Kalut (Desember Kelabu di Langit Siantar 3)

Cerpen
Oleh: Nita Sembiring Kembaren

“Kalut”. Itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan kami sebagai keluaga pasien yang sedang menunggu di depan ruang  HCU.

Sebenarnya, kemarin malam, aku juga benar-benar merasakan perasaan terkalut dalam hidupku karena melihat kondisi suamiku. Dia dibawa dengan ambulan danam keadaan tidak sadarkan diri salah satu RS di Siantar. Aku takut die berhenti bernafas dalam perjalanan.

Dengan perasaan penuh dengan ketakutan, aku mendampinginya di dalam ambulan menuju RS Haji Adam Malik Medan. Padahal, sebelumnya aku tidak pernah mengijakkan kaki di RS ini. terus terang aku merasa sangat asing di lingkungan ini, apalagi aku sudah hampir 20 tahun tinggal di Jakarta.

Malam itu setelah suamiku ditangani di ruang HCU, aku pergi  mencari tempat istirahat. Kebetulan ada sebuah saung disamping gedung itu, disana banyak keluarga pasien yang beristirahat.

Disitu, aku tidur beralaskan tikar tipis yang aku bawa dari RS Siantar. Disebelah aku ada seseorang ibu dan 3 orang laki-laki berusia kisaran 30-40an tahun.

Pagi-pagi ketika aku bangun, aku melihat ibu itu memandang kearahku.

“Siapa yang sakit, Dek? dia bertanya kepadaku

“Suami saya bu, “Jawabku dengang singkat

“Sakit apa?”

“Lupus”.

Singkat cerita kami pun ngobrol dengan si ibu mengenai suamiku. Dia juga menceritakan mengenai sakit anaknya.

“Yang sakit anak perempuan saya. Saat ini dia dirawat diruang HCU. Dia baru sebulan melahirkan. Padahal selama ini sehat, waktu melahirkan dia juga sehat kok. Dia melahirkan secara normal, tetapi seminggu setelah melahirkan, dia tiba-tiba demam”.

Kami bawa ke RS, kata dokter dia kekurang zat besi. Setelah dirawat keadaannya membaik tapi dua hari lalu dia kembali demam dan kejang. Sampai saat inipun dia belum sadarkan sadar. Kata ibu itu dengan mata berkaca-kaca.

Aku hanya termangun mendengar ceritanya. Aku menarik nafas dalam-dalam sambil merapikan rambutku.

“Anak ibu berapa?tanyaku kemudian

“Anak saya empat, tiga laki-laki satu perempuan. Yang sakit ini adalah anak bungsu saya, dia baru setahun lalu menikah. Ini suaminya”. Katanya sambil menunjuk seorang laki-laki yang tidur disampingnya.

“Lalu bayinya bagaimana? Saat ini dirawat oleh siapa?”

“Bayinya sehat. Saat ini sedang bersama besan saya”. Kami pun lanjut berbincang dengan beberapa keluarga pasien di situ sambil menunggu jam besuk.

Pada saat jam besuk, kami pun sama-sama masuk ke ruang HCU. Karena fokus pada suamiku, aku pun tidak sempat memperhatikan anak si ibu tadi yang di rawat di bed kedua dari suamiku. Tetapi setelah selesai jam besuk, aku dipanggil oleh perawat. Katanya dokter mau minta kronologis perihal penyakit suamiku. Aku pun masuk dan menjelaskan kepada dokter.

Setelah berbicara dengan dokter, seseorang meminta ku untuk tanda tangan surat pernyataan tindakan terhadap suamiku. Saat itu aku sempat memperhatikan, pasien yang ditengah yaitu putri dari si ibu tadi.

Kondisinyan sangat memperihatinkan. Sepertinya, dia sangat kesusahan untuk bernafas. Beberapa dokter mengelilinginya untuk memberikan suatu tindakan medis.

Siang itu setelah jam besuk, aku mencari tempat kost. Supaya bisa beristirahat dengan baik disana. Terlebih saat ini anak-anakku juga sudah datang dari Jakarta dan aku butuh tempat untuk mereka.

Akhirnya setelah menemukan tempat kost yang cocok, aku menitipkan mereka bersama ibu dan adik iparku di sana. Sementara aku bolak-balik ke RS untuk menunggu suamiku. Kami bergantian dengan abang dan kakak iparku.

Pagi-pagi aku berangkat dari tempat kos untuk menggantikan abang iparku yang semalaman menuggu. Karena, kata perawatnya harus ada salah satu perwakilan dari keluarga yang menunggu pasien di ruang tunggu. Kami dari pihak keluarga pun sepakat bergantian agar bisa istirahat.

Saat aku tiba di rumah sakit aku langsung masuk ke ruang tunggu dan duduk dipojok ruangan itu. Aku melihat satu keluarga sedang menangis sesenggukan. Mereka adalah keluarga pasien yang sempat ngobrol denganku, kemarin pagi. Aku tahu pasti mereka sedang kalut, karena kondisi keluarganya semakin memburuk.

