Desember Kelabu di Langit Siantar

Desember Kelabu di Langit Siantar

Cerpen
Oleh: Nita Sembiring Kembaren

Malam itu langkahku lunglai menuju ruang IGD salah satu rumah sakit di kota Siantar. Aku berjalan mengiringi petugas IGD yang mendorong tubuh suamiku ke pojok ruangan itu.

“Siapa nama pasiennya, Kak?” kata seorang perawat laki-laki.

 “Jindo Purba,” jawabku sambil berjalan menuju meja perawat yang sedang bertugas. Dia meminta ku mengisi data di lembaran kertas yang disediakan.

 “Ibu siapanya? Sakit apa dia? “Saya istrinya, dia didiagnosa mengidap lupus, saat ini kondisinya sedang drop.”

“Dok, ada pasien baru. Dia mengidap lupus,” kata suster itu pada dokter yang baru saja selesai memeriksa pasien lain.

Dokter yang aku lupa namanya itu berjalan menuju suamiku dan melihat keadaannya, aku berjalan mengikutinya.

“Ah, ini kok kayak kena HIV?” kata dokter itu membuat aku mengerut keningku. “Maksudnya, Dok?” tanyaku sambil bingung. “Ciri-cirinya kayak  HIV. Kamu pernah cek HIV dia?” tanya dokter itu lagi.

“Dok, sudah lima tahun dia bolak-balik keluar rumah sakit karena sakit autoimun lupus, selama ini dia rutin cek darah, dokter di Jakarta tidak pernah mengatakan bahwa dia kena HIV. Apakah dokter di Jakarta tidak tahu kemungkinan itu?” jawabku dengan sedikit emosi.

“Kamu punya medical resumenya? Kapan dia terakhir dirawat dan cek kesehatan?

“Punya Dokter. Terakhir awal November, Ini resume medisnya!” kataku sambil menyerahkan sebuah kertas.

Aku melihat dokter itu geleng-geleng kepala sambil membaca resumenya. Aku hanya diam sambil tetap mengamati wajah sang dokter. “Kuatkan hatimu ya sebagai istri, kemungkinan terburuk apa pun kamu harus kuat.

Penyakit suamimu ini sudah komplikasi. Sudah tepat dia berobat di RS Cipto di Jakarta. Kenapa harus dibawa ke kampung. Hanya mengantar nyawa dia ke Medan ini.”

Aku hanya diam. Aku tidak bisa berkata apa-apa.

“Memang tidak seharusnya aku bicara seperti ini, tapi yang aku bicarakan ini adalah fakta. Kamu bisa melihat perbedaan pelayanan di Jakarta dan di Medan.

Apalagi di rumah sakit ini, bisa bangkrut rumah sakit ini bila harus merawat pasien seperti kondisi ini. Kalau kamu mau, kami akan merujuk dia ke Medan. Di sana fasilitas rumah sakit lebih baik,” kata dokter itu melanjutkan.

 “Dokter, saya mau saja dirujuk ke Medan demi kesembuhan suami saya. Saya minta tolong, lakukan dulu tindakan untuk menolongnya. Setelah itu saya bersedia dirujuk dan saya akan segera membawanya ke Jakarta jika kondisinya membaik.”

“Baiklah, kita akan bicara lagi nanti,” kata dokter itu sambil berdiri dan berjalan menuju pasien lain yang baru datang.

Aku menghampiri suamiku dan seorang perawat laki-laki datang membawa selang oxigen dan peralatan infus. Aku sedikit menjauh karena tidak berani melihat suntikan.

Dari pojok ruangan itu ku pandangi suamiku yang sudah tidak sadarkan diri. Aku menangis. Kata-kata dokter itu sedikit menyakitkan di hatiku tapi aku tahu benar yang diucapkan adalah kenyataan.

Aku duduk sambil membalas pesan wa dari kerabat. Ingatanku kembali pada  perdebatanku dengan ibu mertuaku sebulan lalu. Saat itu keluarga ingin membawa suami untuk menjalani pengobatan di kampung.

