Indonesia membutuhkan guru yang berpikir, yaitu, guru yang mengerti dan memahami dan bisa memunculkan kultur belajar dengan kekuatan argumentasi canggih dalam proses pembelajaran untuk keberhasilan peserta didik. Dalam hal ini, pendidikan dilakukan secara transparan, ilmiah bukan asal mengajar, apalagi dengan ‘nyolong’ kedalam kelas tanpa membawa data ilmiah.
Mengajar tanpa data ilmiah seperti obrolan ‘tukang becak’ tanpa makna. Padahal, mendidik seharusnya merupakan argumentasi, sugesti, mengajak, serta mempengaruhi bukan asal mengajar tapi mesti disertai dengan data ilmiah atau hasil dari sebuah kajian ilmiah terhadap proses itu, karena siswa itu juga manusia yang punya karakteristik yang berbeda.
Banyak kalangan berpendapat bahwa tingkat berkembangnya suatu peradaban dan kemajuan sebuah proses pendidikan sangat ditentukan oleh pembudayaan para pendidik dan sekolah menerapkan pemikiran ilmiah dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam proses pembelajaran. Keruntuhan dan kegagalan sebuah proses pendidikan disebabkan menurunnya tingkat aktifitas berpikir ilmiah masyarakat pendidik, dan bisa dikatakan bahwa bila para guru dan sekolah sudah terbiasa berpikir ilmiah maka tingkat kegagalan pendidikan adalah hal yang anomali untuk ditemukan.
Ini mengindikasikan bahwa kesuksesan sebuah proses pembelajaran sangat ditentukan oleh paradigma para guru dalam mendidik. Apakah para guru sudah ‘berpikir’ dalam proses pembelajaran? Berpikir artinya setiap langkah guru dalam proses itu baik sebelum, dalam proses maupun sesudah proses pembelajaran selalu ‘ditemani’ dengan data atau informasi ilmiah.
Dalam hal ini, guru bukan ‘budak’ kurikulum. Guru seharusnya tidak menyesuaikan diri dengan kurikulum, tetapi kurikulum itu harus disesuaikan dengan kondisi sekolah. Guru mengajar bukan karena kepala sekolah, pengawas, kepala seksi bahkan kepala dinas atau kanwil, tetapi dia mengajar karena dia punya data yang valid, objektif dan reliabel bahwa peserta didiknya memerlukan ilmu dari sang guru.
Dalam memilih pendekatan, metode, strategi atau tehnik mengajar, guru tidak didikte oleh ‘orang Jakarta’, tetapi pemilihan ini ditelusuri berdasarkan data ilmiah yang ditemukan guru dalam penelitiannya.
Begitu juga, pemilihan buku teks juga berdasarkan evaluasi dan kajian ilmiah tentang kecocokan buku itu dengan kondisi riil sekolah bukan berdasarkan ‘besar fee’ yang didapat guru setelah menggunakan buku itu atau titipan dari pihak lain.
Untuk itu, sudah saatnya para guru untuk mengubah paradigma berpikir dalam proses pembelajaran dari seorang ‘follower’ (pengikut setia) ke seorang inovator, dari orang yang dipikirkan menjadi seorang pemikir, dari seorang yang selalu menerima apa saja dari atasan ke seorang ‘devil advocate’ (orang yang selalu memberi masukan yang konstruktif terhadap sebuah kebijakan)
Sudah menjadi tuntutan zaman bagi guru untuk berpikir ilmiah dalam setiap langkah dalam proses pembelajaran. Menurut Joe Alan berpikir ilmiah adalah suatu pola penyelesaian masalah secara rasional dan objektif, dengan menghilangkan unsur subjektifitas dan melihat perkara secara netral dengan merujuk pada pendapat para pakar, yang dipercaya telah melakukan penelitian, analisis dan melewati beberapa tahap kritik sehingga kandungan kebenarannya telah diuji dan dipercaya. Analisis dan argumen yang mentah, sekedar bersifat abstraksi sepihak yang diutarakan secara subjektif justru menghilangkan keotentikan cara berpikir ilmiah tersebut.
Berpikir ilmiah berawal dari setiap langkah guru diinisiasi dengan metode ilmiah. Dictionary of Behavioral Science memberikan definisi metode ilmiah: tekhnik dan prosedur pengamatan dan percobaan yang menyelidiki alam yang dipergunakan oleh ilmuwan untuk mengolah fakta-fakta, data, dan penafsirannya sesuai dengan asas-asas dan aturan-aturan tertentu. Sementara itu, Arturo Rosenblueth mengatakan metode ilmiah adalah suatu prosedur dan ukuran yang dipakai oleh para ilmuwan dalam penyusunan dan pengembangan cabang pengetahuan khusus mereka.
