwa diluar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan menguasai seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak mengatahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai bentuk upacara ritual seperti pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari dan roh nenek moyang mereka. Kesemuanaya itu menjadi bukti, bahwa ia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama. Allah SWT berfirman:
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. 30 : 30).
Berdasarkan ayat diatas, jelaslah bahwa bagaimanapun modernnya atau primitifnya suatu suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya. Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut informasi Alquran disebabkan telah terjadinya dialog antara Allah dan roh manusia takkala berada di alam arwah. Firman Allah SWT :
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka (anak-anak Adam menjawab: “Betul (Engkau Tuhan Kami) Kami menjadi saksi….” (QS. 7 : 172).
Dengan demikian, kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena manusia telah berikrar sejak alam (mitsaq), sejak alam arwah bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Kepercayaan manusia kepada Zat Maha Agung yang ada diluar dirinya juga diiringi oleh Realisme Instinktif yang tunduk dan patuh kepada-Nya. Kepatuhan tersebut kemudian dimanifestasikannya lewat peribadatan-peribadatan ritual, sehingga manusia memiliki beban dan tugas sebagai makhluk pengabdi kepada Tuhannya. Dengan demikian, rasa tunduk dan kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai nilai ubudiyah kepada-Nya. Pengenalan dan pengabdian yang dilakukan manusia sebagai realisasi kepada Tuhannya padamulanya mereka melakukan sesuai dengan keterbatasan akalnya. Allah tidak ingin manusia berada selalu dalam kesesatan. Untuk itu, Allah SWT memperkenalkan kepada manusia cara melakukan pengabdian. Dengan pendekatan dan kemampuan yang dimilikinya mengantarkan manusia mampu melaksanakan pengabdiannya sesuai aturan yang dikehendaki Allah.
Dalam konsep animistik misalnya, manusia merasakan ketidakmampuannya dan ingin mendapatkan perlindungan dan pertolongan kepada Zat Yang Maha Agung. Namun, keterbatasan akalnya manusia tidak bisa menemukannya. Akhirnya manusia purba mengkultuskan benda-benda alam yang dianggapnya mempunyai kekuatan gaib (mana) dan selanjutnya dilakukan penyembahan kepada benda-benda tersebut. Untuk itu, Allah mengutus para Rasul-Nya sebagai pemberi petunjuk kepada manusia, mana yang harus mereka sembah sebenarnya. Lewat inisiatif pengakuan akan adanya Zat Yang Menguasainya, lewat bimbingan wahyu (ajaran agama) yang disampaikan dengan perantaraan Rasul, diharapkan manusia akan mampu mengenal khalidnya lewat pengabdian yang ditunjukkannya dalam kehidupan.
Disamping tugas manusia diciptakan ke alam dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah SWT, namun di sisi lain pula manusia dituntut untuk menjadi seorang khalifah (pemimpin) baik bagi dirinya sendiri maupun bagi manusia yang lain sekaligus semua makhluk yang berada di alam dunia ini. Memahami surah Al-Baqarah ayat 30 Allah SWT, tentunya manusia memiliki keunggulan dari semua makhluk yang Allah ciptakan, karena dengan tegasnya Allah SWT hendak menjadikan manusia sebagai khalifah meskipun para malaikat telah beranggapan bahwa mereka (manusia) hanya akan membuat kerusakan dan saling menumpahkan darah di muka bumi. Memang pada hakikatnya, manusia itu memiliki tabiat sebagai makhluk yang lemah, bodoh, kikir, tergesa-gesa, dan mudah berputus asa. Tetapi di balik itu semua, Allah memiliki sebuah rahasia yang hanya diketahui menurut ilmu-Nya.
Kendati demikian, tentunya anggapan para malaikat ini terbukti dan banyak terjadi di sekitar kita, khususnya di zaman sekarang yang serba modern. Manusia terlihat seperti tidak memperdulikan lagi tugas dan fungsi sesungguhnya yang diberikan oleh Sang Pencipta bahkan tidak melaksanakannya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Hal ini pastinya tidak relevan dengan ayat-ayat yang dijelaskan sebelumnya, karena mungkin manusia lebih mengikuti hawa nafsunya daripada mengikuti syari’at dan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Memang sampai saat ini manusia sanggup bahkan saling berebut untuk mendapatkan suatu jabatan sebagai pemimpin, namun faktanya berbanding terbalik dengan makna pemimpin itu sendiri.
Kualitas Hidup Manusia Sebagai Seorang Khalifah
Alquran tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan atau tercipta dari kumpulan atom, akan tetapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas sebagai khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 30.
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu Berfirman kepada para malikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. “Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak Menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?”Dia Berfirman, “Sungguh, Aku Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. 2:30).
Khalifah dalam Alquran terjemahan Departemen Agama dimaksudkan dengan pengganti, pemimpin atau penguasa. Dalam tafsir Jalalain kata khalifah yaitu “يخلفني في تنفيذ أحكامي فيها وهو آدم” seseorang yang akan mewakili Allah dalam melaksanakan hukum-hukum atau peraturan-peraturan-Nya, yaitu Nabi Adam a.s. Dalam Tafsir Ibnu Katsir kata khalifah diartikan suatu kaum keturunan dari masing-masing generasi dan masing-masing zaman. Dalam Tafsir Al-Kasyaf karya Al-Zamakhsyary kata khalifah diartikannya dengan “kholiqoh” yaitu makhluk. Menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi, kata khalifah dalam ayat ini memiliki dua makna. Pertama adalah pengganti, yaitu pengganti Allah SWT untuk melaksanakan titahnya dimuka bumi ini. Kedua, manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendaya gunakan alam semesta bagi kepentingan manusia secara keseluruhan. Perlu disadari bahwa kewenagan manusia untuk memanfaatkan alam harus didasarkan kepada garis yang telah ditetapkan Allah SWT dan tidak boleh menyalahinya. Seperti tidak boleh merusak alam, tidak boleh mengeksploitasinya untuk kepentingan individu atau golongan dan tidak boleh memanfaatkanya secara berlebih-lebihan. Oleh karena itu, seharusnya kita jaga dan lestarikan alam ini, seperti hutan kita yang mulai rusak, sebab kebakaran hutan yang tidak pernah tahu persis apa penyebabnya, sumber mata air yang mulai berkurang sebab banyak pribadi-pribadi yang menjadikannya usaha pribadi, isi perut bumi yang juga mulai rusak sebab isinya terus menerus diambil, lingkungan sekitar yang mulai kotor oleh sampah, polusi dan banyak lagi hal lainnya. Yang membuat alam ini semakin berkurang keindahannya. Salah satu penyebabnya ialah manusia itu sendiri yang kurang menyadari posisinya sebagai seorang khalifah.
- Quraisy Shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian: Pertama, orang yang diberi kekuasaan untuk mengelola suatu wilayah, baik luas maupun terbatas. Kedua, khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan. Beranjak dari pemahaman bahwa ada dua unsur sehubungan dengan makna khalifah yakni unsur intern (mengarah pada hubungan horizontal) yang berkaitan dengan manusia, alam raya dan antar manusia dengan alam raya. Dan unsur ekstern (kaitannya dengan hubungan vertical) yaitu penugasan Allah kepada manusia sebagai mandataris Allah dan pada hakekatnya eksistensi manusia dalam kehidupan ini adalah membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai dengan kehendak penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut memang sangat berat. Namun status ini menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di bumi atas petunjuk Allah. Selain itu, dari tugas tersebut menggambarkan bahwa akan kedudukan manusia selaku makhluk ciptaan-Nya yang paling mulia.
Bila ditinjau, kata khalifah berasal dari fi’il madli khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinya lebih cenderung kepada pengertian mengganti yaitu proses penggantian antara satu individu dengan individu yang lain. Menurut Quraish Shihab, istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) berarti penguasa politik dan religius. Istilah ini digunakan untuk nabi-nabi dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia biasa digunakan khala’if yang didalamnya mengandung makna yang lebih luas yaitu bukan hanya sebagai penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dengan kedudukan manusia dialam ini, nampaknya istilah khala’if cocok digunakan dibandingkan kata khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah manusia sebagai khalifah di muka bumi. Pendapat yang demikian memang tidak ada salahnya karena dalam istilah khala’if sudah terkandung makna istilah khalifah. Sebagai seorang khalifah, manusia berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukannya. Ia menggantikan kedudukan orang lain dalam aspek kepemimpinan atau kekuasaan.
Untuk lebih menegaskan fungsi kekhalifahan manusia di alam ini, dapat dilihat misalnya dalam ayat-ayat dibawah ini:
وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٞ رَّحِيمُۢ ١٦٥
Artinya: “Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat”. (QS. 6: 165).
أَوَعَجِبۡتُمۡ أَن جَآءَكُمۡ ذِكۡرٞ مِّن رَّبِّكُمۡ عَلَىٰ رَجُلٖ مِّنكُمۡ لِيُنذِرَكُمۡۚ وَٱذۡكُرُوٓاْ إِذۡ جَعَلَكُمۡ خُلَفَآءَ مِنۢ بَعۡدِ قَوۡمِ نُوحٖ وَزَادَكُمۡ فِي ٱلۡخَلۡقِ بَصۜۡطَةٗۖ فَٱذۡكُرُوٓاْ ءَالَآءَ ٱللَّهِ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٦٩
Artinya: “Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudag lenyapnya Nuh, dan Tuhanmu telah melebihkan kekuatan tubuh dan perwakanmu (dari pada kaum nuh itu). (QS. 7 : 69).
Ayat-ayat tersebut di atas, di samping menjelaskan kedudukan manusia di alam raya sebagai khalifah dalam arti yang luas juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Quraisy Shihab mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan yang ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Sebab, meskipun manusia mampu mengelola (menguasai) namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia. Oleh karena itu, manusia dalam visi kekhalifahannya bukan saja sekedar menggantikan, namun dengan arti yang luas ia harus senantiasa mengikuti perintah yang digantikan (Allah).
Untuk melaksanakan tugasnya sebgai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia seperangkat potensi (fitrah) berupa ‘aql, qalb, dan nafs. Namun demikian, aktualisasi fitrah tersebut tidak otomatis berkembang, melainkan tergantung pada manusia itu sendiri dalam mengembangkannya. Untuk itu, Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi agar menjadi pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh dan selaras dengan tujuan penciptaannya. Dengan pedoman ini manusia akan dapat tampil sebagai makhluk Allah yang tinggi martabatnya. Jika tidak demikian, manusia akan tidak berbeda esensinya dengan hewan. Dengan kedudukan, fungsi, dan kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya melebihi makhluk lain, memiliki konsekuensi nilai moral religius. Untuk itu, manusia harus mempertanggung jawabkan semua aktifitas perbuatannya di hadapan khaliknya. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: Dari Ibn Umar ra. Berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpinnya…” (HR. Mutafaq’Alaih).
Selanjutnya Ahmad Hasan Firhat, membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk, yaitu:
Pertama, khalifah kauniyat. Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan kehidupan umat manusia dimuka bumi. Pemberian wewenang Allah SWT kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemaknaan yang bersifat umum tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya, label kekhalifahan yang dimaksud diberikan keada semua manusia sebagai penguasa alam semesta. Bila dimensi ini dijadikan standard dalam melihat predikat manusia sebagai khalifah fi al-ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi kekhalifahannya tanpa kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiyah. Akibatnya, keberadaannya di muka bumi bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat mafsadah dan merugikan makhluk Allah lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat tatkala Allah mengutarakan keinginan-Nya menciptakan makhluk yang bernama manusia.
Kedua, khalifah syariyah. Dimensi ini merupakan wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan agar dengan keimanan yang dimilikinya mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.
Kesimpulan
Manusia menurut Islam adalah mahluk ciptaan Allah (QS. 98: 2) dengan kedudukan yang melebihi mahluk ciptaan Allah lainnya (QS. 95 : 4). Selain itu manusia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan antara lain berupa fitrah ketauhidan (QS.15 :29). Dengan fitrah ini diharapkan manusia dapat hidup sesuai dengan hakekat penciptaannya, yaitu mengabdi kepada Allah SWT (QS. 51: 56). Mengacu pada ketentuan ini, maka dalam pandangan Islam “meminjam bahasa Jalaludin” manusia pada hakekatnya merupakan makhluk ciptaan Allah yang terikat dengan Blue prient (cetak biru) dalam lakon hidupnya yaitu menyadari akan dirinya sebagai Abdul Allah sekaligus mempunyai tugas sebagai mandataris Allah.
Hakikat fungsi manusia atau kualitas hidupnya manusia adalah sebagai Khalifah (pemimpin) dan ‘Abd (hamba Allah). Khalifah bermakna manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendaya gunakan alam semesta bagi kepentingan manusia secara keseluruhan. Perlu disadari bahwa kewenagan manusia untuk memanfaatkan alam harus didasarkan kepada garis yang telah ditetapkan Allah SWT dan tidak boleh menyalahinya. Seperti tidak boleh merusak alam, tidak boleh mengeksploitasinya untuk kepentingan individu atau golongan dan tidak boleh memanfaatkanya secara berlebih-lebihan. Sedangkan ‘Abd memiliki arti mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Pemenuhan fungsi ini memerlukan penghayatan agar seorang hamba sampai pada tingkat religiussitas dimana tercapainya kedekatan diri dengan Allah SWT. Bila tingkat ini berhasil diraih, maka seorang hamba akan bersikap tawadhu’, tidak arogan dan akan senantiasa pasrah pada semua titah perintah Allah SWT (tawaqqal).
Penulis Adalah, Dosen STIE Syari’ah Al-Mujaddid, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.