Hari ini adalah kedatanganku untuk kedua kalinya di kantor BPJS ketenagakerjaan. Aku mendatangi kantor ini untuk mengurus dana santunan kematian suami, pensiunan, dan beasiswa sebagai manfaat tambahan yang diterima oleh anak dari peserta BPJS ketenagakerjaan yang meninggal dunia.
Sebelumnya, aku datang pagi-pagi sekali sehingga aku dapat antrian nomor satu. Hari itu aku hanya sebentar di kantor itu karena masih ada berkas yang belum lengkap. Setelah selesai, aku pun segera kembali ke sekolah. Aku tidak sempat berbincang dengan siapa pun selain dengan petugas.
Tapi sebelum meninggalkan ruangan itu, aku sempat melihat beberapa wanita muda yang duduk di ruang tunggu. Ada yang mengendong anak, ada pula datang sendiri. Mereka sempat tersenyum padaku dan aku pun membalas dengan senyuman sambil berjalan keluar.
Di hari kedua, aku datang agak siang sehingga mendapat antrian yang ke 5. Aku sudah menunggu sekitar 10 menit di ruangan itu tapi petugas masih melayani customer yang ke 3.
Dari tempat dudukku, aku sempat mendengarkan pembicaraan petugas dengan seorang customer wanita yang didampingi oleh seorang lelaki berseragam kantor. Mereka sedang membahas mengenai beasiswa anak yang belum bersekolah. Hampir sama dengan kondisiku. Beberapa menit kemudian, lelaki tadi duduk di sebelahku.
“Pak maaf, kalau boleh tahu, apakah anak ibu itu akan mendapatkan beasiswa?” tanyaku.
“Oh iya dapat. Dua anaknya akan mendapatkan beasiswa,” jawabnya.
“Begini Pak, kemarin saya sempat dijelaskan sama mba itu bahwa anak saya tidak akan dapat beasiswa karena pada saat suami saya meninggal umur anak saya belum genap empat tahun,” kataku sambil menunjuk seorang petugas wanita.
“Dapat kok, nanti coba Ibu tanyakan lagi. Oya, maaf suami Ibu meninggal kenapa?”
“Iya Pak. Karena sakit lupus.”
“Inalilahi, saya turut berduka.”
“Terima kasih Pak.”
“Nah, Ibu itu juga sama suaminya meninggal. Dia istri dari karyawan di kantor saya. Suaminya meninggalnya awal bulan Januari kemarin. Padahal masih muda, umur 40 tahun. Kena serangan jantung pada saat tidur. Saya bagian HRD dari kantor almarhum. Saya di sini sedang membantu beliau untuk mendapatkan haknya. Oya, suami ibu kapan meninggal?”
“Suami saya meninggal akhir Desember kemarin, masih muda juga Pak, usia 37 tahun.”
Kami pun berbincang panjang lebar sambil menunggu ibu tadi menyelesaikan proses pengecekan administrasinya.
Aku sempat memperhatikannya, dia juga masih muda. Setelah selesai dia pun keluar. Si bapak tadi mengikutinya sambil berpamitan kepadaku. Aku tersenyum sambil mengangguk kepalaku.
Kemudian petugas memanggil nomor urut yang ke empat. Aku mulai mempersiapkan berkas yang harus aku serahkan.
“Mba, maaf tadi saya sempat menguping pembicaraan Mba dengan bapak tadi. Apakah benar anak-anak yang belum sekolah akan mendapatkan beasiswa?” tanya seorang wanita muda berkerudung yang sedari tadi duduk di belakangku.
“Aku dengar tadi dapat sih Mba, tapi kemarin…,” kataku mengulangi lagi ceritaku kepada bapak tadi bahwa anak yang belum usia empat tidak bisa mendapatkan beasiswa.
“Kemarin saya juga sudah datang, petugasnya bilang kalau anak yang belum usia empat tahun pada saat peserta meninggal tidak akan mendapatkan beasiswa,” kata mba yang pakai kerudung itu.