Selanjutnya, James B. Conant memberikan rumusan metode ilmiah menjadi delapan langkah: (a) kenali suatu situasi yang tak menentu ada; (b) nyatakan masalah itu dalam istilah spesifik; (c) rumuskan suatu hipotesis kerja; (d) rancang suatu metode penyelidikan yang terkendalikan dengan jalan pengamatan; (e) kumpulkan dan catat bahan pembuktian atau data ‘kasar’; (f) alihkan data kasar ini menjadi suatu pernyataan yang mempunyai makna dan kepentingan; (g) tibalah pada suatu penegasan yang dapat dipertanggungjawabkan; (h) satu padukan penegasan yang dapat dipertanggungjawabkan itu, kalau terbukti merupakan pengetahuan baru dalam ilmu, dengan kumpulan pengetahuan yang telah mapan.
Sebenarnya setiap kegiatan keguruan bertujuan membentuk para guru agar menguasai teori ilmiah sebagai alat untuk memecahkan masalah dengan mengoperasionalkan teori yang telah dipelajarinya selama ini. Bukan bermaksud untuk menemukan teori baru, tetapi menggunakan teori yang sudah ada untuk memecahkan permasalahan. Langkah pertama dalam epistemologi ini bukanlah langsung melakukan pengamatan sebagai bagian dari konteks penemuan, melainkan mengacu kepada teori-teori yang sudah dikuasai untuk menyusun hipotesis yang didukung penalaran. Kerangka berpikir yang mendukung hipotesis yang diajukan tersebut sekaligus berfungsi sebagai konteks justifikasi.
Epistemologi pemecahan masalah ini cocok untuk membentuk manusia yang berpikir konseptual (dengan mengacu pada teori ilmiah), nalar (dengan deduksi dari berbagai teori ilmiah dalam menyusun kerangka berpikir atau konteks justifikasi), dan antisipatif (dengan mengajukan hipotesis sebagai prediksi pemecahan masalah).
Oleh karena itu, manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang berpikir. Berpikir adalah menggunakan akal budi dalam berbuat dan memutuskan sesuatu yang akan dilakukan. Ini sesuai dengan proses pembentukan tubuh manusia yang menempatkan kepala pada posisi paling atas dibanding hati. Kepala sebagai tempatnya otak yang diyakini sebagai pencetus akal pikiran manusia, sedangkan hati sebagai penggerak perasaan kemanusiaan. Tuhan membekali kita hati, sehingga proses berpikir kita tidak sama dengan proses berpikir mesin atau komputer.
Dunia pendidikan adalah dunianya masyarakat ilmiah dan berpikir rasional. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia pendidikan harus ilmiah. Pendidikan jelas harus terbebas dari faktor faktor yang mendahulukan perasaan. Contoh kecil adalah saat penentuan kenaikan kelas atau kelulusan harus dilandasi cara-cara ilmiah, yakni dengan melihat perolehan nilai siswa secara komprehensif. Penilaian harus secara paripurna, bukan penilaian insidentil saat ujian saja yang waktunya 2 jam setiap pelajaran yang diujikan.
Yang terjadi selama ini adalah: kemalasan berpikir. Perilaku statis, kecenderungan memutlakkan sebuah pendekatan, menerima “bulat-bulat” apa yang dikatakan atasan, ketidakmampuan membuka diri pada kemungkinan kebenaran lain, serta sikap fragmentaris dan meremehkan atau bahkan mengabaikan keberagaman perspektif dalam mencari dan menemukan kebenaran adalah indikasi dari kemalasan berpikir. Pemaksaan kehendak dan cara berpikir yang bisa berbuntut pada ‘kekerasan ilmiah’ adalah akibat dari ketidakmampuan subjek untuk bersikap kritis terhadap keyakinannya sendiri.
Karena itu perlu latihan berpikir, dengan sasaran utama membantu subjek menyadari kemungkinan adanya keyakinan-keyakinan semu (idols) dalam pikirannya. Dengan kata lain, proses pendidikan seharusnya membantu subjek didik melepaskan diri dari inert ideas -gagasan-gagasan yang diterima begitu saja tanpa dilihat manfaatnya, tanpa diuji secara kritis, atau yang hanya diramu dalam kemasan menarik namun tanpa unsur baru yang memperkaya cara berpikir dan karenanya mencerahkan (Whitehead, 1967).
Kemalasan berpikir merupakan salah satu persoalan pokok dalam pendidikan. Itu berarti, pendidikan seharusnya diarahkan dan bermuara pada pengembangan kemampuan subjek didik untuk menerapkan pengetahuannya secara bijak, tepat dan dengan cara yang ilmiah. Whitehead mengatakan bahwa “Education is the acquisition of the art of the utilization of knowledge“.
Untuk itu jadikanlah mendidik itu sebuah hobby, sebuah seni yang berasal dari pemikiran sendiri, berdasarkan apa kata petinggi negeri, dengan menggunakan metode tingkat tinggi yang bisa membantu mengembangkan potensi diri untuk peserta didik sendiri, sehingga anak didik bisa berbakti dan berguna untuk negeri.
Penulis adalah Pendidik di MAN 1 Batanghari