Siangnya, aku melihat keluarga ini lebih kalut lagi karena dokter mengatakan bahwa kondisi anaknya semakin drop. Suami dan ketiga abangnya tidak berhenti menangis. Beberapa keluarga juga berdatangan untuk memberikan dukungan.

Tiba-tiba, dokter memanggil suaminya dan memberi tahu bahwa istrinya sudah tiada.

Keluarga itu semuanya menangis histeris. Aku hanya diam disudut ruangan itu. Aku ikut merasakan bagaimana kepedihan mereka yang kehilangan orang yang mereka kasihi. Terlebih saat ini dia memiliki bayi yang masih berusia 1 bulan.

Aku hanya diam, aku tidak bisa berkata apa-apa. Ingin rasanya aku mengucapkan bela sungkawa kepada ibu itu, tapi keluarganya sangat banyak sehingga aku tidak enak mendekatinya.

Sorenya. Aku duduk di saung sambil mencarger hpku, aku melihat ada ambulan masuk membawa pasien. Tidak lama kemudian keluarga pasien itu juga datang ke saung untuk meletakkan barang-barang mereka. Aku sempat mendengar pembicaraan mereka.

Bahwa yang sakit adalah seorang wanita. Dia sedang hamil 5 bulan, tadi siang dia pingsan karena sakit ginjalnya.

“Dia anakku satu-satunya”. Kata seorang ibu sambil menangis sesenggukan. Keluarga yang lain menghibur dia dan meyakinkan bahwa anaknya akan baik-baik saja karena sudah dimasukkan di ruang HCU.

Sore hari, pada jam besuk, aku naik ke lantai 2. Aku mendengar suara tangisan dari depan pintu ruang HCU.

Ketika aku masuk, seorang satpam menghalangiku. “Bu, maaf saat ini belum bisa besuk karena ada pasien yang meninggal dunia, harap sabar ya. Nanti kami akan memberikan perpanjangan waktu besuknya”.

Akupun kembali keruang tunggu. Beberapa menit kemudian aku melihat keluarga pasien yang meninggal itu keluar dari HCU. Ternyata yang meninggal adalah pasien yang baru datang tadi sore. Yang menurut cerita yang aku dengar, dia sedang hamil 5 bulan. Aku tidak tahu persis penyebab kematiannya.

 Aku kembali diam dipojok ruangan itu, aku mendengar tangisan pilu dari ibu pasien itu. “Boruku na burju boru sasadaku, mase lau ho manadikkon au. Inaaaang tahe, nasibki, boasa dang au na modding parlobe”. Walaupun aku tidak terlalu faham bahasa Batak Toba tapi aku tahu maksudnya.

Kira-kira begini artinya “Putriku yang baik, putriku satu-satunya, kenapa kamu pergi meninggalkan aku, Ya ampun kenapa begini nasibku, kenapa bukan aku saja yang duluan meninggalkan”.

Dalam diam aku mencoba merenung sejenak. Beberapa hari ini aku merasa bahwa nasibkulah yang paling malang. Aku masih muda, anak-anakku masih kecil, suamiku sedang terbaring sakit tidak sadarkan diri.

Dia sudah 5 tahun keluar masuk rumah sakit. Aku tidak tahu apakah dia masih bisa sembuh dan kami kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kehidupan kami ataukah dia akan berakhir disini. Saat ini kami bagaikan musaffir dikampung sendiri. Aku dan anakku tinggal dirumah kos.

“Ah, itu masih lebih baik. Paling tidak aku masih punya kesempatan untuk merawat dan memberikan pengobatan untuk suamiku. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan”,fikirku.

Kadang, kalau aku larut dalam masalahku, aku merasa nasibkulah yang paling malang. Padahal aku masih punya keluarga dan teman-teman yang selalu peduli dan mendukung kami.

Selama dirumah sakit ini, aku bertemu dengan banyak orang. Kami bertukar cerita satu dengan lainnya. Ternyata nasib mereka jauh lebih  buruk dan memprihatinkan dari pada yang aku alami. Ada diantara mereka yang sudah seminggu tidur di saung karena tidak mampu membayar kost.

Ada juga pasien, yang dikirim dengan ambulan dari Sibolga, setelah di cek di IGD lalu disuruh pulang dengan alasan dokter spesialis sedang cuti lalu dia disuruh datang lagi pada hari senin. Padahal mereka tidak punya cukup uang untuk ongkos dan biaya hidup.

“Oh, Papa Janice…. Kamu harus semangat”

“Aku disini menunggumu dan selalu berharap supaya kamu sembuh kembali dan kita kembali ke Jakarta, bersama anak-anak kita, Janice dan Jose”.

I Love You.

Medan, 28 Desember 2019.

1 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments