Belajar Memaknai Toleransi dari Suku Anak Dalam (Orang Rimba) di Provinsi Jambi

Belajar Memaknai Toleransi dari Suku Anak Dalam (Orang Rimba) di Provinsi Jambi

Budaya
Oleh: Wandi

Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini adalah kompromi antara gagasan Negara Islam dan Negara Sekuler”.

Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya.

Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia pada tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam (Nusantara merupakan Negara dengan penduduk muslim terbanyak didunia), 6,96% Kristen, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Budha, 0,05% Konghucu, 0,13% agama lainnya, 0,38 % tidak menjawab atau tidak di tanyakan (Wikipedia, 2019)

Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1969 dan Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1969, agama-agama yang dianut penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Namun, Konghucu dipinggirkan di masa Orde Baru.

Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri tahun 1974, kolom agama di KTP harus diisi dengan pilihan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.

Menurut (KBBI) Agama adalah ajaran yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada tuhan yang mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Tentu hal ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan agama suku terasing di Indonesia salah satunya suku anak dalam atau orang rimba dalam pengamatan penulis seiring berjalannya waktu komunitas ini memilih jalannya sendiri terkait dengan kepercayaan, ada yang masih tetap pada kepercayaan animisme dan dinamisme serta memisahkan diri dari kehidupan luar, (Steven Sager, 2008) bahkan tidak sedikit yang memilih masuk Islam dan Kristen.

Masyarakat suku anak dalam atau orang rimba merupakan bagian dari kelompok masyarakat terasing yang berada diwilayah provinsi Jambi dengan populasi seluruhnya kira-kira 200.000 orang yang tersebar di beberapa kabupaten di provinsi Jambi terkhusus wilayah mudik (ulu) Provinsi Jambi. 

Yaitu kabupaten batang hari, KabupatenMuara Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun, kabupaten Bangko (BPS Jambi 2018). Mereka hidupnya terpencil, terisolasi, tertinggal dibidang ekonomi, politik, kesehatan dan sosial.

Sejumlah ahli antropolog berpandangan bahwa suku anak dalam atau orang rimba provinsi Jambi termasuk kategori protomelayu (melayu tua), berdasarkan beberapa hasil penelitian suku anak dalam atau orang rimba provinsi Jambi memiliki kesamaan dengan melayu lainnya, seperti bahasa, kesenian.

Salah satunya adalah bentuk upacara besale (upacara pengobatan) pada masyarakat suku anak dalam atau orang rimba hampir sama dengan bentuk upacara aseik (upacara pengobatan) pada masyarakat Kerinci yang juga tergolong sebagai protomelayu (melayu tua), (Mukhlas Munawir 1975).

Masyarakat asli suku anak dalam atau orang rimba telah mendiami hutan Provinsi Jambi selama ratusan tahun yang lalu. Komunitas orang rimba menyebut hutan yang ada di Provinsi Jambi sebagai daerah pengembaraan: dimana mereka berinteraksi dengan alam, saling memberi dan menerima dan saling menghidupi.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, orang rimba melakukan kegiatan berburu, mencari ikan, mencari madu, dan menyadap karet untuk dijual, (Khairul Fafmi 2006).

Mereka hidup berdampingan antara satu dengan yang lain, Bagi Suku Anak Dalam (Orang Rimba) yang belum menetap/nomaden biasanya mereka masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme seperti dalam teori E.B Tylor dan Frazer, (Daniel L. Pals, 2011).

Tetapi untuk suku anak dalam atau orang rimba yang sudah menetap mayoritas mereka sudah beragama baik Islam ataupun Kristen. Pada dasarnya mereka juga mengenal Tuhan dengan sebutan yang satu atau dewo/dewa, mereka juga masih percaya bahwa roh-roh ghaib mempunyai kekuatan yang tidak boleh diganggu.

Dalam beberapa referensi mutakhir kondisi Suku Anak Dalam (Orang Rimba) di Desa Nebang Kabupaten Muara Jambi berjumlah 107, yang berdiam di Desa Plempang rata-rata mereka Islam dan Orang Rimba di Desa Nebang ada beberapa orang yang beragama Kristen.

Walaupun mereka sudah beragama Islam dan menetap didalam hutan, kebanyakan mereka belum begitu faham soal agama Islam yang mereka peluk.

Mereka hanya tahu sebatas mereka beragama Islam, tuhan mereka Allah SWT, dan Nabi Muhammad SAW, kitabnya Al-Qur’an, namun mereka belum semuanya mengetahui bacaan sholat walaupun mereka sudah dapat mengikuti rukun-rukun Sholat dan baru belajar mengaji Iqro’.

Perpindahan kepercayaan atau keyakinan ini lebih banyak dilakukan oleh generasi muda, di desa Plempang dan Nebang Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi, anak-anak  muda lebih serius untuk belajar agama dan baca al-Qur’an dan sholat hingga khatam Iqra’.

Untuk ukuran orang rimba hal ini sudah tentu pencapaian yang luar biasa, mengingat mereka adalah orang-orang yang termajinalkan dan tertinggal dalam kehidupannya.

Mereka mulai berfikir bahwa pengetahuan keagamaan yang mereka pelajari saat ini sangat bermanfaat dan menguatkan keyakinan mereka akan kebesaran sang pencipta.

Berbeda dengan suku anak dalam atau orang rimba di Desa Lantak Seribu, Kecamatan Renah Kabupaten Merangin baru-baru ini mereka merayakan perayaan natal di Gereja GPKI (25/12/2018) yang ada di perkampungannya.

Bahkan banyak warga muslim juga ikut hadir untuk membantu mengatur parkir motor sehingga rasa toleransi semakin terasa.

Mereka saling membantu karena dalam perayaan hari besar lain mereka juga ikut saling membantu. Mereka diikat dalam tali persaudaraan atas nama kemanusian, untuk lebih jelas bisa dibaca di okezone.com/25 Desember 2018 di posting pada tanggal tersebut.

Jika melihat potret toleransi yang ada pada masyarakat suku anak dalam atau orang rimba, harusnya bisa di jadikan contoh kongkret tentang toleransi dan keberagaman yang ada di Indonesia.

Betapa tidak, beberapa dekade terakhir khususnya sebelum pemilu umum pemilihan presiden dan wakil presiden banyak sekali di temukan gesekan-gesekan atas nama ras dan agama dalam balutan politik tanah air kita.

Bersamaan itu, dengan adanya tulisan ini bisa sedikit merefleksikan tentang pentingnya arti sebuah rasa toleransi.

Perlu diingat Indonesia punya sejarah kelam atas nama Intoleransi, seperti Tragedi Sampit, Konflik Maluku dan Poso (Noorhaidi Hasan, 2008) serta baru-baru ini isu agama dibawa ke politik seperti tragedi 212.

Di bagian negara lain seperti Timur Tengah kita juga bisa temukan beberapa kasus konflik atas nama ras, agama bahkan politik yang memorak-porandakan tanah air mereka.

Maka dari itu, ada baiknya dari tulisan di atas kita sama-sama belajar mengenai toleransi beragama suku anak dalam atau orang rimba, mari hilangkan ego ras, suku, bahkan agama, demi keutuhan bangsa dan negara ini.

Penulis Adalah, Founder Komunitas Menulis Al-Mujaddid

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments