Oleh: Amri Ikhsan
Komunikasi adalah kebutuhan manusia. Tak satupun manusia yang bisa bertahan hidup tanpa berkomunikasi. Guru juga manusia. Dia perlu berkomunikasi dengan orang lain khususnya dengan koleganya. Disamping itu, guru adalah salah satu tiang utama pembangunan bangsa.
Jabatan guru merupakan tugas strategis yang memerlukan kolaborasi dengan pihak lain dalam mencari ide, masukan dalam menemukan pendekatan, metode, strategi dan tehnik yang paling mampuni dalam proses pembelajaran dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Jelas sekali bahwa komunikasi guru dengan koleganya merupakan sesuatu yang esensial.
Apalagi, komunikasi di ruang digital, komunikasi tanpa melihat wajah lawan bicara, tanpa mendengar jelas intonasi suaranya, memang tak mudah diimplementasikan. Tapi, komunikasi harus tetap dilakukan, karena memang kebutuhan hidup.
Padahal komunikasi ini sangat urgen bagi guru dalam rangka ‘triangulasi’ ide dan pendapat tentang proses pembelajaran. Untuk itu, sudah saatnya, guru keluar dari ‘bawah tempurung’ dan membiasakan diri berkomunikasi ‘politik’ dengan guru yang lain. Guru ‘wajib’ terbiasa dengan dunia politik. Guru yang berpolitik berarti guru yang telah membuka ‘pintu dunia’ untuk kemaslatan dan kecerdasan peserta didik.
Sebenarnya berpolitik bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Secara teoritis, politik berarti strategi, usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
Politik itu merupakan penggalian kemampuan manusia untuk menggunakan kemampuan daya nalarnya untuk melakukan proses perubahan, memerdekakan manusia untuk melepaskan dirinya dari segala bentuk penindasan, pemerasan, ketidakadilan, kebodohan ataupun kemiskinan dalam kehidupan bersama. Dengan kata lain, tujuan etis politik melekat pada proses humanisasi sebagai ajang pendidikan agar mampu mewujudkan hak dan tanggung jawabnya sebagai guru seutuhnya.
Tapi politiknya guru harus ‘lunak’ dan elegan. Artinya, guru berpolitik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang kondusif demi anak bangsa. Guru berpolitik dalam rangka memberikan masukan kepada pihak pengambil keputusan supaya ‘peduli dan ramah’ dengan dunia pendidikan.
Politiknya guru supaya orang mendengar ‘isi hati’ guru dalam kehidupannya. Guru berpolitik untuk ‘memaksa’ para birokrat mengambil langkah yang lebih strategis dalam membimbing, membina, mengarahkan guru untuk ibu bekerja lebih baik dan manusiawi. Menggembirakan guru dan keluarganya, dan membuat siswanya berhasil dalam hidupnya merupakan impian terakhir politik guru.
Idealnya, guru tidak berpolitik keras dengan melibatkan kekuatan (fisik) untuk mendesakkan implementasi kebijakan tertentu, aksi pemogokan guru, unjuk rasa para guru, dll.
Dalam literatur disebutkan komunikasipolitik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Pendidikan merupakan salah satu kebijakan pemerintah.
Pendidikan merupakan proses politik dan sebenarnya guru aktor utama proses politik ini. Sebagai aktor politik, guru harus mampu mentransformasi situasi masyarakat menjadi dunia yang lebih baik.
Ekspresi politik guru mestinya memberikan apresiasi keadilan, kesejahteraan, pencerahan dan pemberdayaan yang secara massal akan mampu membentuk pola kehidupan masyarakat pelajar menjadi lebih baik dan kondusif.
Agenda politik semestinya menyusun kerangka kerja yang mengartikulasikan kehendak peserta didik, dan memperjuangkan gagasan untuk memberikan kebaikan peserta didik baik secara jasmani maupun rohani.
Paulo Freire mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan.
Untuk itu, politik adalah bukan hanya kajian tentang kekuasaan (power) atau seni memerintah tapi juga berhubungan dengan pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya” (Joyce Mitchell).
Pernyataan ini berarti bahwa semua aktifitas pendidikan itu pada dasarnya bersifat politis dan punya konsekuensi dan kualitas politis. Cara guru mengajar, materi yang hendak diajarkan, dan model relasi yang akan dibangun, semuanya bersifat politis, karena mereka mempunyai kontribusi terhadap pembebasan atau domestikasi peserta didik.