“Iya Mba, sama, kemarin aku sampat berdebat. Aku mempertanyakan mengenai peraturannya. Dia suruh aku baca di PP No 82 tahun 2019.”
Lalu aku menunjuk setumpuk kertas mengenai peraturan BPJS ketenagakerjaan.
“Di sini ada tertulis bahwa anak peserta BPJS ketenagakerjaan akan mendapatkan beasiswa pada usia 4 tahun, tapi jika anak belum mencapai usia sekolah dia akan mendapatkan pada saat usia sekolah. Yang pasti mereka akan mendapatkan beasiswa tapi tidak sekarang. Itu yang aku tangkap dari PP ini,” kataku sambil menunjuk poin-poin di peraturan BPJS ketenagakerjaan yang sudah aku print.
“Oya Mba, suaminya Mba meninggal juga?” tanyaku sambil merapikan berkasku.
“Iya Mba. Akhir November kemarin. Kasusnya sama dengan suami BCL. Kami masih nonton TV, tapi malam-malam dia sesak. Lalu aku panggil saudara yang tinggal di sebelah rumah. Pas aku balik dia sudah tidak bernapas,” katanya sambil menyeka air matanya.
“Usianya berapa Mba?”
“43 tahun, Mba.”
Saat kami ngobrol tiba-tiba, nomor antrianku pun dipanggil. Lalu aku membawa semua berkas dan duduk di depan meja petugas. Aku menunjukkan semuanya berkas yang diminta, lalu aku kembali bertanya perihal beasiswa yang kemarin sempat membuatku gundah.
Kali ini aku bertemu petugas yang berbeda. Saat aku melontarkan pertanyaan itu, Mba yang sebelahnya mendatangi aku.
“Bu, sebelumnya saya minta maaf. Kemarin saya sempat mengatakan kalau anak Ibu tidak mendapatkan beasiswa. Saya sudah bertanya kepada atasan saya. Ternyata dapat. Maaf ya Bu…,” katanya dengan sopan.
“Oh gitu ya Mba, syukurlah. Kemarin saya tidak puas dengan penjelasan Mba, sehingga sepulang dari sini saya mencari tahu mengenai peraturan-peraturan yang berlaku di BPJS ketenagakerjaan,” kataku sambil menunjuk setumpuk kertas yang sudah aku tandai dengan stabilo.
“Iya, Bu, maaf,” katanya lagi.
“ Saya juga menghubungi HRD suami saya. Ok ya Mba, jadi saya tidak perlu menunjukkan bukti-bukti dari PP no 82 tahun 2019,” kataku sambil tersenyum. Mba itu pun tersenyum malu.
Setelah dicek keseluruhan berkas ternyata masih ada yang kurang, yaitu surat paklaring suami sejak tahun 2004 hingga tahun 2008. Saya disuruh menghubungi pihak HRD.
“Jika pihak HRD suami Ibu bisa kirim via email, Ibu tidak perlu lagi datang besok. Sambil menunggu informasi, Ibu bisa tunggu di sana supaya saya melayani customer lain. Nanti kalau sudah, Ibu beritahu saya,” kata petugas yang bernama Minati itu.
Aku pun kembali duduk di bangku yang disediakan. Sambil menunggu informasi dari kantor suamiku, aku memainkan hpku.
“Bu maaf, tadi berkas apa saja yang perlu disiapkan?” tanya seorang wanita muda yang menggendong seorang bayi perempuan.
“Lumayan banyak Mba, apakah sebelumnya tidak diinformasikan oleh pihak kantor suaminya?” kataku balik bertanya.
“Ada sih Bu, tapi kayaknya belum bisa saya lengkapi. Saya ke sini dulu untuk mencari info yang lebih jelas. Karena kantor suami saya ada di Cilegon,” katanya sambil menenangkan bayinya.
“Suami Mba meninggal kenapa?” pertanyaan itu langsung kulemparkan karena aku yakin dia seorang janda muda yang ditinggal meninggal.
“Asam lambung Bu, sempat dirawat di rumah sakit. Waktu itu keadaannya sudah mulai membaik tapi setelah pulang ke rumah dia mual lalu muntah. Enggak lama kemudian dia sesak dan meninggal,” katanya sambil terisak.
“Maaf ya Mba, aku bertanya begitu, Mba jadi nangis. Nasib kita hampir sama kok. Usia suami Mba berapa saat meninggal?” tanyaku lagi.
“Masihh muda Mba, usia 37 tahun. Anak saya ada dua. Yang gede udah kelas 2 SD, ini masih setahun lima bulan,” katanya sambil menunjuk anak perempuan yang digendongnya.
Lalu ada juga seorang wanita muda yang datang dengan seorang wanita tua. Awalnya aku berpikir mereka adalah ibu dan anak. Ternyata mereka ada menantu dan mertua. Dari ceritanya, yang meninggal adalah anak dari ibu tua itu dan suami dari wanita muda itu. Suaminya meninggal pada usia 29 tahun karena gagal ginjal. Mereka mempunyai anak satu anak berumur 7 tahun. Almarhum bekerja sebagai sekuriti di salah satu perusahaan di Jakarta Timur.
Aku menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa ya Mba, sekarang bayak orang yang meninggal muda? Suamiku juga meninggal pada usia 37 tahun tapi dia sudah sakit hampir 5 tahun,” kataku sambil menceritakan perihal sakit penyakit suamiku dan anak-anakku yang juga masih kecil-kecil.
Kami semua ternyata senasib. Lalu kami pun menyatu dalam obrolan sambil menunggu antrian. Masing-masing dari kami pun berbagi cerita mengenai rencana kehidupan masing-masing sepeninggal suami kami.
Ini bukanlah sebuah cerita semata, tapi menjadi fenomena janda muda di kantor BPJS ketenagakerjaan benar adanya.
Kenapa banyak sekali orang muda yang meninggal?
Beberapa minggu lalu juga suami dari saudaraku meninggal dunia pada usia 36 tahun, padahal sebelumnya dia sehat-sehat saja malamnya dia mual dan kemudian meninggal.
Baru-baru ini dunia hiburan juga dikejutkan oleh berita meninggalnya suami artis BCL yang juga masih muda dan diketahui selama ini sehat. Mungkin masih banyak lagi orang muda lainnya yang meninggal tapi beritanya tidak seheboh meninggalnya Ashraf Sinclair yang seorang artis.
Mungkinkah ini takdir semata? Atau adakah penyebab lainnya yang belum terungkap? Misalnya makanan atau minuman yang kekinian yang sering dikonsumsi orang-orang muda jaman now?
Perlu juga sebagai orang muda, kita mawas diri. Jangan terlalu larut dengan sebuah kenikmatan makan dan minum, atau entah apalah.
Setelah berbagi cerita dengan beberapa wanita yang senasib denganku di tempat itu, hal itu membuat aku lebih bersyukur karena aku masih mempunyai pekerjaan yang tetap. Empat wanita muda yang sempat ngobrol dengan aku, semuanya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Selama ini mereka mengandalkan suami untuk mencari nafkah.
Saat ini mereka harus berjuang demi anak-anak yang masih kecil-kecil. Ada yang mau pulang kampung, ada yang mau membuka usaha, ada yang belum tahu bagaimana hidup kedepannya.
BPJS ketenagakerjaan memang hadir untuk meringankan beban kami para istri yang ditinggal meninggal. Akan tetapi, lebih dari pada itu, kami membutuhkan kehadiran suami untuk mendampingi kami untuk menjalani kehidupan ini karena uang tidak dapat menggantikan itu.
Hal yang paling menyedihkan adalah berpisah dengan cara kematian, karena seberapa besar pun rasa kerinduan kami terhadapnya, dia takkan pernah kembali.