Belakangan ini, khususnya pasca gencar-gencarnya klaim politisasi agama di tahun politik sebut aja pilkada jakarta beberapa tahun lalu masih menyisakan dilema berkepanjangan.
Dimana agama sebagai Sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada tuhan yang mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia lain serta lingkungannya, masih menjadi bebas tafsir di kalangan masyarakat luas.
Di kampung-kampung misalnya simbol kesalehan masih menjadi magnet kuat sebut saja peci putih, jilbab panjang dan cadar masih riuh dijadikan pedoman dan ukuran tingkat kesalehan seseorang, anggap saja ini hipotesa awal sebagai pengantar tulisan ini.
Lain lagi klaim yang bertolak belakang dengan hipotesa awal tadi, sebagian juga menganggap bahwa tingkat kesalehan seseorang bukan dari simbol yang mereka pakai, tapi terletak dari budi dan laku seseorang tersebut. Anda di posisi mana?
Simbol Kesalehan Kita
Baiklah sekarang kita berangkat ke tafsir yang lebih rumit lagi, kita berbicara sedikit tentang makna simbol dalam yang diartikan menurut C. Geertz ia mendefinisikan Simbol sebagai ajang atau tempat atau wahana yang memuat sesuatu nilai bermakna (meaning).
Bila ditarik ke hipotesa awal bisa jadi fenomena diawal tadi masuk ke dalam apa yang disebut beragama secara simbolis. Bahwa sebenarnya representasi iman bukan sekedar menggunakan atribut-atribut seperti peci putih, jilbab panjang, cadar dan sebagainya, lebih jauh lagi iman adalah prinsip yang tertanam dalam hati yang termanifestasi dengan perilaku baik dan jujur.
Terlalu kasar misalnya peci putih, jilbab panjang, celana cingkrang dan jenggot panjang kita cap sebagai teroris atau ejekan yang bermakna rasis. Tapi di satu sisi ironi juga terkadang dengan simbol-simbol diatas banyak masyarakat umum jadi terjebak.
Saya bisa katakan disini, antara batas-batas dan benang merah tafsir tentang agama yang beragamlah penyebabnya, ditambah lagi budaya dan arus global yang semakin cepat. TV dan alat komunikasi bisa jadi tren baru untuk kita mengenal agama dan beragama di era ini, Akibatnya apa? Simbol dan trend lah yang kita sembah selama ini.
Hidup populer?
Nah sekarang, anggaplah akumulasi dari perkembangan arus informasi, zaman makin canggih yang mengharuskan semua serba cepat dan instan mengharuskan kita memasuki budaya populer, dan tidak sedikit umat Islam masuk ke ranah ini.
Dimana, didalamnya terbentuk imajinasi-imajinasi secara sadar oleh sekelompok orang biasanya produsen, kapitalis dan para elit untuk membedakan mereka dengan orang lain. Didalam buku Yasraf Amir Piliang yang berjudul Bayang-bayang tuhan: Agama dan Imajinasi menjelaskan bahwa imajinasi popouler semacam ini dibangun setidaknya ada empat ranah.
Pertama, cara berfikir popular, yaitu cara berfikir jalan pintas yang penting mendapatkan kesenangan, kalau perlu tanpa berfikir. Itulah cara berfikir yang mengutamakan penampilan ketimbang kualitas jiwa, popularitas ketimbang spiritualitas, kedangkalan ketimbang kedalaman.
Hal ini bisa kita lihat misalnya, banyaknya buku atau forum seminar how to yang menawarkan cara cepat menjadi milyader, cepat menjadi pintar, dan bahkan instan mempelajari Islam. Masyarakat Islam yang terperangkap cara berfikir popular ini akan menjadi masyarakat yang malas berfikir, cari enak dengan jalan pintas.
Kedua, komunikasi popular. Komunikasi popular ini dicirikan dakwah yang dihiasi oleh imajinasi dan fantasi-fantasi yang biasa hidup di dalam budaya popular, berupa bahasa, tindakan dan penampilan popular. Misalnya dakwah Islam yang mengandung unsur komedi, lawakan, banyolan yang kerap muncul di TV.
Tidak hanya itu, para dai, uztadz, kiai pun berperan sebagai bintang iklan atau superstar di hadapan masa penggemar. Massa pada akhirnya “secara pasif” meniru kebiasaan, penampilan, dan gaya dai superstar mereka (busana, peci putih, model rambut) dan membuat mereka berhasrat untuk mengoleksi barang-barang “dai idola” mereka bahkan sampai memburu tanda tangan. Dai bagaikan seseorang selebritis yang di idolakan.
Ketiga, ritual populer. Ritual ini biasanya dilakukan dengan mengikuti paradigma budaya populer bermotif komoditas. Ritual-ritual itu didata sedemikian rupa sesuai dengan prinsip perbedaan sosial dan pencapaian prestise, kelas dan status.
Misalnya umrah bareng artis idola, ritual ini diasosiasikan berdasarkan kelas sosial, demikian halnya dengan zikir akbar yang diselenggarakan oleh Pemerintah daerah atau kota dengan tema-tema khusus, berbuka puasa bersama yang di organisasikan berdasarkan kelas-kelas sosial di dalam masyarakat. Akhirnya, bukan kedalaman spritual yang didapat, justru selebrasi keagamaan yang dekat dengan logika komoditi.
Keempat, simbol populer. Simbol atau penampilan populer ini mengarahkan pada penampilan yang mencakup nilai-nilai dari pakaian atau aksesoris yang menekankan efek kesenangan, simbol, status, tema prestise, daya pesona dan berbagai selera populer lainnya. Misalnya menjadi pengikut atau peniru dari model penampilan dari elite agama (ustadz, kiai, dai) di mana model-model baju yang dikenakan oleh pak ustadz menjadi trend setter dan menciptakan gaya hidup baru
Apakah Umat Kita Tertipuu??
Ke empat framing tersebut dimana posisi kita, atau dimana posisi kerabat yang kita kenal?. Jawabannya ada pada masing-masing pembaca. Inti dari tulisan ini, ingin mengajak sudahilah “menuhankan simbol”.
Peci putih, jenggot panjang, jilbab panjang bisa jadi menjadi ukuran kesalehan para penggemarnya, tapi jadi multitafsir jika orang lain yang menilai. Celakanya tidak sedikit “simbol itu” hanya sekedar topeng untuk mengelabui yang lain, dalam artian lebih besar jika dikaitkan ke politik, ekonomi bahkan budaya.
Kawin silang antara budaya populer dan simbol kesalehan bisa jadi lebih parah efeknya jika tidak dibarengi pemikiran nalar kritis, mungkin saja umat kita begitu, tapi bisa jadi juga tidak. Yang jelas bagi saya peci putih, jenggot dan jilbab yang panjang bukan ukuran kesalehan seseorang. Buktinya masih banyak diluar sana yang mengutamakan penampilan ketimbang kualitas jiwa, popularitas ketimbang spiritualitas, kedangkalan ketimbang kedalaman seperti kata Yasraf Amir Piliang diatas.
Wandi, Founder Komunitas Menulis Mujaddid, Dosen STIE Syari’ah Al-Mujaddid.