Pendidikan merupakan sebuah proses politik. Relasi guru dengan pihak lain, baik itu dalam lingkup mikro (di kelas) maupun makro (di luar kelas), merupakan relasi kekuasaan. Di dalamnya guru berjumpa banyak pihak, seperti, kepala sekolah, komite sekolah, dewan guru, yayasan, orangtua, lembaga-lembaga non-pemerintah, birokrat, politisi, dan masyarakat.
Sebenarnya guru sudah terbiasa dengan ‘obrolan’ politik dalam kehidupan sehari-hari, misalnya berbicara tentang UN, KTSP, sertifikasi, kesejahteraan guru, proses pembelajaran, kenakalan remaja, dll.
Tetapi komunikasi ini tidak dikemas secara ilmiah. Artinya, komunikasi itu ‘menguap’ begitu saja tanpa ada ‘follow-up’, tidak ada pihak yang ‘berani’ mem-blow up ke publik sehingga dalam hal ini seolah-olah para guru tidak ‘berbunyi’ (baca– tidak punya inisiatif).
Ada anggapan bahwa kondisi seperti ini karena guru memakai ‘ilmu padi’: semakin berisi semakin menunduk. Sebenarnya tidak selamanya ilmu padi itu baik dan menguntungkan.
Dalam konteks memberi masukan untuk kebijakan pendidikan yang lebih peduli sebaiknya ilmu padi itu tidak dipakai. Tunjukkan bahwa guru itu punya konsep, pendirian sehingga pengambil keputusan bisa mempertimbangkan dan mengarahkan kebijakan sesuai dengan ‘suara guru’.
Pendidikan sebagai politik juga berarti bahwa proses pembelajaran di kelas tidaklah semata-mata akuisisi dan transmisi pengetahuan, tapi merupakan proses pengembangan peserta didik yang kritis di mana pengetahuan dan kekuasaan yang ada dipertanyakan secara terus menerus.
Proses pembelajaran tidaklah dimaknai sebagai proses memiliki dan mengakumulasi pengetahuan, tapi lebih sebagai proses untuk memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan pengetahuan sebagai sebuah alat untuk mengubah realitas (Paula Allman, 1999).
Persoalan seputar efektivitas UN, inkonsistensi aturan pemerintah tentang otonomi guru dalam proses pendidikan, perbaikan kurikulum tanpa menyertakan proses penyiapan secara matang tenaga pendidik, dll. adalah sebagian contoh corak relasi kekuasaan yang memangkas kinerja dan otonomi guru.
Berhadapan dengan perubahan kurikulum, guru tak pernah dijadikan rekan dialog atau mitra kerja. Kalaupun ada dialog, hanya terjadi dari sisi teknis pelaksanaan, bukan dari visi antropologi-filosofis yang memberi visi fundamental pendidikan nasional kita. Pemberangusan komunikasi politik guru pada gilirannya membatasi kinerja potensial guru sebagai agen transformasi akan mengakibatkan guru menjadi ‘kerdil inisiatif’ dan akan menghasilkan siswa yang juga kerdil.
Kalangan pendidik mestinya mencoba mengarungi dunia politik. Dalam hal ini, masyarakat pendidikan harus aktif mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Dengan begitu kaum pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan signifikan. Paling tidak kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan kepada para politisi bahwa pendidikan itu bersifat antisipatoris dan prepatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang.
Keterlibatan tuan guru dalam ruang politik nampaknya harus di pandang secara serius. Artinya, para pengambil kebijakan harus memfasilitasi dan mengorganisir para guru untuk lebih kreatif dan inovatif sehingga menjadi mitra kerja, ‘sparring partner’ dalam usaha menyumbangkan ide untuk memajukan dunia pendidikan secara komprehensif dan holistik dan diharapkan ini menjadi embrio lahirnya ‘think tank’ bagi para pengambil keputusan secara profesional dalam dunia pendidikan.
Sebab sebagaimana dipahami bahwa politik di Indonesia sangat sarat dengan fragmentasi kepentingan sesaat, sedangkan tuan guru merupakan sosok yang membawa misi pendidikan yang berlaku dalam jangka waktu yang tak terbatas. Komunikasi politik guru adalah untuk membelajarkan siswa bukan politik praktis, yang memang ‘haram’ dilakukan guru!