Dengan segala alasan dan penjelasan ku coba untuk menghalanginya. Sampai dua hari aku merasa lelah dengan pembicaraan yang itu-itu saja. Sambil emosi aku jawab, “Kalau mau pulang, ya sudah pulang.

Mungkin selama ini aku yang salah terlalu anti dengan obat-obatan kampung.”  Saat itu juga langsung ku ambil tiket. Aku lelah karena sudah ku coba menjelaskan ‘runut perihal penyakit suami tapi mereka menganggap aku yang salah dalam hal ini karena tidak mau mencoba alternatif lain.

 “Mama, jika kamu tidak ijinkan aku tidak mau pulang. Aku lebih memilih di sini bersama kamu dan anak-anak,” kata suami sebelum tidur. “Engga apa-apa, Pa. Aku cuma mau kamu bisa sembuh kembali. Kamu harus semangat. Aku engga apa-apa. Apapun itu demi kesembuhan Papa akan ku lakukan, “ jawabku sambil menghapus air mataku.

Sehari sebelum berangkat, aku melihat ada bintik merah keluar dari badan suami. Aku bilang ke mertua untuk membatalkan saja kepulangan ke kampung. Lebih baik kita cek dulu bintik merah itu ke rumah sakit tapi lagi-lagi ujung-ujungnya kami berdebat.

Mertua menganggap aku terus mengulur waktu untuk pulang. Sehingga menghabat pengobatan suami dikampung. Aku menghela nafas dan berusaha menyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja. Ku rapikan keperluan dan pakaian suami.

Pagi-pagi ku antar dia ke Bandara Halim Perdanakusuma. Saat proses check in aku perhatikan wajahnya yang pucat. Dengan sekuat tenaga dia berdiri menunggu aku yang sedang antri. Jaringan internet yang lagi eror membuat proses check in semakin alot.

Aku semakin tidak tenang karena takut dia akan pingsan . Puji Tuhan akhirnya check in pun selesai. Saya minta supaya diberikan kursi roda, dan tidak lama petugas pun datang menjemput untuk masuk ke pesawat. Sebelum di dorong petugas, ku cium dan peluk dia.

Dia menangis, “Mama, doakan aku supaya aku bisa kembali ke Jakarta dengan selamat ya. Aku mau kita berkumpul kembali.” Aku hanya mengangguk kepala. Aku menahan tangisku. Ku cium pipinya sekali lagi dan ku lambaikan tanganku sambil berjalan keluar ruang check in.

Setelah keluar ruangan itu aku berjalan menuju parkiran. Air mataku berderai. Aku berteriak dan menangis meraung-raung. Saat itu masih pukul 5.20 wib. Beberapa orang yang sedang parkir memperhatikan aku. Aku berjalan menuju jalan raya. Aku belum bisa menghentikan air mataku.

Di telingaku masih terngiang kata-katanya, doakan aku supaya kembali ke Jakarta dalam keadaan sehat. Aku membayangkan, bagaimana kalau hal buruk terjadi padanya di kampung. Aku manakut-nakuti diriku sendiri.

Aku berjalan seperti orang bingung, beberapa tukang ojek menghampiriku dan menawarkan tumpangan. Aku tidak menjawab mereka. Aku duduk di depan Gereja Oikumene di dekat Halim. Aku belum mau beranjak dari tempat itu. Setelah puas menangis aku mengambil hpku dan mengorder ojek on-line.

Aku langsung berangkat ke sekolah. Mataku yang masih merah dan pipiku yang sembab membuat teman-teman bertanya. Ada apa? Aku coba menjelaskan mengenai kepulangan suaminya ke kampung. Mereka semua ikut perihatin dengan kondisinya.

Hari ini, berlalu dengan berat bagiku. Aku berusaha tegar dan selalu berusaha menyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja. Apalah beberapa hari itu masih bisa berkomunikasi dengan suami melalui pesan wa dan video call. Aku lihat wajah suami lebih segar.

Kembali aku mengatakan kepada diriku, bahwa selama ini aku yang salah. Keputusan membawa suami ke kampung adalah hal yang tepat.

