Capung Hitam

Capung Hitam

Cerpen
Oleh: Nita Sembiring Kembaren

Tanggal 28 Desember 2019 lalu, saat aku menunggu suami di ruang tunggu HCU rumah sakit Adam Malik, aku melihat seekor capung hitam terbang mengelilingi ruangan itu. Aku duduk di pojok ruangan sambil bermain HP. Sesekali mataku memperhatikan serangga itu.

Aku sudah lama anti dengan binatang itu, karena aku perhatikan setiap capung hitam masuk ke dalam rumah pasti ada yang terjadi. Entah bapaknya yang sakit, aku yang sakit, Jose dan Janice pun pernah sakit setelah serangga itu memasuki rumah kami.

 Entah itu kebetulan saja atau ada pesan tersembunyi yang aku tidak paham, aku pun tidak tahu. Tetapi aku benar-benar parno dengan hewan itu. Aku sering menyuruh orang rumah menutup pintu rapat-rapat jika  melihat hewan itu lalu lalang depan rumah.

Saat itu, aku mencoba menenangkan hatiku dengan menulis sebuah cerita di hpku. Tak terasa lebih kurang dua jam aku berada dalam ruangan itu. Hpku pun lowbat. Lalu aku turun ke saung untuk mencarger hp. Tidak jauh dari tempatku duduk ada satu keluarga yang sedang menangis. Tentu saja aku kenal dengan mereka karena kami sesama keluarga pasien HCU. Yang menjadi perhatianku saat itu adalah seorang capung hitam yang lalu lalang di atas mereka. Beberapa kali capung itu hinggap di barang-barang mereka.

Entah kenapa saat itu aku sangat malas berbicara dengan siapa pun. Bahkan kalau pun aku ceritakan perihal capung hitam adalah pertanda buruk belum tentu mereka akan percaya. Kalau pun mereka percaya, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menerimanya sebagai takdir. Faktanya orang yang mereka cintai sedang kritis di ruang itu.

Jam besuk pun tiba, kami semua naik ke lantai dua gedung IGD untuk melihat keluarga kami yang dirawat di sana. Saat itu pikiranku hanya terfokus pada suamiku. Aku tahu semua orang memikirkan hal yang sama. Kami berharap orang yang kamu cintai bisa sembuh kembali. Yang menjadi perhatianku adalah saat aku keluar dari ruang itu.

Saat itu jam besuk sudah berakhir, tapi aku masih enggan keluar dari ruang itu. Seorang suster menyuruh aku keluar karena tim dokter mau melakukan tindakan pada pasien yang sedang kritis.

 Saat aku membuka pintu, seekor capung hitam terbang di atas kepala lalu masuk ke dalam ruang HCU. Sejenak aku diam di depan pintu itu. Aku perhatikan ke mana capung itu akan pergi. Entah kebetulan atau tidak, capung itu berhenti di atas pasien yang kritis itu.

Berselang sepuluh menit, keluarga pasien itu pun dipanggil suster HCU, tidak lama kemudian mereka keluar dengan tangis kepiluan. Orang yang mereka cintai telah pergi untuk selamanya. Mungkin saja capung itu hadir sebagai malaikat pencabut nyawa baginya (mungkin saja).

Setelah pulang ke kost, aku bercerita kepada mamakku mengenai capung hitam. “Ah, kamu jangan berpikir begitu. Mungkin saja karena daerah ini banyak rumput-rumput sehingga banyak capung yang lalu lalang. Kebetulan saja capung itu ada di sana. Belum tentu ada kaitannya dengan hal-hal seperti itu (takhayul).”

Dulu juga suamiku selalu berkata demikian ketika aku bilang kalau capung hitam bertanda buruk. “Mama jangan percaya begitu, itu hanya kebetulan.”

“Aku tidak percaya Pa, aku juga berusaha untuk tidak percaya, tapi lihat setiap ada capung hitam pasti ada saja yang terjadi pada keluarga kita. Yang terakhir malam tahun baru. Aku memukul capung hitam yang masuk rumah, besoknya Janice demam sampai kejang lalu masuk rumah sakit.”

 Aku coba menyebutkan beberapa kejadian sebelumnya mengenai pengalamanku dengan capung hitam. Sejak saat itu suami dan bou Janice mulai percaya dan selalu wanti-wanti. Setiap habis magrib atau malam hari kami selalu menutup pintu.

Saat suamiku meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 2019, aku terus menangis bahkan di ruang tunggu kamar jenazah pun aku belum bisa menghentikan tangisku.

“Mak Jane, sini sebentar,” panggil mamak yang sejak tadi berdiri di depan ruang jenazah. “Lihat! Capung hitam itu. Tadi pas jenazah bapak Janice diangkat, aku lihat capung itu jatuh dari tempat tidurnya.”

Aku melihat seekor capung hitam yang besar tergeletak di ubin ruang jenazah. Aku hanya diam. “Aku jadi percaya juga dengan omongan kamu, kita tidak tahu kapan dan bagaimana capung itu masuk yang pasti dia ada di atas tempat tidur bapak Janice tadi,” kata mamak sambil memperhatikan capung itu.

Aku pun kembali ke tempat dudukku. Aku juga tidak tahu kapan capung itu masuk. Mungkin saja pada saat aku tertidur. Padahal untuk masuk ke ruang HCU kita harus melalui pintu kaca sebanyak tiga kali. 

Mungkin sudah begitu takdirnya. Maut akan mencari jalannya. Entah benar atau tidak bahwa capung hitam adalah pertanda  buruk, aku juga tidak tahu. Yang pasti sampai saat ini aku risih dengan kehadiran capung itu di sekitarku.

Aku percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Tuhan. Tetapi selagi kita bisa melihat suatu pertanda setidaknya kita bisa berhati-hati dan mawas diri. Tetap berdoa dan berserah kepada Tuhan.

Jakarta, 9 Februari 2020

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments