Embun pagi masih bergelayut manja di daun-daun. Udara dingin menusuk tulang, menyisakan gigil pada tubuh ini. Mentari pagi malu-malu menampakkan diri, cahayanya lembut menghangatkan jiwa senduku. Angin semilir berhembus perlahan mengiringi langkah kakiku menuju tempat tugas. Tempat aku menenmui anak-anak generasi penerus bangsa, harapan dan kebanggan orang tuanya.
Masih terngiang rengekan Agil pagi ini, sebelum aku berangkat ke sekolah tempat ku menggajar. Kondisi saat ini mengahruskan kami para guru untuk WFO. Melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih tetap menjadi pilihan, sampai situasi betul-betul aman untuk melakukan pembelajaran tatap muka.
“Bu, aku di rumah belajar sama siapa? Ibu nggak boleh ke sekolah.”
“Adek di rumah belajar bareng kakak ya”
“Nggak mau! Setiap adek bertanya sama kakak, kakak malah marah bu”
“kakak nggak marah dek, kakak Cuma lagi kosentrasi belajar”
“ Kenapa sih, ibu nggak di rumah aja. Katanya daring, menggapa masih ke sekolah. Ibu membiarkan anak sendiri belajar di rumah sendirian. Ibu curang, Ibu nggak sayang sama adek kan?”
Sebenarnya hatiku tersentak dengan ucapan Agil, bagaimana bisa anak kecil itu punya pemikiran seperti itu. Hatiku menggerimis. Ada sesak di dada, aku coba menghela nafas dalam-dalam berharap bisa melegakan beban di hati.
“Adek, sini peluk ibu. ibu sayang sama adek juga sama kakak dan mas. Pokoknya ibu sayang semua deh.”
“ Nggak Mau! “
“ Adek, sudah dong merajuknya. Keburu siang nih. Ibu bisa terlambat sampai di sekolah lho”
“Tuh kan, Ibu lebih sayang sama murid-murid ibu dari pada dengan anak sendiri”
Agil benar-benar merajuk. Disembunyikan tangisnya dengan berlari ke kamar dan menguci pintu dari dalam. Panggilan dan ketukan di pintu kamar berkali-kali tak dihiraukan. Waktu terus berjalan, hari semakin siang, Agil tidak juga mau membukakanku pintu kamar. Hatinya masih menggeras dengan kemarahan.
Jika engkau tahu nak, hati ibu mana yang tidak bersedih melihat sang buah hati bersusah hati. Ibu tahu, kamu butuh ibu untuk menemani, membimbing dan menjgajarimu belajar di rumah dalam menyelasaikan tugas –tugas yang diberikan oleh bapak dan ibu guru dari sekolah.
Menggertilah nak, ibu harus berangkat kerja untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai guru. Sekalipun pekerjaan bisa ibu lakukan dari rumah. Pembelajaran daring juga bisa ibu lakukankan dari rumah.
Ada satu hal yang tidak bisa ibu lakukan dari rumah nak. Ibu tidak bisa membungkam ungkapan-ungkapan nyinyir dari mulut-mulut yang tidak bertanggung jawab. Telinga ibu panas nak, mendengar ucapan bahwa guru memakan gaji buta. Memberi makan anak-anak dengan uang haram.
Mereka tidak tahu, bahwa dengan di rumah sajapun guru benar-benar bekerja. Membimbing, mengajar dan mendidik anak-anak didiknya.
Aku berangkat sekolah untuk membuktikan bahwa guru bekerja dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, dengan niat tulus penuh penggabdian. Jika mereka melihat guru tidak santai di rumah, semoga hati para netizen sedikit terketuk sehingga tidak ada lagi ungkapan-ungkapan miring tentang guru.
Melalui pembelajaran daring ini, orang tua bisa merasakan dan punya pengalaman nyata bahwa menjadi guru itu pekerjaan yang tidak mudah. Menghadapi anak sendiri saja para orang tua banyak yang menggeluh dan merasa tidak sanggup.
Banyak keluhan berasal dari para orang tua bahwa mereka merasa kewalahan dan keberatan dalam menemani belajar anak-anaknya di rumah. Anak-anakpun juga berkeluh kesah, bahwa orang tua meraka tidak sesabar dan setelaten bapak ibu guru dalam mengajar di sekolah.
Anak-anak banyak yang menangis karena rindu teman-teman sekolah, guru-guru, suasana gembira saat belajar dan bermain bersama di sekolah. Tidak bisa dipungkiri bahwa guru juga rindu anak-anak didiknya. Rindu celotah spontan nan kocak dari senda gurau murid-murid di sekolah.
Bersama mereka berasa muda terus dan tanpa beban, beban ada tapi tidak terasa berat karena tertutupi oleh hati yang bahagia.
Bahagia bukan hanya milik mereka yang punya harta melimpah. Bahagia adalah milik hati yang pandai bersyukur. Bersyukur dalam kondisi dan situasi apapun. Kondisi saat ini bukan kemauan kita bersama. Kita semua punya keinginan yang sama, semoga keadaan segera baik lagi.
Di sekolah aku tenggelam dalam keasyikan mengajar materi secara daring, mengoreksi tugas-tugas yang dikumpulan oleh siswa lewat google classroom. Udara pagi yang dingin sudah menghangat sehangat hatiku jika sudah bertemu dengan mereka, yang berjiwa polos.
Waktu zuhur sudah berlalu, mata terasa sepat karena terlalu lama di depan laptop dan tidak lepas dari layar android. Perut juga ikut-ikutan berontak, cacing-cacing penghuni perut mulai menggelepar-gelepar karena lapar. Energi tubuh mulai melemah seperti lampu emergensi kehabisan cas.
Ada chat masuk dari Ashraf bujang, tanggungku yang sekarang kelas tiga SMP. “Ibu pulang jam berapa? dek Agil belum mengerjakan tugas dari ustadz dan ustadzah di sekolahnya.”
Deg … ada nyeri menyusup dalam relung hatiku. Aku merasa bersalah tidak bisa mendampingi Agil belajar di rumah.
Segera aku sudahi pekerjaan ini, semua peralatan aku ringkasi, secepatnya aku ingin segera sampai di rumah, mendadak ada rindu membuncah pada bujang kecilku. Ada perasaan bersalah meninggalkannya dalam kondisi masih merajuk. Sebelum sampai di rumah aku sempatkan mampir di toko swalayan membeli makanan kesukaannya, berharap bisa menebus kesalahan tadi pagi.
Sesampaikannya di rumah ternyata bujang kecilku sudah tidur siang, kata kakak sesiang ini kerjaannya hanya di kamar, keluar kamar hanya untuk makan dan keperuan ke toilet. Di dalam kamar waktunya dihabiskan bermain bersama belon kucing kesayangannya, dan menggambar. Menggambar tokoh-tokoh kartun kesukaanya. Sambil berbicara dengan tokoh dalam gambar yang dibuatnya. Kakak bilang dek Agil curhat terselubung.
Selesai bersih-bersih diri dan rehat sebentar, aku melanjutkan ke dapur mempersiapkan menu makan malam. Semoga sehabis magrib nanti aku bisa menebus kesalahan dengan kebersamaan dengan bujang kecilku. Aku harus bisa mendampingi bujang kecilku menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya.
“Ibu masih mau daring lagi ya?”
“Nggak sayang, hari ini daring ibu dengan murid ibu sudah selesai”
Aku sengaja berbohong, aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Sebenarnya masih ada deadline pekerjaan yang harus aku selesaikan. Tapi biarlah tidak untuk saat ini. Kebersamaan dengan bujang kecilkuku lebih berarti dari apapun. Masih ada hari esok untuk menyelesaikan pekerjaan. Tapi jika hatinya yang patah, aku tidak sanggung melakukannya lagi.
“Kenapa ibu harus kerja jadi guru, bukannya seorang ibu itu harus di rumah, melakukan pekerjaan rumah dan mengurus anak-anaknya, kayak ibunya temen-temen aku.”
“Ibu kerja karena ibu mau membantu bapak cari duit nak, buat bayar sekolah adek, kakak dan mas.”
“kerja kan tugas bapak bu. Ibu capek nggak kalau kerja?”
“Capek sih dek, tapi ya nggak apa-apa, ibu rela kok”
“sebenarnya kalau boleh memilih, ibu pilih mana. Jadi ibu yang di rumah aja atau jadi ibu yang bekerja di sekolah?”
“ibu ingin di rumah aja sama adek, biar adek senang. Tapi ibu nggak bisa kasih uang jajan lebih ke adek, karena kita harus berhemat, kasihan kalau bapak sendiri yang kerja”
“ya udah deh kalau gitu, ibu boleh kerja di sekolah, tapi kalau sampai di rumah ibu harus temani aku belajar. Asalkan adek masih boleh minta beli jajan dan mainan kesukaan adek.”
“Ok, Janji nggak boleh merajuk lagi ya”
“Siap, ibu negara…” sambil menirukan sikap sempurna baris-berbaris.
***
”Kenapa sih bu, Kita sekolahnya nggak masuk aja? Belajar begini terus bosan. Tugasnya banyak sekali. Tidak selesai-selesai dikerjakan tiap hari” giliran bujang keduaku Ashraf yang mulai mengeluh.
“kalau sudah capek ya istirahat dulu, nanti dilanjutkan lagi”
“Tetap aja bu, nanti juga masih dikerjakan. Kebanyakan istirahat malah nggak kelar bu, nggak bisa tenang main game nanti”
“Nah itu dia masalahnya, kakak terlalu banyak main game, jadi nggak fokus mengerjakan tugas.”
“Nggak lho bu, main game cuma selingan aja. Hari gini nggak main game, nggak gaul bu.”
”Iya, nggak apa-apa main game, tapi jangan jadikan game yang utama. Ibu nggak suka anak ibu kecanduan bermain game”
“Iya bu, nggak kok, ibu tenang aja. Ini juga hanya saat sekarang ini aja, mau ke mana-mana nggak bisa, sekolah tatap muka juga nggak. Kapan sih bu, kita mulai masuk sekolah lagi? Mall aja udah buka, tempat-tempat wisata juga sudah buka. Lah sekolah kapan?” Ada rasa dongkol dan protes dari nada suaranya.
Si kakak termasuk anak yang tidak bisa diam, kecerdasanya kinestetik. Jika hanya di rumah saja pasti bosan. Aku bisa memaklumi, selain sekolah aktifitas kakak cukup menyita waktu dan energi. Kakak suka bermain bola kaki, tekawondo, parkur, dance, aktif di rohis dan osis.
“Segala sesuatunya kan ada aturannya kak, kita tidak bisa menyalahkan siapapun, kita harus bisa memahami dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Cara seperti inilah yang terbaik yang bisa kita lakukan, lakukanlah dengan maksimal dan ikhlas. In syaa allah, akan menjadi ladang ibadah buat kita”
“Iya bu, siap lakukan…. asalkan kuota internet full ya bu.”
“Ok, buat anak-anak ibu, apasih yang nggak ibu berikan. Asalkan semuanya untuk tujuan kebaikan.”
***
“Bu, nggak enak tau bu, kuliah daring itu, kalau mau praktek susah bu, tidak seenak kalau tatap muka” Bujang sulungku yang biasanya cuek jadi ikut-ikutan berkeluh kesah.
“Iya, ibu tahu. Ibu juga merasakan kok, mengajar daring itu lebih repot dari pada tatap muka. Mata pelajaran ibu juga banyak prakteknya. Hasilnya jadi nggak maksimal”
Bujang sulungku masih tetap kuliah daring di semester lima ini, pihak kampus belum menggambil kebijakan untuk perkuliahan tatap muka, masih menunggu keputusan pemerintah.
“Tapi mas seneng kan masih di rumah, lebih enak jadi anak rumahan atau anak kost?”
“Seneng sih bu di rumah, bisa kumpul dengan keluarga, tidak kangen-kengan rumah lagi, tapi ya bosan tau bu”
“Iya nggak apa-apa, hitung-hitung perbaikan gizi lho, semua makanan kesukaan mas selalu tersedia kan?”
“Iya ibu, ibu selalu yang terbaik”
“Hhhhhmmmm… pasti ada maunya ini” sambil pura-pura manyum. Bujang sulungku memang selalu puya cara menyenangkan hatiku. Jujur hatiku meleleh, cuping hidungku kembang kembis bahagia, pujian sederhana tapi membuat hati berbunga-bunga. Keahlian yang sama dengan bapaknya. Pandai membaca situasi.
“Heheheh… ibu tahu aja, uang jajan sudah menipis nih bu”
“Mau transfer atau cast?”
“Terserah ibu aja, senyamannya ibu”
“Ok, asalkan setiap hari bantu ibu menggawasi adek-adek, bantu adek-adek belajar daring ya”
“Iya bu, siap. Beginilah derita anak sulung, selalu disuruh mengawasi adek-adek”
“Hhhhmmmm…. nggak ikhlas?”
“Ihklas bu, buat ibu aku berikan yang terbaik yang aku bisa. Ibu nggak boleh merajuk, nanti jelek lho dan makin tua”
“Massssssss….”
Senyumnya menggembang, sambil cepat-cepat berlalu. Meninggalkan aku sendiri di teras rumah.
***
Aku tidak jadi merajuk, pikiranku sibuk memikirkan konten pembelajaran yang belum aku selesaikan.
Apa warna pembelajaran daringmu?
BIOGRAFI PENULIS
Titin Suarni, Lahir di Kerinci-Jambi. Saat ini menetap di Kota Metro-Lampung. Alumni SD Negeri No. 78 Pematang Lingkung, SMP Negeri Tamiai, SMA Negeri 2 Danau Kerinci.
Menamatkan S1 di Universitas Negeri Padang Tahun 2000, di Fakultas Bahasa, Sastra dan Seni, jurusan SENDRATASIK (Seni Drama, Tari dan Musik) dengan program minor Seni Tari.
Hobi membaca, deklamasi puisi, menari, dan bermain peran (actian) sudah dilakoni sejak sekolah SD hingga kuliah di Perguruan Tinggi. Hobby tersebut terus berlanjut sampai menjadi guru di SMA Negeri 4 Metro dari Tahun 2005 sampai sekarang. Bukan lagi menjadi pelaku yang tampil sebagai penari atau aktor tapi hanya sebagai pelatih dan pembina di bidang seni. Menjadi seorang guru yang memiliki tiga anak laki-laki memiliki kesan tersendiri.
Hobby menulis menjadi aktifitas baru, selama menjalani kebijakan pemerintah yang mengharuskan belajar, bekerja dan ibadah di rumah saja. Beberapa buku antologi sedang proses cetak, in sya allah buku solo segera menyusul naik cetak ke penerbit.
Penulis berdomisili di jalan Cemara no.30 Kelurahan Margorejo Kecematan Metro Selatan Kota Metro Lampung Mencoba aktif di medsos FB, Titin Suarni dengan alamat e-mail titinsuarni@gmail.com atau suarnititin2@gmail.com serta IG. Titinsuarni dengan no. WA. dan Telegram 0852 6981 0403