Setiap hari aku bertanya mengenai kondisinya, tapi perasaan aku lain dengan Minggu sebelumnya. Kalau pada saat itu dia masih balas wa dan mau video call, minggu kedua berbeda. Dia tidak balas wa dan tidak angkat telepon.

Hatiku mulai tidak enak tapi jika aku bertelepon dengan keluarga dan mertua. Mereka mengatakan kalau kondisinya iaik, tapi dia sedang tidur. Aku telpon pagi, jawabnya dia sedang tidur. Siang begitu dan malam pun begitu. Hatiku semakin galau.

Pada saat itu Janice, putriku mau merayakan Natal sekolah Minggu. Aku mengirim beberapa photo Janice saat prosesi dan saat liturgi. Suami juga tidak direspon padahal dia sangat antusias melihat kegiatan anak-anak apalagi Janice yang sangat dekat dengannya.

Walaupun belum bisa berkomunikasi langsung dengan suami, aku berusaha tegar. Senin pagi aku tetap berangkat ke sekolah bersama dengan Janice. Pada saat itu Janice meminta video call dengan papanya.

Aku jawab “Papa lagi tidur, nanti saja.” Siang itu Janice tertidur di dekat meja kerjaku. Aku pikir dia kecapekan. Ku pegang kepalanya, ternyata dia hangat.

Sesampainya di rumah aku langsung memberikan obat penurun panas. Malam-malam panasnya mulai turun sehingga paginya aku tetap berangkat ke sekolah. Siang itu aku terus tanyakan kepada orang yang ada di rumah, ternyata panasnya kembali tinggi sehingga aku segera pulang.

Aku takut dia kejang karena setahun lalu dia pernah kejang. Aku langsung membawanya ke dokter tapi dokter yang biasa langganan kami berobat tidak ada di tempat menurut petugas ada kerabatnya yang sedang meninggal dunia.

Aku minta ke petugas apotik untuk memberikan kapsul turun panas yang dimasukkan melalui dubur. Selanjutnya aku mencari dokter lain untuk memeriksa kesehatan Janice. Saat itu sudah jam 8 malam. Kami tidak bisa kembali ke rumah karena masih hujan gerimis. Aku merasa sangat lapar tapi Janice tidak mau dilepas dari gendongan.

Setelah minum obat, kondisi Janice membaik. Dia tidur nyenyak. Aku pun makan dan mandi. Jose juga sudah tidur. Ku pandangi kedua anakku, air matanya menetes. Aku tahu mereka merindukan papanya. Tapi saat ini kondisinya tidak memungkinkan untukmu bertemu.

Besoknya aku kembali bekerja dan membawa Janice karena dia mau Natal di sekolah. Itu adalah Natal pertamanya sejak ia masuk sekolah kelompok bermain.

Siangnya dapat telepon dari rumah. Kata adikku, “Kak, Jose juga demam tinggi.” Aku berusaha tenang. “Tolong kasih paracetamol Janice yang ada di lemari dapur, cek terus panasnya ya, jika panas belum turun juga, tolong masukkan obat panas yang lewat dubur, obatnya ada di dalam kulkas bagian pintu atas,” jawabku.

Sesampainya di rumah, Jose masih panas dan rewel. Aku langsung membawanya ke dokter yang sama dengan Janice. “Wah, gantian kakak dan adeknya ya, ibu juga harus jaga kesehatan karena aku lihat ibu juga pucat,” pesan dokter itu.

Malam itu Jose menangis sepanjang malam, aku merasa sangat lelah. Aku minta kepada bou Janice untuk mengambil satu baju papanya supaya Jose bisa tidur nyenyak. Mungkin dia rindu pikirku.

Betul saja Jose pun tidur nyenyak. Aku bisa istirahat. Saat itu sudah jam 2 pagi. Mataku belum bisa terpejam. Pikiranku masih campur aduk.

Pagi-pagi aku berangkat ke sekolah. Ada pekerjaan yang harus ku lakukan yaitu jadi juri lomba di salah satu TK PENABUR. Sepanjang acara kepalaku pusing. Badanku meriang.

Waktu rasanya berjalan lamban. Setelah jam 12 acara pun selesai. Aku kembali ke sekolah. Di sekolah aku tiduran di ruangan kebetulan siswa sudah pulang.

