Rentenir itu datang lagi. Bukan satu dua kali, tapi entah berapa kali. Menagih hutang Pak Ratno yang terus beranak-pinak dan jika ditotal kini mencapai ratusan juta. Semakin lama Pak Ratno pun semakin tak kuat dengan tagihan itu.
Pun ia tak mampu mencicil sebagaimana jumlah mestinya dari hasil kerjanya sendiri yang hanya tukang antar pos. Harta yang agaknya berharga satu-satunya yang ia miliki kini hanya rumah yang ia tinggali.
Namun bagaimana pula kalau rumah itu dijual guna lunasi hutang, dimanakah keluarga itu harus beratap, berlindung dari tusukan matahari kala panas dan serbuan titik air kala hujan.
“Jadi bagaimana kini, Pak Ratno? sudah berkali-kali kuberi waktu.”
“Maafkan saya , Tuan, saya belum mampu membayar. Pun saya tak tahu kapan bisa dapat uang sejumlah itu.”
“Mau kau kuadukan ke polisi?”
“Jangan Tuan, bagaimana kalau rumah ini saya berikan sebagai ganti.” Terpaksa ia melepaskan kalau memang harus.
“Rumah reot begini? Mana ada cukup, Ratno.”
“Kalau begitu saya sendiri tidak tahu harus membayar dengan apa, Tuan. Boleh kiranya Tuan beri belas kasih.”
Rentenir itu memasang tawa sinis, sekaligus melempar pandang ke samping jendela, meremehkan. Menjawab dalam bahasa gerak yang berarti: tidak mungkin. Tiba-tiba mata si rentenir itu bersinar, seakan baru dapat wangsit yang masuk ke pikirannya. Aha!
“Mau kau dipenjara? Lalu rumahmu dan semua hartamu disita?”
“Tidak, Tuan. Ampun, Tuan.”
“Kalau begitu, turuti kemauanku.”
“Apa itu, Tuan?”
“Kau punya anak gadis, bukan?”
“Baru selesai Sekolah Menengah Atas, Tuan.”
Sang rentenir diam. Agak lama. Mungkin berpikir bagaimana harus menyampaikan maksudnya.
“Kalau begitu, bagaimana kalau hutangmu yang menumpuk itu dan bunga-bunganya, akan kuanggap lunas.”
Pak Ratno terbelalak. Hampir tak percaya. “Benarkah, Tuan?”
“Tentu. Tapi…”
“Tapi apa Tuan?”
“Kau serahkan anakmu padaku, untuk kujadikan pendamping, pendamping kedua, selir.”
Pak Ratno lebih terbelalak lagi. Ia diam dan menundukkan kepala.
“Hanya dengan itu masalah hutangmu akan selesai, kau akan bisa bekerja, rumahmu takkan disita, penjara takkan pernah merasai ditempati dirimu, dan kujamin akan ada mahar tambahan untukmu.” “Kalau tidak besok semua akan berakhir, Ratno. Jadi bagaimana?” Lanjut sang rentenir.
“Saya tanyakan ke istri dan anak saya dulu, Tuan.”
“Ahh. Kalah kau dengan perempuan? Kau budak istrimu dan anakmu? Terserah padamu. Tapi aku hanya beri waktu kau seminggu. Kalau tidak kau turuti mauku, dan tidak kau lunasi hutangmu, kau tahu akibatnya.”
Rentenir itu menggenggam dengan separuh jarinya, namun jari telunjuk dikeluarkan dan jempol diangkat, persis menggambarkan sebuah pistol dengan gerakan tangan. Ia arahkan tangan pistol itu ke kepala Pak Ratno. Lalu beranjak, dan keluar sambil tersenyum lebih sinis lagi.
“Pak, jangan Pak, jangan kau kahwinkan anak kita dengan si Brojo rentenir itu. Jangan kau gadaikan masa depan Edna Pak.” Istri Ratno keluar dari belakang yang sedari tadi mendengar pembicaraan.
“Tapi aku tak mau dipenjara, Bu. Aku tidak mau juga rumah ini disita.”
Edna keluar dari kamarnya. Tampaknya ia telah mendengar semua pembicaraan bapaknya dengan rentenir itu. Matanya sembab berkaca-kaca. Ia menunduk. Tentu ia tidak mau kahwin dengan rentenir penjebak orang dengan hutang itu, tapi baginya pengabdian dengan orang tuanya adalah prinsip utama.
Selain itu, hanya dia yang bisa menyelamatkan bapaknya dari penjara dan dari sitaan rumah satu-satunya yang dimiliki keluarga itu.
“Nak, cuma dirimu yang bisa selamatkan Bapak dan rumah ini. Bagaimana?” Pak Ratno bertanya pada Edna.
”Jangan Pak,, jangan lakukan itu,, ini anakmu pak,, darah dagingmu!!!” Istrinya menolak, sambil menangis merengek.
“Saya ikut bapak saja.” Tak terasa airmata menetes dan suara Edna begitu parau.
“Biadab kau Pak kalau menjual anakmu.. !” Bu Ratno muntab. Mukanya merah padam.
“Jadi bagaimana bu? Bapak tidak mau dipenjara, Bu, memang kau bisa bayar hutang itu?”
“Dasar lelaki penjilat kau Pak!.. Kau hendak jual anakmu. Biadab! keparat! “ Istri Ratno mengutuki sambil mendorong-dorong tubuh Pak Ratno. Lalu ia menghamburkan diri ke dalam kamar. Medekapkan kepala ke atas bantal dan terus menangisi keadaan.
Hujan mulai turun menimbulkan suara tik-tik di atap seng. Semakin lama semakin deras, dan suara tangisan Bu Ratno hilang ditelan suara hujan. Pak Ratno masih terdiam mematung di ruang tamu.
Edna memasuki kamarnya dan membenamkan wajah ke bantal juga, persis seperti yang dilakukan ibunya. Malam itu hanya ada tangisan. Tangisan yang tak terdengar orang karna suara hujan menghalaunya.
Hingga esok pagi pun tangis itu tak mau pergi dari hati Bu Ratno dan Edna. Mereka telah dikhianati dunia. Mereka takluk oleh keadaan.
Mengapa kemiskinan dan hutang mencengkeram mereka begitu kuat hingga tak bisa lepas? Mengapa harus mengorbankan perasaan dan mengikuti kemauan rentenir itu agar bisa lepas dari cengkeraman hutang? Itu sama saja lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau.
**
Seminggu kemudian. Rentenir itu datang lagi.
“Saya, istri dan Edna setuju, Tuan, jika Tuan akan memperistri Edna.” Kata Pak Retno.
“Baik. Akhirnya kau punya otak juga, Ratno. Hutangmu bakal lunas setelah hari aku menikahi gadismu, Edna itu. Mari kita bicarakan semua persiapannya.”
“Iya, Tuan. Terimakasih. Saya senang mendengarnya.”
Berdasarkan kesepakatan, perkawinan akan diadakan seminggu kemudian. Dalam acara kawin itu tidak akan diadakan resepsi karena mungkin Brojo si rentenir itu tidak diketahui istri pertamanya bahwa ia hendak kahwin lagi. Makanya ia tidak mau mencolok perhatian orang, kahwin secara diam-diam saja.
Mendengar kesepakatan ayahnya dan si rentenir Brojo, Edna semakin hancur. Tiba-tiba sebuah pikiran yang setengah nekad merasukinya. Ia langsung bangun dari tempat tidur dan menghamburkan diri keluar rumah.
Malam itu Edna tak pulang. Pak Ratno dan Bu Ratno cemas bukan main. Pak Ratno cemas jika Edna kabur karena tidak mau dinikahkan dengan sang rentenir dan dia akan mendekam di penjara serta kehilangan rumah satu-satunya. Bu Ratno cemas kehilangan anak gadisnya.
Tiga malam berikutnya, ia pun belum kembali. Mereka sudah mencari Edna kemana-mana. Di sekolahnya tidak ada. Di rumah teman-temannya pun nihil. Malam keempat, disaat Pak Ratno dan Bu Ratno sudah hampir putus asa, Edna kembali dengan pakaian yang dikenakannya saat ia pergi. Pakaian itu tampak lusuh dan kotor.
“Saya akan ikut kata Bapak untuk dipersunting Pak Brojo.” Edna bercakap sambil mengguyur air mata di pipinya.
“Sebenarnya Ibu tidak tega, Nak. Kau gadis yang luar biasa.” Bu Ratno langsung mendekap anaknya itu. Pak Ratno hanya melempar pandang tanpa memasang ekspresi apapun.
***
Pernikahan telah dilaksanakan. Sudah seminggu kini Edna resmi menjadi selir sirih Brojo si rentenir. Hutang Pak Ratno dianggap lunas, bahkan sebidang kebun pun dihadiahkan oleh Brojo.
Namun, Brojo tetiba mengeluh dadanya sesak. Demam tinggi pun menyerangnya. Ia diboyong ke rumah sakit. Napasnya dibantu oleh alat-alat canggih, seperti hidupnya kini bergantung pada alat itu. Dan tiga hari kemudian ia menghembuskan napas terakhir.
“Kau boleh pergi sekarang, dengan penyakit yang telah kuberikan padamu, Mas Brojo.” Dalam Batin Edna.
Alif Rahman Hakim, Dosen Ma’had Al-Jami’ah, penulis, wirausahawan.
Ngeri juga ya si Edna, kira kira di kasih penyakit apa sampe sesak begitu si Brojo 🤪