Stephen melangkah dengan ragu ketika pertama kali memasuki sekolah barunya. Untuk kedua kalinya dia terpaksa pindah sekolah. Sejujurnya dia tidak ingin pindah sekolah tetapi keadaan yang membuat dia dan ibunya terpaksa pergi dari rumah ayahnya.
“Ayo Stephen, jangan takut. Kamu aman di sini Nak,” kata ibunya. “Aku tidak mau sekolah Ibu, aku ingin diam di rumah saja,” kata Stephen sambil menundukkan kepalanya.
Stephen masih menyimpan rasa takut tiap kali bertemu dengan orang baru. Ia masih kecil tetapi ia telah mengalami trauma yang sangat berat. Dia tidak berani menatap wajah orang lain ketika berbicara.
Beberapa bulan lalu dia mengalami kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri.
Ayahnya seorang yang temperamental. Hal kecil pun bisa membuat dia menganiaya anak dan istrinya. Pernah hanya gara-gara ibunya menegur karyawan ayahnya di toko karena meletakkan barang sembarangan, ayahnya langsung marah dan memukul ibunya di depan Stephen. Karyawan-karyawan ayahnya hanya melihat namun tidak berani menolong.
Tidak hanya itu, pernah sewaktu Stephen sedang belajar bersama dengan ibunya di lantai dua rumah mereka, tiba-tiba ayahnya datang lalu menyeret ibunya ke lantai dasar. Stephen ketakutan tanpa bisa berbuat apa-apa. Pernah dia berusaha menolong ibunya, tetapi ayahnya malah memukulnya sampai terjatuh.
Kekerasan demi kekerasan yang dilakukan ayahnya membuat ibu Stephen harus menerima tujuh jahitan di kepalanya. Hal itu juga membuat ibunya membawa Stephen pergi dari rumah. Dia sudah tidak tahan dengan perlakuan suaminya.
Ayahnya mungkin saja sudah gila atau dia mungkin seorang psikopat. Dia dia tidak pernah sayang dengan anak dan istrinya tetapi dia tidak mau menceraikan istrinya. Ia seolah senang dan bahagia bisa bisa membuat istrinya teraniaya. Ia merasakan kepuasan setelah menganiaya istri dan anaknya.
“Ceraikan saja aku, kalau kamu tidak sayang padaku dan Stephen,” kata ibunya. Tetapi sampai hari ini, ayahnya menolak menceraikan ibunya.
“Ibu, kemana lagi kita harus pergi ibu? Apakah ayah tetap mau memukul kita?” Stephen selalu dihantui rasa takut tiap kali mendengar suara ayahnya.
Setelah dua bulan kabur dari rumah, dengan bantuan beberapa kerabat mereka, akhirnya Stephen bisa bersekolah di tempat yang baru. Ibunya yang sudah berhenti bekerja setiap hari mengantarnya ke sekolah.
Suatu hari ketika pulang sekolah, Stepen dan ibunya berjalan menuju tempat parkir sambil bergandengan tangan. Dari belakang muncul sesosok lelaki yang paling mereka takuti, yaitu ayahnya.
“Sanny, jangan pikir aku tidak bisa menemukan kalian,” ucap ayahnya sinis.
“Mas, mau apa kamu mencari kami lagi, berhentilah menganiaya aku dan Stephen, kasihan Stephen, aku mohon tinggalkan kami,” kata ibunya masih berusaha tenang.
“Engga usah banyak ngomong, sekarang juga kalian ikut saya pulang ke rumah,” bentak ayahnya dengan suara keras.
“Engga, kami tidak akan ikut kamu,” kata ibunya sambil menarik tangan Stephen. Mereka hendak masuk ke dalam mobil.
Dengam cepat ayahnya menarik tangan Stephen. Terjadi tarik menarik antara ibu dan ayahnya. Beberapa orang yang ada di area parkir sekolah melihat ke arah mereka. Sekuriti sekolah pun turut melerai. Spontan ayahnya mengeluarkan sebuah senjata api dan menodongkan benda itu ke arah kepala ibunya.
Stephen menjerit ketakutan ketika ayahnya melepaskan sebuah tembakan ke arah langit. Orang-orang sekitar pun ikut terkejut. Ayahnya tertawa senang ketika melihat istri dan anaknya menjerit ketakutan.
Ibunya tidak ingin membuat ayahnya semakin kalap. Ia pun menuruti keinginan suaminya. Ia menuntun Stephen kembali ke rumah suaminya. Di sana dia menerima pukulan yang bertubi-tubi. Dia sudah tidak bisa menjerit.
Entah siapa yang melaporkan ke polisi, tiba-tiba beberapa orang polisi datang ke rumahnya untuk menolongnya dan Stephen. Ayah Stephen yang gila itu dibawa ke kantor polisi. Ayahnya berurusan dengan hukum karena melakukan kdrt yang berat, kasus kepemilikan senjata ilegal dan masih ada kasus lainnya.
Sejak saat itu, ibunya kembali membawa Stephen pergi dari rumah. Kali ini mereka pergi jauh ke kota lain.
“Kita mulai hidup baru yang lebih tenang di kota ini, Nak,” kata ibunya membelai rambut Stephen. Stephen memandang wajah ibunya lalu memeluknya.
“Ibu, apakah ayah sedikit pun tidak sayang sama aku sehingga dia tega menyakiti aku dan ibu? Apa salahku? Apakah ibu melakukan kesalahan yang besar pada ayah?”
Ibunya hanya diam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan putranya satu persatu.
“Sudahlah, Stephen. Kamu tidak perlu ingat lagi ayah dan perbuatannya. Kamu harus semangat lagi supaya di sekolah ini kamu bisa belajar dengan baik. Setelah besar nanti kamu harus menjadi orang yang baik. Jangan seperti ayahmu.” Lalu ibunya menuntun Stephen memasuki sekolah barunya itu.
Tamat.