Ibu Keling, petugas kantin datang memberikan laporan kantin karena kebetulan aku adalah koordinatornya. “Tarok saja di situ Bu, nanti aku cek,” kataku tidak bersemangat. “Miss, kamu sakit?” tanyanya sambi memegang dahiku. “Iya Bu,” jawabku. 

Setelah itu ibu Keling pergi dan kembali dengan segelas teh hangat. “Minum dulu Miss biar enak badan,” kata Bu Keling sambil mengambil minyak kayu putih dan mengolesinya di badanku. Tiba-tiba, Pak Agung kepala sekolah ku masuk. “Bu Nita sakit? Ibu pulang saja ke rumah biar bisa istirahat.

Engga usah pikirkan pekerjaan. Ibu harus semangat. Biar aku order grab ya.” Kata-katanya membuat air mataku mengalir. Aku merasa terharu memiliki pimpinan yang baik.

Aku pun pulang ke rumah. Sesampainya di rumah aku mau istirahat tapi kedua anakku menangis dan minta gendong. Aku ga tahu harus berbuat apa. Aku merasa sangat pusing, mual dan semua badan terasa sakit.

Aku pergi ke kamar, mereka juga datang dan minta digendong. “ Jaaan, Mama lagi sakit, Nak,” kataku dengan suara parau. Namanya anak-anak mereka tetap tidak mau mengerti. Mau pergi ke dokter tapi saat itu hujan deras.

Di rumah hanya ada aku, mamakku, bou Janice, Janice dan Jose. Jika aku pergi diantar mamak, bou Janice kualahan menjaga Janice dan Jose yang sedang sakit dna cengeng. Aku merasa kalut.

Aku masuk ke kamar dan menangis. Aku bingung harus bagaimana. Anak-anak terus menangis dan aku tidak mampu berbuat apa-apa. Aku menghempaskan badan Janice dan Jose ke tempat tidur, “Diam…, kalian diam, Mama rasanya sudah mau mati.

Kalian menangis terus. Mama harus bagaimana. Bunuh saja Mama ini Jan, Mama sudah bosan hidup. Mama tidak berhak untuk bahagia. Mati mungkin lebih baik.” Aku menangis sambil berteriak-teriak kepada kedua anak itu. Mereka pun semakin menangis keras. Aku memukuli diriku sendiri. Aku merasa bebanku sangat berat.

Mamakku masuk dan mengambil Jose. Setelah Jose diambil lalu diberikan kepada Bounya. Mamak kembali masuk dan memarahi Janice. Jujur aku tidak rela jika ada yang memarahi anak-anakku. Aku sadar benar bahwa mereka belum paham dengan keadaan. Situasiku yang membuat aku marah.

Setelah itu anak-anak lebih tenang. Hujan sudah redah. Aku pergi diantar mamak berobat ke klinik langganan.

Dokter itu sudah tahu perihal kesehatan suamiku. “ Eh, sakit apa?” katanya ramah saat aku masuk ke ruang pemeriksaan. “Aku demam Dok, perutku perih, dan kepala pusing.”

“Oke, kita periksa dulu ya, silahkan tiduran!” Aku menurut pada ucapan Dokter Melly. Setelah selesai, dokter Melly menjelaskan mengenai penyakitku. Kamu harus banyak istirahat, bahkan sebaiknya kamu harus dirawat. Lambung kamu mengalami peradangan. Semua tenggorokan kamu berbintik merah.

Sepertinya asam lambung kamu sedang tinggi. Kamu jangan terlalu capek.” Aku hanya diam. Dokter Melly kembali memandang ke arah aku. “Apa kabar anak-anak kamu dan suamimu?” Pertanyaan itu membuat nafasku sesak.

Aku menangis. Dokter menyodorkan tisu untuk menghela air mataku “Sepertinya kamu tidak hanya lelah fisik tapi juga psikis. Ada apa?” “ Iya Dok, aku sangat lelah. Aku putus asa dengan kehidupan ini. Saat ini anak-anakku sedang sakit. Dua hari lalu berturut-turut aku datang ke sini tapi dokter tidak ada. Pertama kakaknya, Janice, lalu adiknya, Jose.”

