Berdamai

Berdamai

Sosial Humaniora
Oleh: Lili Andriani

Matahari bersinar begitu terik, aku pun tetap santai menikmati jalanan yang semakin padat oleh orang-orang yang berlalu-lalang tak jelas arah dan tujuan. Tempat ini masih sama, suasananya, lingkungannya, dan gedung-gedung yang ada. Tampak belum ada perbaikan semenjak kutinggalkan.  Tetap damai, hanya kenangan itu yang masih tersimpan erat dalam sanubari.

Hari ini aku datang untuk mengikuti seminar sekaligus ingin bertemu dan menjalin silaturahmi dengan calon pembimbingku beberapa tahun yang lalu. Kini kisah tak lagi sama, profesi yang sudah sama-sama pendidik menjadikan batas itu tak lagi ada, sekarang sama-sama kawan sejawat. 

Kala itu, April 2014

Saat kisah ini bermula dan hingga kini pun masih membekas dalam di jiwa. Hari itu, tepatnya hari Selasa meskipun mentari bersinar begitu terik, kuliahku harus tetap jalan, dan penelitian harus segera beres agar impian-impian lain tercapai sesuai target yang sudah diimpikan. Sambil senyum-senyum berbagai gedung kulewati dari gerbang depan hingga sampai pada gedung berlantai tiga, tempatku menimba ilmu.

Seusai kuliah dengan salah satu Dosen Teladan di kampus tersohor ini, aku memutuskan untuk menuju lab. Di sana sudah banyak kawan-kawan lain yang juga bekerja menyelesaikan berbagai riset. Hari ini tahapan penelitian yang akan kukerjakan tidaklah sulit, menyaring hasil ekstraksi. Kebetulan kertas saring yang akan digunakan habis, dan hanya tersedia kapas. Dengan berbagai pengalaman kuyakin hal ini benar dan bisa diterapkan.

Sambil bercengkrama dengan kawan yang lain, kulanjutkan untuk menyaring 2 liter larutan. Suasana lab penelitian yang seperti ini yang kurindukan, kawan serasa saudara, susah senang dilalui bersama. Nilai yang tidak bisa dibeli dengan uang, namun bisa dirasakan dengan hati dan perasaan.

Tetiba terdengar langkah mendekat,

“ Hey Salim, apa yang kamu lakukan ? ”

Seseorang dari bagian samping menegurku dengan begitu keras. Kutolehkan wajah pada suara yang barusan memanggilku, tatapan mataku bersitatap dengan sosok perempuan salah satu pendidik di kampus ini.

“Salim, tidak boleh seperti itu, salah yang kamu kerjakan ! Bukan seperti itu SOP pengerjaannya! Harusnya pakai kertas saring, penggunaan begini bukan begitu !”

Secara bertubi dosen tersebut terus memarahiku. Tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. Aku hanya terdiam tak berkutik. Pendengaranku terasa panas, terlebih tatapan mata kawan-kawan se-lab penelitian yang memandang tak berkedip padaku.

Malu !

Hal yang begitu menghujam ke dalam pikiranku. Seorang pendidik yang mencaci-maki mahasiswanya di tengah khalayak ramai. Terlebih lagi ibu-ibu yang berbuat seperti itu. Aku bukanlah anak kemaren sore. Paham dengan semua yang kukerjakan. Hingga peristiwa itu terjadi, aku pun sudah menjadi seorang Bapak.

Terkadang begitu kusesalkan selasa yang kelabu. Manusia tetaplah manusia yang tak luput dari salah. Sefatal apapun kesalahan jangan pernah dimarahi di tengah keramaian.  Andaikan dahulu dicaci-maki silahkan saja, namun di tempat tertutup, sehingga tidak menjatuhkan harga diriku di depan kawan lain.

Kini April 2020 sudah menghampiri, enam tahun sudah kisah itu terjadi. Aku sudah berupaya untuk melupakan tetap saja masih ada luka yang menganga di sana. Cacian itu membuatku memutuskan segera yang terbaik untuk dilakukan saat itu.

Ada hal lain yang turut mensupport langkahku untuk segera beranjak dan mencari tempat menuntut ilmu lain. Cacian tadi hanya sebagai cambuk untuk memantapkan pilihan yang ada. Ya hidup adalah pilihan, dan mundur sebelum terlambat harus dilakukan agar terbebas dari kondisi yang tidak jelas ini.

Selasa itu menjadi hari terakhir berada di kampus dengan segala polemiknya. Tak kuhiraukan lagi berbagai panggilan dan pesan yang masuk di gawai kecilku ini. Kuputuskan untuk ganti kartu agar terbebas dari segala bentuk komunikasi yang tak diinginkan. Tidak ada lagi yang patut diperjuangkan, dan kurasa tidak perlu pamit pada kawan yang lain. Itu memang kusengaja dan sudah dipikirkan matang-matang. Toh ini hidupku terserah yang lain mau bilang apa.

Waktu kian berjalan tanpa bisa dicegah. Segala kenangan kampus yang lama sudah kusimpan erat dalam palung hati terdalam. Semoga tidak ada lagi luka yang bersemi. Jikalau nanti bersua dengan sosok yang sempat menggores luka itu, semoga tak ada lagi amarah yang muncul. Niat untuk kuliah sudah kulanjutkan pada kampus lain dengan beasiswa yang berbeda. Alhamdulillah gelar sudah bertambah di belakang nama, dan kini berprofesi sebagai seorang pendidik di salah satu kampus swasta di kota Metropolitan Jakarta.


Jambi, 20 Maret 2020
Lili Andriani – Dosen STIKES Harapan Ibu Jambi

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments