Rani Anggraini, itulah nama pemberian orang tuaku, Rani yang berarti Ratu, Anggraini berarti Pemaisuri. Jadi Ratu Permaisuri …?
Nama adalah doa. doa orang tua terhadapku, berharap kelak aku bisa menjadi Ratu, memiliki sifat dan perilaku seperti Permaisuri yang setia, murah hati, sabar, sopan santun dan berbakti kepada suami serta menjadi ibu yang baik. Aku anak ke lima dari lima bersaudara. Menjadi anak bungsu adalah takdirku.
Aku memiliki seorang kakak perempuan dan tiga kakak laki-laki. Sekaligus menjadi bodyguard bagiku. Jika aku tumbuh menjadi anak perempuan yang tomboy itu bukan salahku. Dari kecil aku terbiasa bermain dengan tiga orang kakak laki-lakiku.
Kakak perempuanku. Perempuan banget. Duplikatnya ibu. Suka memasak, menjahit dan menyulam. Membantu ibu dan kak Ida memasak. Penyiksaan bagiku. Apalagi mengupas bawang dan memarut kelapa. Pekerjaan yang paling aku tidak sukai. Mengupas bawang membuat aku menangis.
Hiks…
Meskipun aku sedang tak sedih. Memarut kelapa menjadikan jari jemariku terluka, berdarah.
Perih sekali…
Ahaiii…
Ada juga lho pekerjaan yang aku suka. Tidak banyak. Cukup sebagai simbol eksistensiku sebagai perempuan.
Apa ya..?
Kok aku lupa ya. Apa karena aku sangat jarang melakukannya.
Oiya..
Aku suka beberes rumah. Walau itu sesekali dilakukan. Tapi aku perfect. Harus bersih dan rapi. Jika ada yang membuat berantakan pasti aku suruh merapikannya kembagi. Dan itu harus. Tidak ada yang boleh melanggar.
Maksudnya supaya aku tidak capek merapikan kembali. Biar aku bisa main ke luar rumah bersama teman-teman laki-kakiku.
Mereka setia menunggu, sampai aku menyelesaikan pekerjaan rumahku. Bahkan mereka mau saja jika aku minta membantuku.
Aseeekkk…
Alasan dengan ibu belajar kelompok. Empat sekawan. Tiga orang laki-laki dan aku perempuan sendiri. Akulah Ratunya. Mereka memenuhi semua yang aku pinta. Kita biasa memetik buah-buahan. Ada mangga, rambutan, jeruk, jambu dan durian.
Bukan memetik di kebun sendiri. Di kebun tetangga. Jika ketahuan pemiliknya kita dihalau dengan ranting kayu dan diteriaki.
Maleeeng….!!
Untuk buah durian ada cerita yang menarik nih.
Pohon durian di kampung kami itu milik adat. Artinya pohon durian tersebut tidak bertuan.
Pemilik tanah tidak berhak atas pohon itu. Tidak boleh dipanen. Buah durian harus jatuh sendiri dari pohon. Siapa yang menemukan dialah pemiliknya.
Alhasil jika sedang musim, di bawah pohon durian tidak pernah sepi. Siang dan malam. Ada saja yang orang yang menunggu buah durian jatuh.
Tak terkecuali kami empat sekawan. Pernah malam-malam sepulang mengaji di surau. Kami bermaksud menunggu buah durian jatuh di bawah pohonnya.
Gelap dan banyak nyamuk tak menyurutkan niat kami untuk menikmati buah durian yang lezat. Terbayang buah dagingnya yang lembut, empuk, manis, manis yang ada pahit-pahitnya gitu. Dan lumer di mulut.
Gurih bro…
Kagak nahan…!
Hampir satu jam menunggu belum juga ada tanda-tanda buah durian jatuh. Kami masih menunggu, sambil bercanda tawa untuk mengusir jenuh. Tidak berapa lama terasa ada angin berhembus cukup kencang yang mampu mengoyangkan cabang-cabang pohon durian.
Disertai aroma bunga sedap malam yang wanginya mirip bunga melati.
Deg..
Serrrrr…
Bulu kuduk berdiri..
Sembari mengambil ancang-ancang langkah seribu. Penglihatan, pendengaran dan rasa dipertajam.
Naluri anak alam..!
Buah durian belum ada yang jatuh. Sekali lagi. Angin kembali datang, berhembus lebih kencang dari sebelumnya.
Wusssss..!
Disertai aroma daging busuk. Bangkai !
Huuuaaaaa…
Dia semakin mendekat…!!
Anak alam semakin waspada. Sambil tetap menunggu.
Buk
Buk
Buk
Beberapa buat durian matang jatuh. Tidak jauh dari tempat kami menunggu. Secepat kilat kami masing-masing menyambar buah yang sempat kami ambil.
Sret !
Sret !
Sret !
Kabuuuuuurrrr !!
Bersamaan dengan buah durian jatuh yang terakhir. Kami melihat kilatan cahaya terang seperti sepasang senter. Semakin mendekat. Membuat nyali kami si anak alam. Semakin ciut. Mengkerut. Seperti kerupuk terkena air.
Kami harus mengalah. Dan sesegera mungkin meyelamatkan diri. Kalau tak ingin jadi mangsa. Beberapa buah durian besar dan matang sudah cukup. Menutup petualangan kami malam itu.
Sampai di rumah. Sambil menikmati daging buah durian yang lezat kami saling bercerita betapa takut dan cemasnya kami tadi waktu si harimau sumatera semakin mendekat.
BIOGRAFI PENULIS
Titin Suarni, Lahir di Kerinci-Jambi. Saat ini menetap di Kota Metro-Lampung. Alumni SD Negeri No. 78 Pematang Lingkung, SMP Negeri Tamiai, SMA Negeri 2 Danau Kerinci.
Menamatkan S1 di Universitas Negeri Padang Tahun 2000, di Fakultas Bahasa, Sastra dan Seni, jurusan SENDRATASIK (Seni Drama, Tari dan Musik) dengan program minor Seni Tari.
Hobi membaca, deklamasi puisi, menari, dan bermain peran (action) sudah dilakoni sejak sekolah SD hingga kuliah di Perguruan Tinggi. Hobby tersebut terus berlanjut sampai menjadi guru di SMA Negeri 4 Metro dari Tahun 2005 sampai sekarang. Bukan lagi menjadi pelaku yang tampil sebagai penari atau aktor tapi hanya sebagai pelatih dan pembina di bidang seni. Menjadi seorang guru yang memiliki tiga anak laki-laki memiliki kesan tersendiri.
Hobby menulis menjadi aktifitas baru, selama menjalani kebijakan pemerintah yang mengharuskan belajar, bekerja dan ibadah di rumah saja. Beberapa buku antologi sedang proses cetak, in sya allah buku solo segera menyusul naik cetak ke penerbit.
Penulis berdomisili di jalan Cemara no.30 Kelurahan Margorejo Kecematan Metro Selatan Kota Metro Lampung Mencoba aktif di medsos FB, Titin Suarni dengan alamat e-mail titinsuarni@gmail.com atau suarnititin2@gmail.com serta IG. Titinsuarni dengan no. WA. dan Telegram: 0852 6981 0403