“Iya maaf kebetulan ada saudara yang meninggal. Kebetulan kami satu gereja. Saya majelis di gereja itu. Hari pertama saya engga bisa praktek karena ada acara adat Batak. Hari kedua, ada acara penghiburan dari gereja. Jadi saya ijin dua hari. Oya bagaimana keadaan anak-anak sekarang?” “Sudah lebih baik, Dok. Tapi mereka cengeng. Apalagi Jose nangis terus.

Mungkin dia kangen dengan bapaknya.” “Kangen bapaknya? Emangnya pak Jindo kemana?” tanya dokter Melly sambil ngerutkan dahinya. “Panjang ceritanya Dokter, saat ini dia di kampung.” Saya pun menceritakan mengenai kepulangan suamiku ke kampung.

Dokter Melly sangat prihatin. Sebagai orang yang bekerja di bidang medis, dia paham betul mengenai kondisi dan tindakan yang tepat pada suamiku. Dia memintaku kuat dan dia pun membagikan beberapa pengalaman orang terdekatnya mengenai sakit penyakit.

Sebelum aku pulang dokter kembali mengingat aku supaya bisa istirahat total jika tidak mau dirawat.  “Setelah obatnya habis, kamu datang ke sini lagi ya, biar kita cek lagi perkembangan lambung kamu. Kamu harus kuat demi anak-anak.” “Iya Dok, terima Kasih.”

Sesuai dengan perkataan dokter akupun istirahat sekitar 4 hari di rumah. Sore itu, saat aku sedang duduk di atas tempat tidur. Tiba-tiba Bou Janice datang dan bertanya mengenai medical resume suami.

“Untuk apa? Bukannya waktu itu kamu masukkan photo copynya di tas bapak Janice?” “Iya sudah ku masukkan, tapi saat ini mereka sedang di rumah sakit? Mereka butuh segera,” jawab Bou panik.

“Kenapa bapak Janice dibawa ke rumah sakit? Apakah dia drop?” tanyaku bingung. “Iya, tadi sore dia lemas dan tidak sadarkan diri jadi dibawa ke rumah sakit,” jawab Bou dengan suara pelan.

Hatiku semakin gelisah, aku berdoa kepada Tuhan supaya diberikan kesempatan untuk bertemu kembali dengan suami dalam keadaan sehat. Aku pun tidak bisa tidur. Pikiranku sudah campur aduk.

Apalagi setelah menerima telepon dari kampung kalau suami terus memanggilku dan memanggil nama Janice dengan sebutan “Mama Jan…mama Jan…, kakak Jan, kakak Jan,” dia terus mengigau dan memanggil-manggil.

Setiap menerima telepon jantungku langsung dah dig dug. Aku mencoba tenang dan meminta dukungan doa kepada teman dan sanak saudara. Semuanya berdoa untuk kesembuhan bapak Janice.

Jujur aku ingin segera pulang ke kampung tapi aku tidak enak ijin kepada kepala sekolah. Sementara aku sudah 4 hari tidak masuk kerja karena sakit. Setelah merasa lebih sehat aku pun berangkat ke sekolah dengan diantar oleh adikku yang sengaja datang dari Cikarang untuk membantu kami.

Teman-teman di sekolah dengan senang hati menyambut kedatanganku kembali ke sekolah. Aku tahu mereka semua perihatin dengan keadaanku sehingga siang itu mereka mengumpulkan sejumlah uang untuk membantu meringankan bebanku.

Aku sangat terharu dan tak hentinya menangis. Masih banyak yang penduli kepada keluargaku. Ada teman yang menawarkan tiket pulang ke Medan tapi aku masih harus kerja. Masih banyak pekerjaan yang harus ku kerja.

Sebelum pulang sekolah aku masuk ke ruang kepala sekolah untuk mengucapkan terima kasih. “Bu Nita, kenapa belum pulang ke Medan untuk melihat suami?” tanya Pak Agung. “Engga apa-apa Pak, tunggu libur saja supaya saya bisa menyelesaikan pekerjaan yang masih tertunda.” “Bu Nita, pekerjaan tidak akan ada selesainya, Ibu pulang saja, lihat suamimu selagi dia masih ada.

Saya akan beli tiket untuk Ibu,” ucap Pak Agung membuat aku semakin terharu. “Pak, nanti saya transfer biaya beli tiketnya ya,” ucapku dengan perlahan. “Masalah tiket tidak usah dipikirin, yang penting Ibu tetap semangat dan jaga kesehatan.”

Dengan berat hati aku pun pulang kampung meninggalkan dua buah hatiku di Jakarta bersama mamakku dan Bou Risna. Anak-anak tidak tahu bahwa aku akan pulang karena aku berangkat seperti biasanya berangkat kerja.

Sepanjang jalan aku berusaha kuat dan tenang. Sesampainnya di Pematang Siantar sekitar jam 6 sore. Atas petunjuk dari travel Paradep aku bisa melanjutkan perjalanan ke Raya dengan angkot RJT atau Sinar Tani. Setelah menunggu beberapa lama, angkot Sinar Tani pun lewat.

Aku bertanya apakah dia lewat Pematang Raya, mereka jawab, ia. Angkot itu awalnya agak kosong, ditengah jalan penuh dan sesak. Aku duduk dibangku paling belakang.

Tiba-tiba, aku merasa nafasku berat dan sesak. Aku mencoba menarik nafas tapi semakin berat. Aku berteriak. “Bang…Tolong berhenti, aku sesak nafas, aku mau turun saja.” Semua yang ada di angkot itu memperhatikan aku. Aku membuka kancing atas bajuku supaya nafasku lebih ringan. Setelah turun, aku berhenti sejenak di pinggir jalan.

Aku tidak tahu harus kemana saat itu. Aku bingung di mana posisiku. Aku mencoba mengambil hp dan mau menghubungi saudara yang bisa membantuku. Dari jauh aku lihat bis cepat Sepadan yang melewati Pematang Raya. Aku pun naik bis itu. Hari sudah malam dan saat itu hujan gerimis. Aku pun tiba di simpang lapas. Di sana sudah menunggu abang iparku.

Dengan motor dia membawaku ke rumah. Tiba di rumah aku langsung masuk ke kamar, dimana suamiku berada. Dalam kamar yang bercahaya redup itu aku melihatnya dia sedang duduk tak berdaya.

Ditopang oleh ibu mertua dan kakak iparku. Aku memeluk dan menciumnya. Wajahnya pucat dan pandangan matanya kosong. Dia masih mengenali aku tetapi dia tidak bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas. Aku memegang wajahnya, dia memandangku  dengan sejuta cerita yang tak terucapkan.

“Sudah, Papa istirahat! Mama pulang untuk melihat Papa, kamu harus semangat supaya kita bisa kembali ke Jakarta,” ucapku sambil menahan tangis. Hari pertama dia masih mengenali, hari kedua aku perhatikan kondisinya semakin memburuk.

Aku mencoba mengajaknya berbicara tapi dia sama sekali tidak merespon. Aku meminta kepada keluarga supaya membawanya ke rumah sakit. Aku tidak bisa melakukannya sendiri karena jujur aku tidak paham mengenai kondisi rumah sakit di daerah itu.

Keluarga mencoba membuat aku tenang. Mereka bilang bahwa semuanya akan baik-baik saja berdasarkan perkataan orang yang mengobati dia di kampung. Mereka pun pergi mengambil obat lagi dan mencoba menyuapi obat itu ke dalam mulutnya. Padahal aku lihat dia sudah tidak bisa merespon.

Matanya pun sudah sulit untuk dibuka. Malam itu, aku mengatakan kepada keluarga supaya segera membawanya ke rumah sakit. Aku tidak mau bertahan lagi di rumah. Dengan proses yang alot, akhirnya kami tiba di Siantar.

Sepanjang jalan aku mencoba menghubungi teman dan sanak keluarga yang bisa membantu. Ya, dengan bantuan keluarga kami bisa di terima di rumah sakit itu. Walaupun keadaannya sudah hampir terlambat.

“Keluarga Pak Jindo,” panggil seorang perawat membuatku terkejut. Dan bangkit dari tempat dudukku. “Iya.” Mereka kembali memanggilku untuk membicarakan mengenai perujukan suamiku ke Medan. “Jadi Ibu bersedia di rujuk?” tanya perawat itu.

“Iya Sus, asalkan rumah sakit ini bisa memastikan bahwa kami akan mendapatkan tempat di sana.” “Kalau ibu bersedia, kami akan hubungi rumah sakit di Medan. Jika ada tempat Pak Jindo akan berangkat dengan ambulan dan didampingi oleh perawat dari rumah sakit ini.

Yang penting ibu bersedia dulu.” “Baik, Sus. Saya menunggu informasi selanjutnya. Apakah yang harus saya lakukan selanjutnya?” “Sekarang Ibu ke bagian administrasi!” perintahnya sambil menunjuk ke sebelah kiri ruangan itu.

Setelah selesai, aku kembali bertanya, “Suster, bagaimana? Apakah sudah ada tempat untuk suami saya dirujuk?” “Satu-satunya rumah sakit di Medan yang mempunyai dokter spesialis penyakit autoimun hanya rumah sakit Adam malik, tetapi mereka mengatakan kalau ruangan penuh.

Apakah ibu punya teman atau kerabat yang bisa membantu?” Aku menggeleng, saat itu pikiranku buntu. Aku tidak tahu siapa yang bisa membantu.

“Saya coba tanya keluarga atau teman ya, Sus,” jawabku sambil mencari HP dalam tasku. Saat itu aku lihat kakak Dave dan Eda Jove muncul dari pintu masuk.

Mereka melihat langsung bagaimana kondisi suamiku. Ada rasa tidak tega di wajah keduanya. Suami sudah tidak sadarkan diri. Mereka coba menghubungi keluarga yang bekerja di RS Adam Malik untuk mendapatkan ruang ICU untuk suami, tetapi hasilnya nihil.

Jawabannya sama, ruangan penuh. Setelah menunggu beberapa jam, jawab masih sama. Tidak ada rumah sakit yang bersedia menerima suami dengan alasan ruangan penuh. Jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi.

 “Dokter, bagaimana selanjutnya jika suamiku tidak dapat tempat untuk dirujuk?”

“Mau tidak mau, suami ibu harus dirawat di sini. Masuk ICU,” jawab dokter itu agak ketus. Aku hanya diam, suster yang sedang memegang data suamiku meminta ku untuk tanda tangan surat pernyataan.

 “Sini Kak, teken dulu surat pernyataan ini,” kata suster itu dengan gaya ‘siantarnya. Aku menurut saja semua perintahnya.

“Begini ya Kak, di rumah sakit ini tidak ada dokter spesialis penyakit lupus, kami akan rawat dengan penanganan dokter spesialis penyakit dalam, jantung, dan paru.

Jika terjadi hal buruk pada suami Kakak, kami tidak bertanggung jawab. Baik keluarga atau pihak ketiga juga tidak bisa menuntut apa-apa,” jelasnya sambil menyodorkan surat pernyataan lainnya.

“Baik, Kak,” jawabku dengan suara lesu.

Beberapa lama kemudian, sekitar jam 2 pagi suamiku dibawa ke ruang ICU. Aku dan keluargaku disuruh menunggu di luar.

 “Keluarga Pak Jindo,” teriak seorang perawat laki-laki. Dia memintaku menandatangani surat lagi dan meminta kronologis perihal kejadian sampai kondisinya seburuk itu. Aku menceritakan dengan singkat.

Setelah itu aku meminta ijin untuk bertemu dengan suamiku. Aku lihat dia semakin sadar. Aku mengucapkan kata-kata penyemangat di telinganya. Dengan nafas ‘sengal dia berusaha untuk berbicara.

“Tidak kuat lagi, aku tidak bisa kembali ke Jakarta,” ucapnya terputus-putus. Air mataku mengucur deras.Lutut dan kakiku terasa lemas. Petugas ruangan itu menyuruh aku untuk keluar. Di luar ruangan itu aku melihat ibu mertua dan kakak ipar. Mereka bertanya apa yang terjadi. Tangisku pecah.

“Sudah ku bilang, jangan bawa dia ke kampung. Dia tidak bisa berhenti minum obat. Sekarang kondisinya sudah seburuk ini. Aku menyesal telah mengijinkan dia pulang,” ucapku sambil berteriak-teriak.

Aku menangis meraung-raung. Ada keluarga  pasien lain yang sudah tidur jadi terbangun dan memperhatikan kami yang sedang berdebat.

“Kami juga tidak ada niat membuat kondisinya semakin buruk. Kami juga serba salah. Kami pikir dia akan lebih baik tapi keadaannya lebih buruk,” ucap kakak iparku.

Mereka masih berbicara panjang lebar, tetapi aku sudah tidak mendengarkan lagi. Aku hanya menangis sesenggukan. Aku tidak tahu jam berapa aku berhenti menangis.

Pagi-pagi, aku terbangun, aku melihat beberapa orang sudah duduk disekelilingku. Aku berjalan keluar, aku berusaha menenangkan diriku. Wajah dan pakaianku kusut. Ternyata itu sudah jam 8 pagi.

“Mama Janice sarapan dulu,” kata kakak ipar sambil menyodorkan sebungkus nasi. Aku membuka nasi itu, aku melihatnya tidak selera. Aku kembali menutupnya.

“Lambungku masih bermasalah, aku tidak bisa makan nasi keras dan pedas,” jawabku sambil menyimpan nasi itu di dekat barang-barang kami. Lalu aku pergi mencari bubur.

Saat ini adalah hari ketiga suamiku dirawat di ruang ICU. Kata dokter kondisinya sudah mulai setabil dan akan dipindahkan ke ruang rawat. Sambil menunggu informasi selanjutnya, aku berdiri di sudut ruangan ini. Dari lantai 5, kupandangi Langit Kelabu di atas kota Siantar.

Desemberku yang kelabu, di kota yang kata sebagian orang penuh dengan kenangan. Hatiku sendu di malam Natal yang sunyi senyap.

Banyaknya pergumulan membuat aku lemah dan marah pada keadaan. Aku menjadi orang yang kasar dalam berkata-kata. Mungkin kata-kataku menyakitkan orang di sekitarku. Dalam diam aku menyadari semuanya kesalahanku.

Menyesali ucapanku. Namun dengan kejadian ini aku sangat bersyukur. Aku tahu ternyata banyak orang yang penduli dengan aku dan keluargaku.

Semua keluarga, teman-teman dan kerabat tidak berhenti-hentinya berdoa dan menanyakan mengenai perkembangan suamiku. Banyak yang menawarkan bantuan, untuk akses ke RS Adam Malik namun kondisi suami pada akhirnya tidak memungkinkan untuk di rujuk.

 Saya sangat berterima kasih kepada Keluarga besar jemaat GKPS Cililitan yang selalu mendukung kami. Teman-teman dari ibu-ibu sekolah Minggu, Sektor 5, Sektor 3, seksi Wanita dan seksi Bapa GKPS Cililitan.

Keluarga besar arisan Garingging, arisan Purba Pakpak Boru Panegolan, Arisan Marubun, dan Keluarga Turnip saopung. Juga kepada teman-teman Guru Karyawan dari SDK 8 PENABUR Cawang juga guru-guru dari Janice.

Gawe Jove, gawe Celine, kakak Dave, gawe Puput dan keluarga yang ada di Jakarta dan di Raya semuanya. Kakak dan Abang Donita yang membantu memulangkan anak-anak ke Medan. Semua keluarga dan teman-teman yang tidak dapat ku sebutkan satu persatu.

Dengan segenap hatiku, aku mengucapkan terima kasih atas dukungan doa, dana dan informasi kepada kami. Semoga Tuhan yang maha baik yang membalas semua kebaikan yang diberikan kepada kami. Selamat Natal kami ucapkan dari sudut ruang ICU Lantai 5 Rumah Sakit ini.

Pematang Siantar, 24 Desember 2019

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments